Ada cinta yang akan selalu turun dari langit melalui Jibril, lalu para malaikat, dan bermuara di penduduk bumi untuk seseorang yang berhak mendapatkannya. Maka orang tersebut akan dicintai sepenuhnya oleh penduduk bumi. Orang-orang yang tidak ikut mencintainya berarti tidak mengamalkan cinta karena Allah. Status keimanan mereka diragukan karena di antara bukti keimanan itu adalah mencintai yang dicintai Allah dan membenci yang dibenci Allah swt.
Imam al-Bukhari menuliskan satu judul bab (tarjamah) dalam kitab Shahihnya: al-miqah minal-‘Llah ta’ala; cinta dari Allah ta’ala. Asal katanya dari wamiqa-yamiqu-wamqan/miqatan yang berarti mahabbah; cinta. Hadits yang beliau tuliskan terkait judul tersebut adalah:
إِذَا أَحَبَّ اللَّهُ عَبْدًا نَادَى جِبْرِيلَ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبَّهُ فَيُحِبُّهُ جِبْرِيلُ فَيُنَادِي جِبْرِيلُ فِي أَهْلِ السَّمَاءِ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ فُلَانًا فَأَحِبُّوهُ فَيُحِبُّهُ أَهْلُ السَّمَاءِ ثُمَّ يُوضَعُ لَهُ الْقَبُولُ فِي أَهْلِ الْأَرْضِ
Apabila Allah mencintai seorang hamba, Dia akan menyeru Jibril: “Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia.” Jibril pun kemudian mencintainya. Jibril kemudian menyeru penghuni langit: “Sesungguhnya Allah mencintai fulan, maka cintailah ia oleh kalian.” Maka penghuni langit pun mencintainya. Kemudian ditetapkan untuknya penerimaan (cinta) di penghuni bumi (Shahih al-Bukhari bab al-miqah minal-‘Llah no. 6040 dari hadits Abu Hurairah).
Hadits di atas dalam sanad lain dari Abu Umamah ra yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad, Ibn Abi Syaibah, dan at-Thabrani jelas disebutkan sebagai al-miqah minal-‘Llah:
اَلْمِقَةُ مِنَ اللهِ وَالصِّيْتُ مِنَ السَّمَاءِ فَإِذَا أَحَبَّ اللَّهُ عَبْدًا
Kecintaan dari Allah dan penyebutan yang baik dari langit. Apabila Allah mencintai seorang hamba…[selengkapnya sama dengan redaksi hadits di atas] (Fathul-Bari bab al-miqah minal-‘Llah).
Dalam riwayat al-Bazzar dari Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda:
مَا مِنْ عَبْد إِلَّا وَلَهُ صِيت فِي السَّمَاء فَإِنْ كَانَ حَسَنًا وُضِعَ فِي الْأَرْض وَإِنْ كَانَ سَيِّئًا وُضِعَ فِي الْأَرْض
Tidak ada seorang hamba pun melainkan memiliki penyebutan di langit. Jika itu baik, maka akan diturunkan ke bumi. Jika itu jelek, maka juga akan diturunkan ke bumi (Fathul-Bari bab al-miqah minal-‘Llah).
Penghuni bumi yang dimaksud dalam hadits-hadits di atas tentu bermakna khusus. Mereka adalah hamba-hamba yang diridlai Allah dan malaikat, yakni orang-orang shalih. Kecintaan orang-orang shalih kepada seseorang menunjukkan bahwa Allah swt dan malaikat mencintai orang tersebut. Maka tidak ada lagi alasan bagi siapapun yang beriman untuk turut juga mencintai orang-orang yang dicintai Allah, malaikat, dan hamba-hamba yang shalih tersebut, terlepas dari kategori madzhab, suku bangsa, perbedaan usia, parpol, ormas, dan sekat-sekat lainnya yang menjadi pembeda di antara manusia. Jika cinta kepada orang lain belum sesuai standar Allah dan masih terbatas pada kategori sempit persamaan madzhab, suku bangsa, ormas, parpol, atau sekat lainnya, itu berarti keimanannya belum sempurna.
Dalam kaitan ini, Imam al-Bukhari kemudian menuliskan judul bab: al-hubb fil-‘Llah; cinta karena Allah, sesudah bab al-miqah minal-‘Llah di atas, karena menunjukkan adanya korelasi di antara keduanya. Hadits yang dituliskannya dari Anas ra, dari Nabi saw:
لَا يَجِدُ أَحَدٌ حَلَاوَةَ الْإِيمَانِ حَتَّى يُحِبَّ الْمَرْءَ لَا يُحِبُّهُ إِلَّا لِلَّهِ
Seseorang tidak akan merasakan manisnya iman sehingga ia mencintai seseorang dan ia tidak mencintainya melainkan karena Allah. (Shahih al-Bukhari bab al-hubb fil-‘Llah no. 6041).
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan maksud cinta Allah, malaikat, dan orang-orang shalih kepada hamba yang dicintai sebagai berikut:
وَالْمُرَاد بِمَحَبَّةِ اللَّه إِرَادَة الْخَيْر لِلْعَبْدِ وَحُصُول الثَّوَاب لَهُ، وَبِمَحَبَّةِ الْمَلَائِكَة اِسْتِغْفَارهمْ لَهُ وَإِرَادَتهمْ خَيْر الدَّارَيْنِ لَهُ وَمَيْل قُلُوبهمْ إِلَيْهِ لِكَوْنِهِ مُطِيعًا لِلَّهِ مُحِبًّا لَهُ، وَمَحَبَّة الْعِبَاد لَهُ اِعْتِقَادهمْ فِيهِ الْخَيْر وَإِرَادَتهمْ دَفْع الشَّرّ عَنْهُ مَا أَمْكَنَ
Yang dimaksud cinta Allah adalah menghendaki kebaikan untuk hamba tersebut dan memberinya pahala; cinta malaikat adalah istighfar mereka untuknya dan permohonan untuk kebaikan di dua negeri untuknya, termasuk kecondongan hati malaikat kepadanya karena hamba tersebut taat dan cinta kepada Allah; dan cinta manusia adalah keyakinan mereka yang selalu baik kepadanya dan upaya mereka untuk menghilangkan gangguan darinya semaksimal mungkin (Fathul-Bari bab al-miqah minal-‘Llah).
Orang yang mendapatkan cinta Allah dan otomatis cinta cari orang-orang shalih tersebut tentunya tidak datang tiba-tiba. Dalam hadits Tsauban riwayat Ahmad dan at-Thabrani, Nabi saw menjelaskan penyebabnya yakni hamba yang dicintai Allah swt tersebut serius mencari keridlaan Allah swt:
إِنَّ الْعَبْدَ لَيَلْتَمِسُ مَرْضَاةَ اللهِ فَلَا يَزَالُ بِذَلِكَ، فَيَقُولُ اللهُ لِجِبْرِيلَ: إِنَّ فُلَانًا عَبْدِي يَلْتَمِسُ أَنْ يُرْضِيَنِي أَلَا وَإِنَّ رَحْمَتِي عَلَيْهِ، فَيَقُولُ جِبْرِيلُ: رَحْمَةُ اللهِ عَلَى فُلَانٍ، وَيَقُولُهَا حَمَلَةُ الْعَرْشِ، وَيَقُولُهَا مَنْ حَوْلَهُمْ حَتَّى يَقُولَهَا أَهْلُ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ، ثُمَّ تَهْبِطُ لَهُ إِلَى الْأَرْضِ
Sungguh ada seorang hamba yang mencari keridlaan Allah dan terus menerus ia seperti itu hingga Allah berfirman kepada Jibril: “Sesungguhnya fulan, hamba-Ku, mencari keridlaan-Ku. Ketahuilah, sungguh rahmat-Ku tercurah untuknya.” Jibril kemudian berkata: “Rahmat Allah untuk fulan.” Kemudian para pemikul ‘Arasy pun mengatakannya, demikian juga malaikat yang ada di sekeliling mereka, hingga semua penghuni langit yang tujuh juga mengatakannya. Setelah itu kemudian turun ke bumi (Musnad Ahmad bab ma min hadits Tsauban no. 22401).
