Agustusan Yang Tidak Syar’i

Merayakan Agustusan atau Hari Kemerdekaan Indonesia memang tidak ada tuntunannya dalam syari’at. Kedudukannya sebagai perayaan duniawi pun rentan dengan tasyabbuh pada adat orang-orang kafir. Kalaupun terpaksa harus ikut merayakan karena dipaksa oleh Negara, maka jangan sampai melanggar aturan dan adab yang sudah sejak lama ditetapkan dalam syari’at.

Perayaan Agustusan—kalaupun terpaksa harus dilaksanakan—semestinya sebagai bentuk syukur atas nikmat Allah swt yang telah membebaskan bangsa Indonesia dari penjajahan bangsa asing. Syukur itu berbeda jauh sekali dengan foya-foya, hura-hura, dan pesta yang melanggar aturan syari’at. Al-Qur`an menyebutkan itu kebiasaan orang-orang kafir bahkan di Masjidil-Haram pada saat Masjidil-Haram masih dikuasai orang-orang kafir.

وَمَا كَانَ صَلَاتُهُمۡ عِندَ ٱلۡبَيۡتِ إِلَّا مُكَآءٗ وَتَصۡدِيَةٗۚ فَذُوقُواْ ٱلۡعَذَابَ بِمَا كُنتُمۡ تَكۡفُرُونَ  ٣٥

Sembahyang mereka di sekitar Baitullah itu, lain tidak hanyalah siulan dan tepukan tangan. Maka rasakanlah azab disebabkan kekafiranmu itu (QS. al-Anfal [8] : 35).

Surat Luqman malah tegas menyebutkan bahwa siapa yang sengaja mengadakan kegiatan hiburan sehingga menjauhkan manusia dari jalan Allah swt akan mendapatkan adzab yang menghinakan (‘adzab muhin) dan pedih (‘adzab alim):

وَمِنَ ٱلنَّاسِ مَن يَشۡتَرِي لَهۡوَ ٱلۡحَدِيثِ لِيُضِلَّ عَن سَبِيلِ ٱللَّهِ بِغَيۡرِ عِلۡمٖ وَيَتَّخِذَهَا هُزُوًاۚ أُوْلَٰٓئِكَ لَهُمۡ عَذَابٞ مُّهِينٞ  ٦ وَإِذَا تُتۡلَىٰ عَلَيۡهِ ءَايَٰتُنَا وَلَّىٰ مُسۡتَكۡبِرٗا كَأَن لَّمۡ يَسۡمَعۡهَا كَأَنَّ فِيٓ أُذُنَيۡهِ وَقۡرٗاۖ فَبَشِّرۡهُ بِعَذَابٍ أَلِيمٍ  ٧

Dan di antara manusia (ada) orang yang mempergunakan perkataan yang menghibur untuk menyesatkan (manusia) dari jalan Allah tanpa pengetahuan dan menjadikan jalan Allah itu olok-olokan. Mereka itu akan memperoleh adzab yang menghinakan. Dan apabila dibacakan kepadanya ayat-ayat Kami dia berpaling dengan menyombongkan diri seolah-olah dia belum mendengarnya, seakan-akan ada sumbat di kedua telinganya; maka beri kabar gembiralah dia dengan adzab yang pedih. (QS. Luqman [31] : 6-7).

“Perkataan yang menghibur” yang dimaksud ayat di atas dijelaskan oleh para ulama salaf adalah seruling, musik, nyanyian/lagu, dan alat-alat musik (Tafsir Ibn Katsir). Pentas-pentas seni yang menjauhkan masyarakat dari jalan Allah, dan malah rentan dengan tontonan aurat atau berbaurnya lelaki dan perempuan secara bebas, atau bahkan sampai mabuk-mabukan, ini termasuk yang dilaknat oleh Nabi saw dalam hadits:

لَيَكُونَنَّ مِنْ أُمَّتِي أَقْوَامٌ يَسْتَحِلُّونَ الْحِرَ وَالْحَرِيرَ وَالْخَمْرَ وَالْمَعَازِفَ

Akan ada dari umatku yang meyakini/menganggap halal zina, sutra, khamer, dan alat-alat musik (Shahih al-Bukhari bab ma ja`a fi man yastahillul-khamr no. 5590).

