Al-‘Ain haqq; bahaya ‘ain (menimpakan sesuatu yang buruk dengan pandangan mata) adalah haq, benar-benar nyata. Menolak kenyataannya sama saja dengan menolak kebenaran sabda Nabi saw dalam hadits-haditsnya yang shahih. Tidak ada bedanya dengan menolak hari akhir dan semua yang akan terjadi pada saatnya kelak hanya karena tidak dimengerti akal. Mereka yang menolak kenyataan bahaya ‘ain ini sepanjang sejarah hanyalah ahli-ahli bid’ah saja. Demikian al-Hafizh Ibn Hajar menegaskannya dalam pengantar syarah hadits al-‘ain haq.
‘Ain arti asalnya “mata”. Yang dimaksud dalam hadits, sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn Hajar, adalah al-ishabah bil-‘ain; menimpakan suatu musibah dengan pandangan mata. Hadits al-‘ain haqq diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim yang status keshahihannya muttafaq ‘alaih (disepakati oleh semua ulama). Bersumber dari shahabat Abu Hurairah ra, Nabi saw bersabda:
الْعَيْنُ حَقٌّ وَنَهَى عَنْ الْوَشْمِ
“‘Ain adalah haq.” Dan beliau melarang dari bertato (Shahih al-Bukhari bab al-‘ain haqq no. 5740; Shahih Muslim bab at-thibb wal-maradl war-ruqa no. 5830).
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan, keterkaitan antara larangan bertato dengan ‘ain karena diyakini bahwa tato itu bisa menolak bahaya ‘ain, oleh sebab itu Nabi saw melarangnya karena memang hukum asalnya haram. Ini sekaligus mengajarkan bahwa tato sebagai penangkal ‘ain itu hanya asumsi kosong semata. Yang benar adalah dampak buruk ‘ain itu akan terjadi jika Allah swt menghendakinya meski seseorang sudah bertato (Fathul-Bari bab al-‘ain haqq). Hal ini tentunya berbeda dengan perintah Nabi saw untuk mandi terkait ‘ain, sebagaimana akan disinggung dalam hadits Ibn ‘Abbas di bawah, karena memang diketahui benar ada dampak penyembuhannya.
Hadits Ibn ‘Abbas yang dimaksud terkait ‘ain diriwayatkan oleh Imam Muslim, redaksinya:
الْعَيْنُ حَقٌّ وَلَوْ كَانَ شَىْءٌ سَابَقَ الْقَدَرَ سَبَقَتْهُ الْعَيْنُ وَإِذَا اسْتُغْسِلْتُمْ فَاغْسِلُوا
‘Ain adalah haq. Seandainya ada sesuatu yang mendahului qadar/taqdir tentulah yang mendahuluinya itu adalah ‘ain. Dan jika kalian diminta mandi, maka mandilah (Shahih Muslim bab at-thibb wal-maradl war-ruqa no. 5831).
Terkait “mendahului taqdir” ini, para ulama Ahlus-Sunnah sepakat bahwa itu terjadi berkat kehendak Allah swt mengubah taqdir tersebut. Demikian Imam an-Nawawi menjelaskan dalam Syarah Shahih Muslim. Jadi seandainya Allah swt tidak menghendaki untuk mengubahnya, maka ‘ain tidak bisa mengubah taqdir. ‘Ain tidak bisa mendatangkan bahaya apapun seandainya Allah swt tidak menghendakinya (Syarah Shahih Muslim bab at-thibb wal-maradl war-ruqa). Sementara al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa sabda Nabi saw di atas dengan menggunakan lafazh “lau” (seandainya), menunjukkan bahwa itu tidak mungkin terjadi. Dan seandainya ada—meski itu sebenarnya tidak ada—maka yang mendahului taqdir itu adalah ‘ain. Tetapi karena tidak ada, maka apalagi yang selain ‘ain, pasti tidak akan bisa. Pernyataan Nabi saw ini hanya untuk menekankan betapa bahayanya ‘ain (Fathul-Bari bab al-‘ain haqq). Yang dimaksud “selain ‘ain” oleh al-Hafizh itu contohnya sihir, santet, pelet, jaelangkung, dan praktik-praktik klenik lainnya, semuanya ini tidak bisa mengubah taqdir. ‘Ain saja tidak bisa, apalagi praktik-praktik klenik yang disebutkan ini.
