Berdzikir di Sepanjang Healing

Healing sudah menjadi kebutuhan pokok masyarakat modern. Kesibukan dunia yang melelahkan menuntut mereka untuk menyeimbangkannya dengan penenangan jiwa, perasaan, batin, dan pikiran. Apalagi ketika dihadapkan pada situasi ekonomi yang serba tidak pasti karena harga-harga melambung tinggi. Penenangan jiwa (healing) itu sendiri umumnya diisi dengan hiburan, jalan-jalan, dan senang-senang. Padahal Islam sudah mengajarkan hanya dengan dzikir tujuan healing akan tercapai. Maka dari itu dalam setiap perjalanan safar sekalipun Rasul saw selalu memenuhinya dengan dzikir; shalat, membaca al-Qur`an, dan bacaan-bacaan dzikir.
Healing hanya akan tercapai dengan dzikrul-‘Llah, tidak ada yang lainnya. Itu sudah Allah swt maklumatkan dalam salah satu firman-Nya:
ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ وَتَطۡمَئِنُّ قُلُوبُهُم بِذِكۡرِ ٱللَّهِۗ أَلَا بِذِكۡرِ ٱللَّهِ تَطۡمَئِنُّ ٱلۡقُلُوبُ ٢٨
(Yang akan mendapat hidayah Allah itu adalah) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan dzikir kepada Allah. Ingatlah, hanya dengan berdzikir kepada Allah-lah hati menjadi tenteram (QS. ar-Ra’d [13] : 28).
Terkait ayat di atas, al-Hafizh Ibn Katsir menafsirkan:
تَطِيبُ وَتَرْكَنُ إِلَى جَانِبِ اللهِ، وَتَسْكُنُ عِنْدَ ذِكْرِهِ، وَتَرْضَى بِهِ مَوْلًى وَنَصِيرًا
“Yakni hati mereka selalu nikmat dan condong ke hadirat Allah, merasakan sakinah (kedamaian) ketika berdzikir kepada-Nya, dan selalu ridla kepada-Nya sebagai satu-satunya Yang Memberi Perlindungan juga Penolong.”
Inilah healing yang sebenarnya. Healing yang diisi dengan hiburan dan senang-senang hanya healing semu yang bersifat sementara. Sesudahnya tidak tenang kembali. Sementara dengan dzikrul-‘Llah maka selamanya hati akan serasa di-healing sepanjang hidup. Bukan sebagaimana yang umum dijumpai; healing sesaat, dan sesaat kemudian stress kembali dan tidak tenang.
Orang-orang yang selalu mengisi healing-nya dengan hiburan dan senang-senang serta malah jauh dari dzikrul-‘Llah justru Allah swt tegaskan akan selalu merasakan kesempitan hidup:
وَمَنۡ أَعۡرَضَ عَن ذِكۡرِي فَإِنَّ لَهُۥ مَعِيشَةٗ ضَنكٗا وَنَحۡشُرُهُۥ يَوۡمَ ٱلۡقِيَٰمَةِ أَعۡمَىٰ ١٢٤
“Dan siapa berpaling dari dzikir kepada-Ku, maka sesungguhnya baginya kehidupan yang sempit, dan Kami akan menghimpunkannya pada hari kiamat dalam keadaan buta.” (QS. Thaha [20] : 124).