Mengeluarkan biaya yang pastinya tidak sedikit hanya untuk sekedar hura-hura, foya-foya, dan pesta seperti itu termasuk menghamburkan harta atau tabdzir yang dikritik al-Qur`an sebagai perbuatan setan.

وَءَاتِ ذَا ٱلۡقُرۡبَىٰ حَقَّهُۥ وَٱلۡمِسۡكِينَ وَٱبۡنَ ٱلسَّبِيلِ وَلَا تُبَذِّرۡ تَبۡذِيرًا  ٢٦ إِنَّ ٱلۡمُبَذِّرِينَ كَانُوٓاْ إِخۡوَٰنَ ٱلشَّيَٰطِينِۖ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِرَبِّهِۦ كَفُورٗا  ٢٧

Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin, dan orang yang dalam perjalanan, dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemboros-pemboros itu adalah saudara-saudara setan dan setan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya (QS. al-Isra` [17] : 26-27).

Bentuk pesta yang sering dilakukan dan nyata melanggar syari’at adalah karnaval atau perlombaan yang menampilkan lelaki berpakaian perempuan atau sebaliknya. Penampilan perilaku seperti itu dilaknat oleh Nabi saw dalam hadits:

عَنْ أَبِى هُرَيْرَةَ قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللهِ ﷺ الرَّجُلَ يَلْبَسُ لِبْسَةَ الْمَرْأَةِ وَالْمَرْأَةَ تَلْبَسُ لِبْسَةَ الرَّجُلِ

Dari Abu Hurairah ra, ia berkata: “Rasulullah saw melaknat seorang lelaki yang berpakaian seperti pakaian perempuan dan juga seorang perempuan yang berpakaian seperti pakaian lelaki (Sunan Abi Dawud bab libasin-nisa` no. 4100).

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ لَعَنَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ  الْمُتَشَبِّهِينَ مِنْ الرِّجَالِ بِالنِّسَاءِ وَالْمُتَشَبِّهَاتِ مِنْ النِّسَاءِ بِالرِّجَالِ

Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: “Rasululllah saw melaknat lelaki yang sengaja menyerupai perempuan dan perempuan yang sengaja menyerupai lelaki. (Shahih al-Bukhari bab al-mutasyabbihun bin-nisa` no. 5885).

عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ لَعَنَ النَّبِيُّ ﷺ الْمُخَنَّثِينَ مِنْ الرِّجَالِ وَالْمُتَرَجِّلَاتِ مِنْ النِّسَاءِ وَقَالَ أَخْرِجُوهُمْ مِنْ بُيُوتِكُمْ قَالَ فَأَخْرَجَ النَّبِيُّ ﷺ فُلَانًا وَأَخْرَجَ عُمَرُ فلُانَةَ

Dari Ibn ‘Abbas, ia berkata: “Nabi saw melaknat lelaki yang takhnits (berperilaku seperti perempuan) dan perempuan yang tarajjul (berperilaku seperti lelaki).” Sabda beliau: “Usir mereka dari rumah/kampung kalian.” Maka Nabi saw mengusir seorang lelaki yang berperilaku perempuan dan ‘Umar mengusir seorang perempuan yang berperilaku lelaki (Shahih al-Bukhari bab ikhrajil-mutasyabbihin bin-nisa` minal-buyut no. 5886).

Termasuk di dalamnya mengadakan perlombaan-perlombaan tetapi yang nyata-nyata melanggar tuntunan syari’at, contohnya lomba panjat pinang yang pesertanya perempuan atau laki-laki bercampur dengan perempuan dalam satu kelompok yang sama. Contoh lainnya lomba memecahkan balon-balon yang pesertanya lelaki dan perempuan berpasangan tetapi yang bukan mahram. Tentu di sana akan ada tontonan aurat perempuan, termasuk interaksi fisik antara lelaki dan perempuan yang tidak halal. Ini semua perbuatan dosa yang nyata sebagaimana diperingatkan Allah swt dalam QS. An-Nur [24] : 30-31.