Dalam riwayat at-Thabrani disebutkan bahwa Nabi saw kemudian membacakan ayat al-Qur`an:
إِنَّ ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَعَمِلُواْ ٱلصَّٰلِحَٰتِ سَيَجۡعَلُ لَهُمُ ٱلرَّحۡمَٰنُ وُدّٗا ٩٦
Sesungguhnya orang-orang yang beriman dan beramal saleh, kelak Allah Yang Maha Pemurah akan menanamkan dalam (hati) mereka rasa kasih sayang (QS. Maryam [19] : 96. Maksudnya, orang-orang beriman dan beramal shalih otomatis mendapatkan cinta Allah dan cinta sesama mereka sekaligus).
Setelah itu Nabi saw juga menyabdakan yang sebaliknya, yakni bahwa jika seorang hamba selalu mencari-cari sebab yang membuat Allah murka, maka Allah akan murka, Jibril dan semua penghuni langit akan murka, kemudian penduduk bumi juga akan murka kepadanya:
وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَلْتَمِسُ سَخَطَ اللَّهِ، فَيَقُولُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ: يَا جِبْرِيلُ، إِنَّ فُلَانًا يُسْخِطُنِي. أَلَا وَإِنَّ غَضَبِي عَلَيْهِ، فَيَقُولُ جِبْرِيلُ: غَضَبُ اللَّهِ عَلَى فُلَانٍ، وَيَقُولُ حَمَلَةُ الْعَرْشِ، وَيَقُولُ مَنْ دُونَهُمْ، حَتَّى يَقُولَهُ أَهْلُ السَّمَاوَاتِ السَّبْعِ، ثُمَّ يَهْبِطُ إِلَى الْأَرْضِ
Dan sungguh ada seorang hamba yang mencari murka Allah hingga Allah awj berfirman: “Hai Jibril, sesungguhnya fulan, membuat-Ku murka. Ketahuilah, sungguh murka-Ku tercurah untuknya.” Jibril kemudian berkata: “Murka Allah untuk fulan.” Kemudian para pemikul ‘Arasy pun mengatakannya, demikian juga malaikat yang ada di bawah mereka, hingga semua penghuni langit yang tujuh juga mengatakannya. Setelah itu kemudian turun ke bumi (al-Mu’jamul-Ausath at-Thabrani no. 1240).
Mereka yang mencari keridlaan Allah tersebut, menurut al-Hafizh Ibn Hajar adalah orang-orang yang rutin mengamalkan amal-amal wajib dan sunat. Termasuk di dalamnya meninggalkan yang haram (karena termasuk wajib) dan makruh serta sebagian yang mubah (karena termasuk sunat). Sebagaimana diajarkan Nabi saw dalam hadits Abu Hurairah ra tentang keistimewaan wali Allah sebagai berikut:
إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
Sesungguhnya Allah berfirman: “Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguh Aku telah mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Aku fardlukan padanya. Tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku dengan amal-amalan sunat, sehingga Aku mencintainya. Maka ketika Aku mencintainya, Aku adalah pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, Aku adalah penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, Aku adalah tangannya yang ia gunakan untuk memegang, dan Aku adalah kakinya yang ia gunakan untuk melangkah. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku memberinya. Jika ia memohon perlindungan kepada-Ku niscaya Aku memberinya perlindungan. Dan tidak pernah Aku ragu terhadap sesuatu yang Aku sendiri pelakunya seperti keraguanku kepada seorang mu`min; ia tidak ingin mati sementara Aku pun tidak ingin menyakitinya.” (Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab at-tawadlu’ no. 6502).
Intinya, cinta Allah hanya akan diberikan kepada orang yang rutin mengamalkan amal-amal wajib dan sunat, kedua-duanya. Tidak akan dinilai telah mengamalkan amal sunat jika amal wajib ditinggalkan. Demikian halnya tidak sempurna mengamalkan amal wajib jika amal sunat ditinggalkan. Penekanan Nabi saw sendiri akan cinta Allah yang turun pada amal sunat, sebab seseorang yang mengamalkan amal wajib (termasuk meninggalkan yang haram) motifnya pasti karena takut dari siksa, sementara orang yang mengamalkan amal sunat (termasuk meninggalkan makruh dan sebagian mubah) tidak akan ada motif takut dari siksa, melainkan murni karena cinta Allah swt. Maka dari itu cinta Allah layak untuk orang seperti itu.
Wal-‘Llahu a’lam.