Terkait sabda Rasul saw agar seseorang yang diduga membahayakan dengan ‘ain bersedia diminta mandi, para ulama menjelaskan bahwa itu berdasarkan pada apa yang sudah sama-sama diketahui pada masa itu bahwa air bekas mandi dari orang tersebut bisa menyembuhkan dampak buruk ‘ain yang menimpa objek penderitanya. Hal ini kemudian diperkuat dengan perintah Nabi saw tersebut, sehingga para ulama menghukuminya wajib jika memang orang yang dimaksud “diminta mandi”, sebab asal dalam perintah syari’at itu hukumnya wajib (Fathul-Bari bab al-‘ain haqq). Hal ini dikuatkan oleh hadits Sahl ibn Hunaif yang diriwayatkan Ahmad dan an-Nasa`i sebagai berikut:
عَنْ أَبِي أُمَامَةَ بْنِ سَهْلِ بْنِ حُنَيْفٍ، أَنَّ أَبَاهُ حَدَّثَهُ: أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ خَرَجَ، وَسَارُوا مَعَهُ نَحْوَ مَكَّةَ، حَتَّى إِذَا كَانُوا بِشِعْبِ الْخَزَّارِ مِنَ الْجُحْفَةِ، اغْتَسَلَ سَهْلُ بْنُ حُنَيْفٍ وَكَانَ رَجُلًا أَبْيَضَ حَسَنَ الْجِسْمِ وَالْجِلْدِ، فَنَظَرَ إِلَيْهِ عَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ أَخُو بَنِي عَدِيِّ بْنِ كَعْبٍ وَهُوَ يَغْتَسِلُ، فَقَالَ: مَا رَأَيْتُ كَالْيَوْمِ، وَلَا جِلْدَ مُخَبَّأَةٍ فَلُبِطَ سَهْلٌ، فَأُتِيَ رَسُولُ اللهِ ﷺ ، فَقِيلَ لَهُ: يَا رَسُولَ اللهِ، هَلْ لَكَ فِي سَهْلٍ؟ وَاللهِ مَا يَرْفَعُ رَأْسَهُ وَمَا يُفِيقُ، قَالَ: هَلْ تَتَّهِمُونَ فِيهِ مِنْ أَحَدٍ؟ قَالُوا: نَظَرَ إِلَيْهِ عَامِرُ بْنُ رَبِيعَةَ فَدَعَا رَسُولُ اللهِ ﷺ عَامِرًا، فَتَغَيَّظَ عَلَيْهِ وَقَالَ: عَلَامَ يَقْتُلُ أَحَدُكُمْ أَخَاهُ؟ هَلَّا إِذَا رَأَيْتَ مَا يُعْجِبُكَ بَرَّكْتَ؟ ثُمَّ قَالَ لَهُ: اغْتَسِلْ لَهُ, فَغَسَلَ وَجْهَهُ وَيَدَيْهِ وَمِرْفَقَيْهِ وَرُكْبَتَيْهِ وَأَطْرَافَ رِجْلَيْهِ وَدَاخِلَةَ إِزَارِهِ فِي قَدَحٍ، ثُمَّ صُبَّ ذَلِكَ الْمَاءُ عَلَيْهِ، يَصُبُّهُ رَجُلٌ عَلَى رَأْسِهِ وَظَهْرِهِ مِنْ خَلْفِهِ، يُكْفِئُ الْقَدَحَ وَرَاءَهُ، فَفَعَلَ بِهِ ذَلِكَ، فَرَاحَ سَهْلٌ مَعَ النَّاسِ لَيْسَ بِهِ بَأْسٌ
Dari Abu Umamah ibn Sahl ibn Hunaif, bahwasanya ayahnya (Sahl ibn Hunaif) menceritakan kepadanya: Rasulullah saw keluar melakukan perjalanan bersama para shahabatnya ke arah Makkah. Ketika beristirahat di lembah al-Khazzar, daerah Juhfah, Sahl ibn Hunaif mandi. Ia adalah seorang lelaki yang putih dan bagus perawakan dan kulitnya. Lalu ‘Amir ibn Rabi’ah dari Bani ‘Adiy ibn Ka’ab melihatnya ketika ia mandi, dan berkata: “Belum pernah aku melihat seperti hari ini dan tidak pernah pula melihat kulit seseorang yang dipingit.” Maka Sahl pun terjatuh, lalu dilaporkan kepada Rasulullah saw: “Wahai Rasulullah, apakah anda bisa menyelamatkan Sahl? Demi Allah, ia tidak bisa mengangkat kepalanya dan ia tidak sadar.” Rasul saw menjawab: “Apakah kalian mencurigai seseorang?” Para shahabat menjawab: “‘Amir ibn Rabi’ah menatapnya.” (dalam riwayat al-Hakim disebutkan bahwa Sahl ibn Hunaif dan ‘Amir ibn Rabi’ah memang pergi berdua untuk mandi di mata air yang sama, dan itu diketahui oleh para shahabat). Lalu Rasulullah saw memanggil ‘Amir dan memarahinya sambil bersabda: “Atas hal apa seseorang dari kalian membunuh saudaranya? Mengapa tidak ketika kamu melihat apa yang mengagumkanmu kamu mendo’akan barakah?” Kemudian beliau memerintahnya: “Mandilah untuknya.” Ia lalu mencuci wajahnya, kedua tangan dan sikutnya, kedua lututnya, ujung kakinya, dan bagian dalam sarungnya di sebuah wadah air yang besar. Setelah itu air tersebut dituangkan kepadanya (Sahl).
