Ghibah Yang Diperbolehkan

Ghibah Yang Diperbolehkan
Mohon penjelasan tentang batasan kapan boleh dan tidaknya dalam mengumbar aib orang lain? 0831-4100-xxxx
Membicarakan aib orang lain ketika ia tidak ada bahasa syari’atnya ghibah yang satu akar kata dengan ghaib karena memang diamalkan ketika objeknya ghaib. Hukum asalnya haram, tetapi menjadi halal ketika ada yang terzhalimi atau dikhawatirkan akan ada yang terzhalimi berdasarkan firman Allah dalam QS. an-Nisa` [4] : 148. Lebih rincinya diungkapkan dalam sebuah sya’ir:
اَلذَّمُّ لَيْسَ بِغِيْبَةٍ فِي سِتَّةٍ – مُتَظَلِّـمٍ وَمُعَـرِّفٍ وَمُحَـذِّرٍ – وَلِمُظْهِرٍ فِسْقًا وَمُسْتَفْتٍ – وَمَنْ طَلَبَ الْإِعَانَةَ فِي إِزَالَةِ مُنْكَرٍ
Mencela itu bukan ghibah dalam enam hal – orang yang tazhallum, ta’rif, dan tahdzir – orang yang mengekspos kefasiqan dan meminta fatwa – orang yang minta pertolongan untuk menghilangkan kemunkaran (Subulus-Salam 4: 192-193).
Tazhallum artinya mengadukan perbuatan zhalim seseorang. Ta’rif maksudnya mengenalkan seseorang beserta cacat fisik yang ada pada dirinya, tanpa maksud merendahkannya ataupun menggunjingnya. Tahdzir yaitu memperingatkan kaum muslimin agar tidak terzhalimi dan tertipu, seperti yang dilakukan oleh para ulama hadits ketika men-jarh (menilai cacat) seorang rawi. ‘Abdullah putra Ahmad ibn Hanbal pernah menceritakan: Abu Turab an-Nakhsyabi pernah datang kepada ayahku, lalu terdengar ayahku berkata: “Orang itu dla’if. Orang ini tsiqat.” Abu Turab lalu berkata: “Wahai syaikh, anda jangan mengghibah ulama!” Maka ayahku menoleh kepadanya dan berkata: “Celaka engkau, ini nashihat, bukan ghibah!” (Ushulul-Hadits karya M. ‘Ajjaj al-Khathib, hlm. 263-264).
Selanjutnya menceritakan seseorang yang jelas-jelas terkenal dengan perbuatan fasiqnya, bid’ahnya, atau perbuatan-perbuatan bathil lainnya, seperti al-Qur`an yang menceritakan keburukan Fir’aun, Qarun, dan Haman, demikian juga Abu Lahab.
Berikutnya istifta maksudnya meminta fatwa berkaitan dengan akhlaq seseorang agar yang bertanya bisa mengambil sikap yang tepat. Contohnya Fathimah binti Qais yang memohon nasihat kepada Nabi saw tentang dua orang lelaki yang melamarnya. Nabi saw kemudian menjawab:
أَمَّا أَبُو جَهْمٍ فَلاَ يَضَعُ عَصَاهُ عَنْ عَاتَقِهِ وَأَمَّا مُعَاوِيَةُ فَصُعْلُوكٌ لاَ مَالَ لَهُ انْكِحِى أُسَامَةَ بْنَ زَيْدٍ
Abu Jahm itu tidak bisa meletakkan tongkat dari bahunya (mudah memukul). Sementara Mu’awiyah orang lemah tidak memiliki harta. Menikah saja dengan Usamah ibn Zaid (Shahih Muslim bab al-muthallaqah tsalatsan la nafaqata laha no. 3770).
Jawaban Nabi saw itu termasuk ghibah, tetapi ghibah yang dibolehkan karena kaitannya sedang memberikan fatwa atau nasihat.
Terakhir isti’anah artinya minta pertolongan, seperti yang dilakukan Hindun istrinya Abu Sufyan:
إِنَّ أَبَا سُفْيَانَ رَجُلٌ شَحِيحٌ وَلَيْسَ يُعْطِينِي مَا يَكْفِينِي وَوَلَدِي إِلَّا مَا أَخَذْتُ مِنْهُ وَهُوَ لَا يَعْلَمُ فَقَالَ خُذِي مَا يَكْفِيكِ وَوَلَدَكِ بِالْمَعْرُوفِ
“Sesungguhnya Abu Sufyan lelaki yang pelit. Ia tidak memberiku nafkah yang cukup bagiku dan anakku kecuali kalau aku mengambil darinya ketika ia tidak tahu.” Nabi saw menjawab: “Silahkan ambil apa yang cukup bagimu dan anakmu dengan cara yang ma’ruf.” (Shahih al-Bukhari bab idza lam yunfiqir-rajul no. 5364).
Dalam dialog di atas Abu Sufyan dighibahi, tetapi itu ghibah yang halal karena konteksnya ada yang terzhalimi yakni istri dan anaknya. Kemudian istrinya itu isti’anah kepada Rasul saw. Wal-‘Llahu a’lam.