Kehidupan sempit (ma’isyatan dlankan) yang dimaksud ayat di atas dijelaskan oleh al-Hafizh Ibn Katsir sebagai berikut:
{فَإِنَّ لَهُ مَعِيشَةً ضَنْكًا} أَيْ: فِي الدُّنْيَا، فَلَا طُمَأْنِينَةَ لَهُ وَلَا انْشِرَاحَ لِصَدْرِهِ، بَلْ صَدْرُهُ ضَيِّقٌ حَرَج لِضَلَالِهِ، وَإِنْ تَنَعَّم ظَاهِرُهُ وَلَبِسَ مَا شَاءَ وَأَكَلَ مَا شَاءَ وَسَكَنَ حَيْثُ شَاءَ، فَإِنَّ قلبه مَا لَمْ يَخْلُصْ إِلَى الْيَقِينِ وَالْهُدَى فَهُوَ فِي قَلَقٍ وَحَيْرَةٍ وَشَكٍّ فَلَا يَزَالُ فِي رِيبَةٍ يَتَرَدَّدُ. فَهَذَا مِنْ ضَنْكِ الْمَعِيشَةِ
“Yaitu mereka hidup sempit di dunia tanpa ada ketenteraman dan kelapangan, karena hatinya sempit dan sesak diakibatkan kesesatannya, meskipun secara lahirnya ia kelihatan senang; berpakaian sesuai yang ia mau, makan sesuai yang ia ingin, dan tinggal di rumah yang ia idamkan. Itu disebabkan hatinya tidak tulus untuk yakin dan mengikuti petunjuk. Maka selamanya hati orang seperti ini berada dalam kegalauan, kegelisahan, kekhawatiran, dan tidak pernah lepas dari keraguan yang akan selalu membimbangkannya. Inilah yang dimaksud kehidupan yang sempit.”
Karena orang yang selalu ingin bersenang-senang dalam hidupnya jauh dari hidayah, maka otomatis hatinya akan selalu kosong dari hidayah dan hanya disesaki oleh pikiran dan lamunan dunia. Akibatnya hatinya akan selalu terasa sempit, meski sewaktu-waktu ia memaksakan diri menyenangkan hatinya dengan healing duniawi. Kesenangan sesaat itu pun, tegas Allah swt dalam firman-Nya, hakikatnya hanya tipuan-tipuan dari setan, sebagai konsekuensi jalan hidup yang berpaling dari dzikir.
وَمَن يَعۡشُ عَن ذِكۡرِ ٱلرَّحۡمَٰنِ نُقَيِّضۡ لَهُۥ شَيۡطَٰنٗا فَهُوَ لَهُۥ قَرِينٞ ٣٦ وَإِنَّهُمۡ لَيَصُدُّونَهُمۡ عَنِ ٱلسَّبِيلِ وَيَحۡسَبُونَ أَنَّهُم مُّهۡتَدُونَ ٣٧
Siapa yang berpaling dari dzikir kepada Yang Maha Pemurah, Kami adakan baginya setan (yang menyesatkan) maka setan itulah yang menjadi teman yang selalu menyertainya. Dan sesungguhnya setan-setan itu benar-benar menghalangi mereka dari jalan yang benar dan mereka menyangka bahwa mereka mendapat petunjuk (QS. az-Zukhruf [43] : 36-37).
Kata ya’syu (berpaling) asal katanya ‘asya dan berlaku pada mata. Maknanya: Penglihatan mata (bashar) yang kurang jelas. Tetapi yang dimaksud dalam ayat ini adalah “penglihatan hati (bashirah) yang tidak tajam”. Maksudnya berpura-pura buta, sengaja lalai, dan berpaling dari dzikir. Demikian al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan.
Bagi mereka yang dalam kesehariannya membutakan hatinya dari dzikir, otomatis hidupnya akan selalu ditemani setan, dan setan menipu manusia bahwa kebahagiaan itu adanya di hiburan dan bersenang-senang, maka jadilah ia merasa benar dengan asumsinya bahwa healing itu bersenang-senang duniawi.
Nabi saw teladan mulia dalam healing. Meski ada kalanya beliau lelah hati tetapi selalu mudah tersegarkan kembali karena dzikir sudah menjadi hiasan dalam hidupnya. ‘Aisyah ra menjelaskan:
كَانَ رَسُولُ الله ﷺ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ
Rasulullah saw senantiasa berdzikir kepada Allah dalam setiap waktunya (Shahih Muslim kitab al-haidl bab dzikril-‘Llah fi halil-janabah wa ghairihi no. 852).
Bahkan dalam kegiatan perjalanan safar pun beliau selalu mengisinya dengan kegiatan-kegiata dzikir. Jauh berbeda dengan mayoritas umatnya yang menjadikan perjalanan safar untuk healing dalam kesenangan duniawi.