Lomba lainnya yang rentan melanggar adab syari’at adalah lomba balap makan atau lomba balap kerupuk. Padahal makan itu adabnya tidak boleh cepat-cepat, karena itu termasuk akhlaq setan; juga tidak boleh banyak yang terbuang percuma karena akan menjadi sahabat-sahabat setan; demikian juga makan itu harusnya ketika sudah lapar bukan ketika masih kenyang dipaksa untuk makan demi memenangkan lomba.

Lomba-lomba itu diperbolehkan untuk diselenggarakan kalau ada tujuan yang menunjang kepentingan syari’at seperti mendorong lahirnya generasi pejuang dan atau cerdas. Apalagi yang terkait langsung dengan keahlian di medan perjuangan fi sabilillah. Jika tidak ada kaitannya dengan hal-hal positif seperti itu melainkan hanya hura-hura, foya-foya, dan pesta, maka itu hanya satu bentuk tabdzir dan tasyabbuh (membebek) pada adat orang-orang kafir sebagaimana telah disinggung di atas dalil-dalilnya. Dalam Bulughul-Maram bab as-sabq war-ramy (perlombaan dan memanah), al-Hafizh Ibn Hajar menuliskan hadits:

وَعَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ  قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ : لَا سَبَقَ إِلَّا فِي خُفٍّ أَوْ نَصْلٍ أَوْ حَافِرٍ. رَوَاهُ أَحْمَدُ وَالثَّلَاثَة وَصَحَّحَهُ ابْنُ حِبَّانَ

Dari Abu Hurairah ra, Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada perlombaan berhadiah kecuali pada (lomba) sepatu (unta), mata (panah/pedang/tombak), atau sepatu (kuda).”  (Riwayat Ahmad dan Tiga Imam [Abu Dawud, at-Tirmidzi, dan an-Nasa`i]. Hadits shahih menurut Ibnu Hibban).  

Kami memilih pemahaman ulama yang tidak membatasi perlombaan yang diizinkan Nabi saw sebatas tiga perlombaan di atas saja. Melainkan menggunakan metode qiyas/analogi dengan memahami bahwa perlombaan yang diperbolehkan itu tiga perlombaan di atas dan yang semisalnya.

Yang paling tepat tentunya mengisi kemerdekaan bukan dengan perayaan tahunan, melainkan dengan memperbanyak tasbih, tahmid, dan istighfar di sepanjang tahunnya dan sepanjang masanya, sebagaimana dititahkan Allah swt dalam QS. An-Nashr [110].

فَسَبِّحۡ بِحَمۡدِ رَبِّكَ وَٱسۡتَغۡفِرۡهُۚ إِنَّهُۥ كَانَ تَوَّابَۢا  ٣

Maka bertasbihlah dengan memuji Tuhanmu dan mohonlah ampun kepada-Nya. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penerima taubat.

Dengan tasbih, tahmid, dan istighfar maka setiap orang akan menyadari bahwa mengisi kemerdekaan tidak perlu dengan seremonial pesta yang hanya akan menghamburkan uang saja. Mengisi kemerdekaan adalah dengan aksi nyata membebaskan masyarakat dari penjajahan hawa nafsu dan ideologi kafir, agar mereka bisa masuk Islam secara utuh. 

Dengan tasbih, tahmid, dan istighfar maka setiap orang akan menyadari bahwa kadar nasionalisme seorang warga negara tidak ditentukan oleh sejauh mana ia aktif atau tidaknya dalam merayakan Agustusan, melainkan sejauh mana ia aktif memajukan masyarakatnya dan mengusahakan kesejahteraan untuk mereka.

Dengan tasbih, tahmid, dan istighfar maka setiap orang akan menyadari bahwa yang membahagiakan masyarakat itu bukan perayaan hura-hura dan pesta melainkan pemenuhan kebutuhan sembako dan kebutuhan hidup lainnya yang cukup. Demikian halnya dengan pemberian lapangan pekerjaan yang ril dan bisa menopang hidup sepanjang hidupnya, bukan dengan perayaan sehari dua hari atau sepekan dua pekan yang tetap saja tidak bisa menjamin kesejahteraan hidup masyarakat di sepanjang masa hidupnya.

Wal-‘Llahu a’lam.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *