Sosial Politik

Bai’at kepada Pemimpin Yang Menang

Kewajiban umat Islam dalam hal kepemimpinan Negara bukan memilih pemimpin, melainkan berbai’at untuk tunduk dan patuh kepada pemimpin yang menang, meski ia bukan pemimpin ideal. Dalam sunnahnya, memilih pemimpin itu hanya wajib dilakukan oleh orang-orang terpilih atau Ahlul-Halli wal-‘Aqdi. Sementara berbai’at menyatakan siap tunduk dan patuh kepada pemimpin, wajib dilakukan oleh setiap muslim, terlepas dari apakah pemimpin yang menang itu disukai olehnya atau tidak.

Kewajiban untuk berbai’at menyatakan tunduk dan patuh kepada pemimpin disabdakan Nabi saw dalam beberapa haditsnya, di antaranya:

السَّمْعُ وَالطَّاعَةُ عَلَى الْمَرْءِ الْمُسْلِمِ فِيمَا أَحَبَّ وَكَرِهَ مَا لَمْ يُؤْمَرْ بِمَعْصِيَةٍ. فَإِذَا أُمِرَ بِمَعْصِيَةٍ فَلاَ سَمْعَ وَلاَ طَاعَةَ

Setiap muslim harus patuh dan taat pada hal yang ia sukai atau benci, selama ia tidak diperintah maksiat. Tapi jika ia diperintah maksiat, maka jangan patuh dan taat (Shahih al-Bukhari al-ahkam bab as-sam’ wat-tha’ah lil-imam ma lam takun ma’shiyatan no. 6611).

قَالَ عُبَادَةُ بْنُ الصَّامِتِ: دَعَانَا النَّبِيُّ ﷺ فَبَايَعْنَاهُ، فَقَالَ: فِيْمَا أَخَذَ عَلَيْنَا: أَنْ بَايَعْنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِي مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الْأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بِوَاحاً، عِنْدَكُمْ مِنَ اللهِ فِيْهِ بُرْهَانٌ.

‘Ubadah ibn as-Shamit berkata: “Nabi saw memanggil kami lalu kami berbaiat kepadanya.” Ia melanjutkan: “Materi baiat yang beliau ambil dari kami adalah kami berbaiat untuk senantiasa patuh dan taat, dalam keadaan senang dan benci, dalam keadaan sulit dan mudah, wajib mendahulukan pemimpin daripada kami, dan agar kami tidak mencabut urusan kepemimpinan dari yang berhaknya. Kecuali jika kalian menyaksikan kekufuran yang nyata, dan kalian punya pegangan yang jelas dari Allah mengenainya.(Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab qaulin-Nabiy shallal-llahu alaihi wa sallam satarauna badi umuran tunkirunaha, no. 6533)

مَنْ خَلَعَ يَدًا مِنْ طَاعَةٍ لَقِىَ اللهَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لاَ حُجَّةَ لَهُ وَمَنْ مَاتَ وَلَيْسَ فِى عُنُقِهِ بَيْعَةٌ مَاتَ مِيتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa yang melepaskan tangan dari ketaatan, ia akan bertemu Allah pada hari kiamat dalam keadaan tidak mempunyai hujjah. Dan siapa yang mati dengan tidak ada bai’at di lehernya, maka matinya seperti mati jahiliyyah (Shahih Muslim, kitab al-imarah, bab al-amr bi luzum al-jama’ah ‘inda zhuhur al-fitan, no. 4899).

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئاً فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْراً مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa yang tidak menyukai dari pemimpinnya sesuatu hal, maka bersabarlah. Karena sesungguhnya orang yang memberontak kepada sulthan (pemerintahan muslim) meski sejengkal saja, lalu ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyyah (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab satarauna ba’di umuran tunkirunaha no. 7053).
Hadits-hadits di atas ditujukan kepada pemimpin Negara (imam a’zham/khalifah/imam/amir/malik), bukan pemimpin organisasi. Demikian sebagaimana dijelaskan dalam kitab-kitab syarah hadits seperti Syarah an-Nawawi dan Fathul-Bari. Maka siapapun orangnya yang muslim harus menyatakan taat kepada pemimpin Negara. Ketaatan tersebut tidak boleh dilepaskan selama pemimpin Negara tidak kafir. Meski demikian bukan berarti turut membebek begitu saja, kewajiban amar ma’ruf nahyi munkar tetap harus dijalankan. Imam an-Nawawi misalnya ketika menjelaskan hadits ‘Ubadah di atas menulis:

وَمَعْنَى الْحَدِيث: لَا تُنَازِعُوا وُلَاة الْأُمُور فِي وِلَايَتهمْ وَلَا تَعْتَرِضُوا عَلَيْهِمْ إِلَّا أَنْ تَرَوْا مِنْهُمْ مُنْكَرًا مُحَقَّقًا تَعْلَمُونَهُ مِنْ قَوَاعِد الْإِسْلَام، فَإِذَا رَأَيْتُمْ ذَلِكَ فَأَنْكِرُوهُ عَلَيْهِمْ وَقُولُوا بِالْحَقِّ حَيْثُ مَا كُنْتُمْ. وَأَمَّا الْخُرُوج عَلَيْهِمْ وَقِتَالهمْ فَحَرَام بِإِجْمَاعِ الْمُسْلِمِينَ وَإِنْ كَانُوا فَسَقَة ظَالِمِينَ. وَقَدْ تَظَاهَرَتْ الْأَحَادِيث بِمَعْنَى مَا ذَكَرْته، وَأَجْمَعَ أَهْل السُّنَّة أَنَّهُ لَا يَنْعَزِل السُّلْطَان بِالْفِسْقِ

Makna hadits tersebut: Janganlah kalian melawan kepada para pemimpin Negara dalam kepemimpinan mereka dan jangan pula berontak kepada mereka kecuali jika melihat kemunkaran yang nyata dari mereka, yang kalian mengetahuinya dari kaidah-kaidah Islam. Jika kalian melihat demikian, ingkarilah, dan katakanlah haq di mana saja kalian berada. Adapun berontak dan memerangi mereka maka ini haram berdasarkan ijma’ (kesepakatan) kaum muslimin meski para pemimpin itu fasiq zhalim. Hadits-hadits telah jelas menunjukkan makna yang aku jelaskan ini. Ahlus-Sunnah sepakat bahwa kekuasaan tidak boleh digulingkan karena kefasiqan (Syarah an-Nawawi bab wujub tha’atil-umara`).
 
Bai’at Ibn ‘Umar kepada Khalifah Yang Menang
Teladan berbai’at kepada pemimpin yang menang ini dicontohkan oleh para shahabat, di antaranya Ibn ‘Umar ra (10 SH-73 H) menjelang kewafatannya. Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya menuliskannya sebagai berikut:

قَالَ عَبْدُ اللَّهِ بْنُ دِينَارٍ شَهِدْتُ ابْنَ عُمَرَ حَيْثُ اجْتَمَعَ النَّاسُ عَلَى عَبْدِ الْمَلِكِ قَالَ كَتَبَ إِنِّي أُقِرُّ بِالسَّمْعِ وَالطَّاعَةِ لِعَبْدِ اللَّهِ عَبْدِ الْمَلِكِ أَمِيرِ الْمُؤْمِنِينَ عَلَى سُنَّةِ اللَّهِ وَسُنَّةِ رَسُولِهِ مَا اسْتَطَعْتُ وَإِنَّ بَنِيَّ قَدْ أَقَرُّوا بِمِثْلِ ذَلِكَ