عَنْ عَامِرِ بْنِ رَبِيعَةَ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ وَهُوَ عَلَى الرَّاحِلَةِ يُسَبِّحُ يُومِئُ بِرَأْسِهِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ وَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يَصْنَعُ ذَلِكَ فِي الصَّلَاةِ الْمَكْتُوبَةِ
Dari ‘Amir ibn Rabi’ah, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah saw di atas unta shalat sunat sambil berisyarat dengan kepalanya ke arah mana saja beliau menghadap. Tetapi Rasulullah saw tidak pernah mengerjakan hal itu dalam shalat wajib.” (Shahih al-Bukhari bab yanzilu lil-maktubah; turun dari kendaraan untuk shalat wajib—hanya boleh shalat sunat saja, no. 1097)
قَالَ ابْنُ عُمَرَ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ يُسَبِّحُ عَلَى الرَّاحِلَةِ قِبَلَ أَيِّ وَجْهٍ تَوَجَّهَ وَيُوتِرُ عَلَيْهَا غَيْرَ أَنَّهُ لَا يُصَلِّي عَلَيْهَا الْمَكْتُوبَةَ
Ibn ‘Umar berkata: “Rasulullah saw shalat sunat di atas unta ke arah mana saja beliau menghadap dan shalat witir di atasnya. Tetapi beliau tidak pernah mengerjakannya dalam shalat wajib.” (Shahih al-Bukhari bab yanzilu lil-maktubah; turun dari kendaraan untuk shalat wajib—hanya boleh shalat sunat saja, no. 1098)
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللهِ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ يُصَلِّي عَلَى رَاحِلَتِهِ نَحْوَ الْمَشْرِقِ فَإِذَا أَرَادَ أَنْ يُصَلِّيَ الْمَكْتُوبَةَ نَزَلَ فَاسْتَقْبَلَ الْقِبْلَةَ
Dari Jabir ibn ‘Abdillah: “Nabi saw pernah shalat di atas untanya ke arah timur (padahal qiblat dari Madinah itu ke arah selatan—pen). Apabila hendak shalat wajib, beliau turun dan menghadap qiblat.” (Shahih al-Bukhari bab yanzilu lil-maktubah; turun dari kendaraan untuk shalat wajib—hanya boleh shalat sunat saja, no. 1099)
Jika tidak shalat, Nabi saw mengisi kegiatan safarnya dengan membaca al-Qur`an:
عن عَبْدِ اللَّهِ بْنِ مُغَفَّلٍ قَالَ رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَوْمَ فَتْحِ مَكَّةَ وَهُوَ يَقْرَأُ عَلَى رَاحِلَتِهِ سُورَةَ الْفَتْحِ
Dari ‘Abdullah ibn Mughaffal, ia berkata: “Aku melihat Rasulullah saw pada hari Fathu Makkah membaca surat al-Fath di atas kendaraan.” (Shahih al-Bukhari bab al-qira`ah ‘alad-dabbah no. 5034).
Atau membaca lafazh-lafazh dzikir:
عن جابر قَالَ: كُنَّا إِذَا صَعِدْنَا كَبَّرْنَا، وَإِذَا نَزَلْنَا سَبَّحْنَا
Dari Jabir ra: “Kami apabila naik di perjalanan maka kami bertakbir, dan apabila menurun kami bertasbih.” (Shahih al-Bukhari bab at-tasbih idza habatha wadiyan no. 2993)
وعن ابن عمرَ رضي اللهُ عنهما، قَالَ: كَانَ النَّبيُّ ﷺ وجيُوشُهُ إِذَا عَلَوا الثَّنَايَا كَبَّرُوا، وَإِذَا هَبَطُوا سَبَّحُوا
Dari Ibn ‘Umar ra: “Nabi saw dan pasukannya apabila naik dalam perjalanan maka mereka bertakbir, dan apabila menurun mereka bertasbih.” (Sunan Abi Dawud bab ma yaqulur-rajul idza safara no. 2601)
Wal-‘Llahu a’lam.