Mengobrol santai dan seringkali ditemani secangkir kopi atau makanan ringan, sudah menjadi budaya yang lumrah di tengah-tengah masyarakat. Tetapi syari’at ternyata membencinya karena banyak dosanya. Apalagi jika obrolan itu dilakukan di waktu malam. Nabi saw membencinya karena hanya akan mengorbankan waktu untuk shalat malam. Obrolan yang dibenci tersebut hari ini semakin canggih karena bisa dilakukan lewat chat whatsapp, twitter, IG, FB, game online, dan tontonan yang bukan tuntunan. Selama tidak ada unsur kebaikan, amar ma’ruf nahyi munkar, dan dzikrullah sudah semestinya dihindari.
Obrolan sebagaimana dijelaskan oleh Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah percakapan ringan dan santai; omong kosong. Mengobrol adalah bercakap-cakap atau berbincang-bincang secara santai tanpa pokok pembicaraan tertentu (kbbi online). Ini adalah kebiasaan sehari-hari masyarakat pada umumnya ketika mereka memiliki waktu luang dan santai. Sesuatu hal yang tampaknya tidak ada masalah, tetapi justru dalam pandangan syari’at sangat bermasalah.
Al-Qur`an mengkritik keras kebiasaan buruk mengobrol ini dalam salah satu ayatnya:
لَّا خَيۡرَ فِي كَثِيرٖ مِّن نَّجۡوَىٰهُمۡ إِلَّا مَنۡ أَمَرَ بِصَدَقَةٍ أَوۡ مَعۡرُوفٍ أَوۡ إِصۡلَٰحِۢ بَيۡنَ ٱلنَّاسِۚ وَمَن يَفۡعَلۡ ذَٰلِكَ ٱبۡتِغَآءَ مَرۡضَاتِ ٱللَّهِ فَسَوۡفَ نُؤۡتِيهِ أَجۡرًا عَظِيمٗا ١١٤
Tidak ada kebaikan pada kebanyakan bisikan-bisikan mereka, kecuali bisikan-bisikan dari orang yang menyuruh (manusia) memberi sedekah, atau berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian di antara manusia. Dan barangsiapa yang berbuat demikian karena mencari keridhaan Allah, maka kelak Kami memberi kepadanya pahala yang besar (QS. an-Nisa` [4] : 114).
“Bisikan-bisikan” yang diterjemahkan dari najwa dalam ayat di atas maksudnya sebagaimana ditegaskan al-Hafizh Ibn Katsir adalah “kalamun-nas” (mengobrol dengan orang-orang). Artinya, al-Qur`an menegaskan bahwa kebanyakan obrolan itu tidak ada kebaikannya, selain yang menjadikannya sebagai sarana untuk menyuruh (manusia) memberi sedekah, berbuat ma’ruf, atau mengadakan perdamaian. Yang lainnya, la khaira (tidak ada kebaikannya).
Ayat-ayat lainnya menuntun kaum beriman untuk selalu bisa meninggalkan laghwun; hiburan, permainan, dan hal-hal yang remeh temeh atau tidak penting.
وَٱلَّذِينَ هُمۡ عَنِ ٱللَّغۡوِ مُعۡرِضُونَ ٣
(Orang yang beriman adalah)…dan orang-orang yang menjauhkan diri dari (perbuatan dan perkataan) yang tiada berguna (QS. al-Mu`minun [23] : 3).
وَٱلَّذِينَ لَا يَشۡهَدُونَ ٱلزُّورَ وَإِذَا مَرُّواْ بِٱللَّغۡوِ مَرُّواْ كِرَامٗا ٧٢
(‘Ibadurrahman/hamba-hamba pilihan Allah adalah)… dan apabila mereka bertemu dengan (orang-orang) yang mengerjakan perbuatan-perbuatan yang tidak berfaedah, mereka lalui (saja) dengan menjaga kehormatan dirinya (QS. al-Furqan [25] : 72).
وَإِذَا سَمِعُواْ ٱللَّغۡوَ أَعۡرَضُواْ عَنۡهُ وَقَالُواْ لَنَآ أَعۡمَٰلُنَا وَلَكُمۡ أَعۡمَٰلُكُمۡ سَلَٰمٌ عَلَيۡكُمۡ لَا نَبۡتَغِي ٱلۡجَٰهِلِينَ ٥٥
(Orang yang beriman adalah)… dan apabila mereka mendengar perkataan yang tidak bermanfaat, mereka berpaling daripadanya dan mereka berkata: “Bagi kami amal-amal kami dan bagimu amal-amalmu, kesejahteraan atas dirimu, kami tidak ingin bergaul dengan orang-orang jahil” (QS. al-Qashash [28] : 55).
Unsur dosa dalam obrolan itu sendiri sebagaimana dijelaskan oleh Imam al-Ghazali (450-505 H/1058-1111 M) berikut ini:
“Jangan sampai anda berbicara dalam hal yang tidak penting, sebab itu hanya akan menghabiskan waktu, padahal amal lisan akan dihisab. Anda jadinya mengganti yang baik dengan yang jelek. Seandainya saja anda mencurahkan waktu berbicara itu untuk berpikir, seringkali terbuka untuk anda celah-celah rahmat Allah ketika anda memikirkan keagungan anugerah-Nya. Seandainya juga anda isi dengan tahlil kepada Allah, dzikir, atau tasbih, tentu itu lebih baik bagi anda. Sungguh banyak tidak terhingga kalimat yang dengannya anda akan bisa membangun istana di surga.
Sungguh, siapa orangnya yang mampu mengambil harta karun tetapi ternyata ia hanya mengambil batu biasa yang tidak bermanfaat, maka ia telah rugi serugi-ruginya. Ini adalah perumpamaan orang yang meninggalkan dzikrul-‘Llah karena tersibukkan oleh hal-hal mubah yang tidak bermanfaat. Meskipun ia tidak berdosa, tetapi ia sudah rugi. Sebab ia melewatkan keuntungan yang besar dari dzikrul-‘Llah. Padahal seorang mu`min itu diamnya adalah berpikir, melihatnya adalah mengambil ‘ibrah, dan berbicaranya adalah dzikir (Ihya` ‘Ulumid-Din kitab afatil-lisan).
Imam al-Ghazali mengutip juga penjelasan dari ‘Atha ibn Abi Rabah (w. 114 H) sebagai berikut:
“Sungguh orang-orang sebelum kalian (para shahabat) membenci berbicara berlebihan. Yaitu perkataan selain kitab Allah dan sunnah Rasulullah, amar ma’ruf nahyi munkar, atau berbicara dalam urusan kehidupan yang diperlukan dan mesti dijalani. Apakah kalian lupa bahwa di samping kalian ada malaikat yang menjaga, yang mulia, mencatat amal, di sebelah kanan dan kiri selalu ada, tidak ada satu ucapan pun yang diucapkan kecuali akan tercatat oleh malaikat yang mengawasi dan mencatat. Apakah salah seorang di antaramu tidak malu jika suatu saat dibukakan catatan amalnya, ternyata sepanjang siangnya penuh dengan hal-hal tidak penting, baik dari urusan agamanya atau urusan dunianya!?” (Ihya` ‘Ulumid-Din kitab afatil-lisan).
Nabi saw sudah memberikan tuntunan dalam berbagai haditsnya:
طُوْبَى لِمَنْ أَمْسَكَ الْفَضْلَ مِنْ لِسَانِهِ وَأَنْفَقَ الْفَضْلَ مِنْ مَالِهِ
Alangkah baiknya orang yang menahan kelebihan dari lisannya, dan menginfaqkan kelebihan dari hartanya (Ibn ‘Abdil-Barr: Hadits hasan. Riwayat al-Baihaqi dalam Mu’jam as-Shahabah [Al-‘Iraqi, al-Mughni ‘an Hamlil-Asfar 1 : 774]).
لاَ تُكْثِرُوا الكَلَامَ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ فَإِنَّ كَثْرَةَ الكَلَامِ بِغَيْرِ ذِكْرِ اللَّهِ قَسْوَةٌ لِلْقَلْبِ، وَإِنَّ أَبْعَدَ النَّاسِ مِنَ اللَّهِ القَلْبُ القَاسِي
Jangan banyak berbicara yang tidak ada dzikrullahnya, sebab banyak berbicara yang tidak ada dzikrullahnya akan mengeraskan hati. Sungguh orang yang paling jauh dari Allah adalah orang yang hatinya keras (Sunan at-Tirmidzi abwab az-zuhd bab ma ja`a fi hifzhil-lisan no. 2411).
Catatan: Imam at-Tirmidzi menyatakan hadits di atas: “Ini hadits gharib (asing). Kami tidak mengetahuinya kecuali dari hadits Ibrahim ibn ‘Abdillah ibn Hathib.” Nama lengkapnya Ibrahim ibn ‘Abdillah ibn al-Harits ibn Hathib. Ibn Hajar menilainya: Shaduq rawa marasil/seorang rawi yang jujur tetapi suka meriwayatkan mursal (Taqribut-Tahdzib no. 194). Al-Bisti menyebutkannya dalam kitab ats-Tsiqat dan menyatakan: mustaqimul-hadits/lurus dalam haditsnya (Ikmal Tahdzibul-Kamal no. 232). Hadits di atas diterima oleh Ibrahim dari rawi-rawi tsiqat, yakni ‘Abdullah ibn Dinar, dari Ibn ‘Umar. Artinya tidak mursal. Sementara al-Albani menilainya majhul (tidak dikenal). Kesimpulan: Hadits hasan. Imam Malik dalam kitabnya, al-Muwaththa` menyatakan bahwa ini diucapkan oleh Nabi ‘Isa as).
Apalagi jika obrolan-obrolan santai di atas dilakukan selepas shalat isya. Shahabat Abu Barzah al-Aslami ra meriwayatkan:
كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ …يَكْرَهُ النَّوْمَ قَبْلَهَا وَالْحَدِيثَ بَعْدَهَا…
Rasulullah saw membenci tidur sebelum ‘isya dan bercengkerama setelahnya. (Shahih al-Bukhari kitab mawaqitus-shalat bab ma yukrahu minas-samar ba’dal-‘isya` [makruh bercengkerama ba’da ‘isya] no. 599).
Maksudnya, para ulama menjelaskan, tidur sebelum ‘isya akan menyebabkan seseorang meninggalkan shalat berjama’ah ‘isya atau bahkan melampaui ‘isya dari waktunya. Sementara bercengkerama sesudah ‘isya akan menyebabkan seseorang tidur malam dan menyebabkannya tidak mampu shalat malam atau bahkan shalat shubuh di awal waktunya (Fathul-Bari bab ma yukrahu minan-naum qablal-‘isya).
Maka dari itu, ‘Umar ibn al-Khaththab suka memarahi orang-orang yang mengobrol sesudah ‘isya—tentunya di luar kegiatan keilmuan—sambil memukuli dan membentak mereka:
أَسَمَرًا أَوَّلَ اللَّيْل وَنَوْمًا آخِرَهُ!؟
Pantaskah kalian bercengkerama pada awal malam dan nanti tertidur di akhir malam!? (Fathul-Bari bab ma yukrahu minan-naum qablal-‘isya).
Wal-‘Llahu a’lam.