‘Abdullah ibn Dinar berkata: Aku menyaksikan Ibn ‘Umar ketika rakyat bersatu di bawah ‘Abdul-Malik ia berkata dalam suratnya: “Aku berikrar tunduk dan patuh kepada hamba Allah ‘Abdul-Malik pemimpin kaum mu`minin berdasarkan sunnah Allah dan sunnah Rasul-Nya selama aku mampu. Dan sungguh putra-putraku berikrar hal yang sama.” (Shahih al-Bukhari kitab al-ahkam bab kaifa yubayi’ul-imamun-nas no. 7203).
Pernyataan “berdasarkan sunnah” yang ditulis Ibn ‘Umar menunjukkan memang demikian sunnah Allah dan Rasul mengajarkannya. Pernyataan bai’at itu dikemukakan Ibn ‘Umar ra setelah hampir 10 tahun (64-73 H) ia enggan berbai’at kepada seorang khalifah pun dari dua khalifah yang terlibat konflik cukup lama; ‘Abdullah ibnuz-Zubair (1-73 H) dan ‘Abdul-Malik ibn Marwan (26-86 H). Baru ketika ‘Abdul-Malik ibn Marwan berhasil menguasai semua wilayah kekhilafahan Islam, Ibn ‘Umar beserta anak-anaknya menyatakan berbai’at kepada ‘Abdul-Malik berdasarkan sunnah Rasulullah saw.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari menjelaskan bahwa semula ketika ‘Ali ibn Abi Thalib dan Mu’awiyah radliyal-‘Llah ‘anhuma terlibat konflik politik pun Ibn ‘Umar belum mau berbai’at kepada salah satunya. Baru ketika terjadi perdamaian di mana al-Hasan putra ‘Ali ra menyerahkan kekhilafahan kepada Mu’awiyah ra, Ibn ‘Umar bersedia bai’at kepada Mu’awiyah. Setelah wafat Mu’awiyah, Ibn ‘Umar juga berbai’at kepada putranya yang jadi pelanjutnya, Yazid ibn Mu’awiyah. Setelah Yazid meninggal dunia, lalu digantikan oleh putranya Mu’awiyah, tetapi hanya berlangsung selama 40 hari karena meninggal dunia, Ibn ‘Umar belum sempat berbai’at. Sebab di waktu yang sama juga ‘Abdullah ibnuz-Zubair ra yang menjabat Gubernur di Makkah dibai’at oleh mayoritas kaum muslimin sebagai Khalifah selepas Yazid meninggal dunia. Ibnuz-Zubair itu sendiri dari sejak awal enggan berbai’at kepada Yazid karena tidak mengakuinya sebagai Khalifah. Berdasarkan kesepakatan antara al-Hasan dan Mu’awiyah sendiri, menurut Ibnuz-Zubair, kekhalifahan selepas Mu’awiyah semestinya dikembalikan kepada musyawarah kaum muslimin, bukan diwariskan kepada anak Mu’awiyah.
Kaum muslimin yang berbai’at kepada ‘Abdullah ibnuz-Zubair sendiri ternyata mayoritas, bahkan termasuk Syam yang dari sejak awal dipimpin Mu’awiyah, dan pada zaman itu dipimpin oleh Marwan ibn al-Hakam, sepupu Mu’awiyah. Yang menolak berbai’at hanya keluarga Bani Umayyah yang dipimpin Marwan di Palestina, dan pada saat itu rakyat di Palestina malah membai’at Marwan. Maka Marwan pun memimpin pasukan untuk menguasai Syam pada tahun 64 H. Setelah dikuasai, ia melanjutkannya dengan menaklukkan Mesir. Mesir pun berhasil dikuasai pada tahun 65 H, enam bulan selepas pembai’atannya. Setelah itu ia meninggal dunia dan mewariskan kekhalifahan kepada putranya, ‘Abdul-Malik ibn Marwan. Di tangan ‘Abdul-Malik ini usaha merebut kekuasaan dilanjutkan kembali, sehingga satu persatu wilayah berhasil ditaklukkan. Hingga pada tahun 73 H, ‘Abdul-Malik ibn Marwan menyerang Makkah dan mengalahkan pasukan ‘Abdullah ibnuz-Zubair. ‘Abdullah ibnuz-Zubair pun terbunuh dalam peperangan tersebut. Pada saat itulah seluruh kekhilafahan Islam berada di bawah kekuasaan ‘Abdul-Malik ibn Marwan.
Setelah menunda bai’atnya selama hampir 10 tahun di masa-masa konflik kekuasaan, shahabat Ibn ‘Umar ra kemudian menulis surat dari Madinah ke Damaskus, Suriah, ditujukan langsung kepada Khalifah ‘Abdul-Malik ibn Marwan, yang isinya menyatakan bahwa ia dan keluarganya saat itu berikrar bai’at tunduk dan patuh kepada Khalifah. Itu dilakukannya sebagai bentuk ketundukannya kepada sunnah Allah dan Rasul-Nya.
Padahal semula, ketika ‘Ali dan Mu’awiyah berperang dalam masalah kekhilafahan, para shahabat mayoritas sepakat bahwa yang benar ‘Ali, dan itulah yang diyakini oleh para ulama Ahlus-Sunnah sebagaimana dijelaskan Imam an-Nawawi berikut ini:

وَاعْلَمْ أَنَّ الدِّمَاء الَّتِي جَرَتْ بَيْن الصَّحَابَة  لَيْسَتْ بِدَاخِلَةٍ فِي هَذَا الْوَعِيد، وَمَذْهَب أَهْل السُّنَّة وَالْحَقّ إِحْسَان الظَّنّ بِهِمْ وَالْإِمْسَاك عَمَّا شَجَرَ بَيْنهمْ، وَتَأْوِيل قِتَالهمْ، وَأَنَّهُمْ مُجْتَهِدُونَ مُتَأَوِّلُونَ لَمْ يَقْصِدُوا مَعْصِيَة وَلَا مَحْض الدُّنْيَا، بَلْ اِعْتَقَدَ كُلّ فَرِيق أَنَّهُ الْمُحِقّ وَمُخَالِفه بَاغٍ، فَوَجَبَ عَلَيْهِ قِتَاله لِيَرْجِع إِلَى أَمْر اللَّه. وَكَانَ بَعْضهمْ مُصِيبًا، وَبَعْضهمْ مُخْطِئًا مَعْذُورًا فِي الْخَطَأ؛ لِأَنَّهُ لِاجْتِهَادٍ، وَالْمُجْتَهِد إِذَا أَخْطَأَ لَا إِثْم عَلَيْهِ، وَكَانَ عَلِيّ  هُوَ الْمُحِقّ الْمُصِيب فِي تِلْك الْحُرُوب. هَذَا مَذْهَب أَهْل السُّنَّة، وَكَانَتْ الْقَضَايَا مُشْتَبِهَة حَتَّى إِنَّ جَمَاعَة مِنْ الصَّحَابَة تَحَيَّرُوا فِيهَا فَاعْتَزَلُوا الطَّائِفَتَيْنِ وَلَمْ يُقَاتِلُوا وَلَمْ يَتَيَقَّنُوا الصَّوَاب، ثُمَّ تَأَخَّرُوا عَنْ مُسَاعَدَته مِنْهُمْ

Ketahuilah bahwasanya darah yang tercucur di antara shahabat tidak termasuk ke dalam ancaman di hadits ini (yang membunuh dan yang terbunuh masuk neraka—pen). Madzhab Ahlus-Sunnah dan al-Haq berprasangka baik kepada mereka dan menahan diri dalam hal-hal yang terjadi di antara mereka, berusaha memahami dengan arti lain seputar peperangan di antara mereka, dan bahwasanya mereka itu berijtihad dan berta`wil, tidak bermaksud maksiat dan semata-mata mencari keuntungan dunia. Masing-masing mengira bahwa kelompoknya yang benar dan lawannya pembangkang (bughat), sehingga wajib diperangi sampai kembali pada urusan Allah. Sebagian shahabat tentu benar dan sebagiannya lagi keliru. Akan tetapi kekeliruan mereka diampuni karena berdasarkan ijtihad. Seseorang yang ijtihad itu jika ia keliru tidak akan berdosa. Dan adalah ‘Ali ra merupakan pihak yang benar dan tepat dalam peperangan tersebut. Ini adalah madzhab Ahlus-Sunnah. Akan tetapi kedudukan perkara di antara mereka sangat syubhat. Sehingga sekelompok shahabat ragu dan menjauhi kedua kelompok shahabat yang berkonflik tersebut. Mereka tidak ikut berperang dan tidak yakin mana yang benar, sehingga mereka enggan membantu ‘Ali dalam melawan para pemberontaknya (Syarah an-Nawawi bab idza tawajahal-muslimani bi saifaihima).
Tetapi ketika faktanya kemudian Mu’awiyah yang menang, maka Ibn ‘Umar ra pun berbai’at, karena memang sunnahnya demikian. Demikian halnya ketika awalnya Marwan dan ‘Abdul-Malik ibn Marwan tidak dibai’at sebagai khalifah oleh mayoritas kaum muslimin karena mereka lebih memilih ‘Abdullah ibnuz-Zubair. Akan tetapi karena kemenangan kemudian berpihak kepada ‘Abdul-Malik ibn Marwan, meski ia memenangkan kekhilafahan dengan cara kekerasan yang sampai membunuh ‘Abdullah ibnuz-Zubair, para shahabat pun termasuk Ibn ‘Umar ra kemudian berbai’at kepadanya.
Semua ini menunjukkan sunnah yang jelas, bahwa siapapun pemimpin Negara yang menang, meski ia bukan sosok pemimpin yang ideal, maka kaum muslimin wajib menyatakan setia kepadanya. Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Back to top button