Seseorang menuangkannya ke atas kepalanya, punggungnya dari belakang, membalikkan wadah air itu ke belakangnya lalu menuangkannya. Maka Sahl pun bisa melanjutkan lagi perjalanan bersama rombongan tanpa ada rasa sakit (Musnad Ahmad bab hadits Sahl ibn Hunaif no. 15980; as-Sunanul-Kubra an-Nasa`i bab al-‘ain no. 7570. Para ulama menilai hadits ini shahih, di antaranya Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim, al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari, al-Albani dalam as-Silsilah as-Shahihah, Syu’aib al-Arnauth dalam ta’liq Musnad Ahmad).
Inilah di antara contoh konkrit perintah Nabi saw “jika kalian diminta mandi, maka mandilah” dengan maksud air bekas mandinya akan dituangkan kepada orang yang terkena ‘ain. Orang yang dimaksud juga mandinya pada satu wadah besar berisi air dengan cara masuk ke dalamnya dengan tetap mengenakan sarung.
Imam al-Maziri menyatakan bahwa mandi yang dijelaskan dalam hadits di atas memang susah dimengerti oleh akal apa keterkaitannya. Akan tetapi meski susah dimengerti oleh akal, jika hadits shahih yang menginformasikannya maka tidak boleh ditolak. Ibnul-‘Arabi menyatakan bahwa jika syari’at ada yang susah difahami kami akan mengatakan: “Katakanlah Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Meski demikian banyak terbukti benarnya oleh orang-orang yang telah mencobanya dan tersaksikan dengan jelas oleh pandangan mata (Fathul-Bari bab al-‘ain haqq).
Ibnul-Qayyim al-Jauziyyah, sebagaimana dikutip al-Hafizh Ibn Hajar, menjelaskan bahwa penyembuhan ‘ain dengan mandi ini otomatis tidak akan dimengerti dan dirasakan manfaatnya oleh orang yang tidak mempercayainya, orang yang meremehkannya, meragukannya, atau hanya sekedar mencoba-cobanya tanpa meyakininya. Jika dalam dunia medis saja ada orang-orang spesialis yang mampu mengobati dengan cara tertentu yang tidak diketahui oleh dokter-dokter lainnya, lalu apa susahnya diketahui juga ada cara spesialis syar’iyyah sebagaimana diajarkan Nabi saw di atas? Meski demikian penyembuhan ‘ain dengan mandi ini, menurut Imam Ibnul-Qayyim, masih ada celah untuk dimengerti oleh akalnya seperti halnya penawar bisa ular yang diambil dari daging ular itu sendiri. Serangan ‘ain itu ibarat percikan api yang ditimpakan kepada seseorang, maka dari itu dipadamkannya dengan air (Fathul-Bari bab al-‘ain haqq).
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam hal ini menegaskan bahwa hadits di atas jelas memastikan seseorang yang diduga menimpakan ‘ain harus bersedia diminta mandi dan bekas airnya dijadikan penyembuhan untuk yang terkena ‘ain. Langkah ini ditempuh jika ‘ain sudah menimpakan bahayanya. Jika belum atau sebagai pencegahan, maka do’a memohon keberkahan bisa menangkalnya.
Ini sekaligus menjadi perintah kepada siapa saja yang melihat sesuatu yang menakjubkan dari seseorang untuk mendo’akan keberkahan baginya agar tidak malah menjadi ‘ain bagi orang tersebut. Setiap orang dengan sendirinya dituntut untuk tidak vulgar menampilkan apa saja yang membanggakan dirinya di hadapan orang lain, sebab tidak mustahil hal tersebut menjadi wasilah ‘ain baginya.
Hadits Sahl ibn Hunaif di atas juga menunjukkan bahwa ‘ain bisa ditimpakan oleh seseorang yang tidak menyadari bahwa dirinya mampu menimpakan ‘ain. Atau oleh seseorang yang tidak ada hasud dan niatan jelek untuk mencelakakan orang lain. Atau bahkan oleh orang yang shalih dan mencintainya karena Allah, sebagaimana halnya ‘Amir ibn Rabi’ah terhadap Sahl ibn Hunaif dalam hadits di atas. Meski demikian, jika itu kemudian terjadi, status orang yang menimpakan ‘ain tersebut—meski ia tidak merasa berbuat demikian—tetap berdosa, karena ia telah melakukan tatapan yang kagum dan tidak mendo’akan barakah untuk orang yang dikaguminya. Jika sampai membunuh penderitanya maka berarti statusnya sama dengan membunuh tidak sengaja, sebab Nabi saw tegas menegur ‘Amir ibn Rabi’ah demikian. Apalagi jika itu berasal dari orang yang hasud dan menginginkan kejelekan atas orang yang dihasudinya, bahaya ‘ain lebih nyata lagi (Fathul-Bari bab al-‘ain haqq).
Dalam konteks hari ini, kebenaran sabda Nabi saw tentang ‘ain di atas ditemukan faktanya pada apa yang dikenal dengan hipnosis, dan praktisinya disebut hipnotis. Ini adalah suatu kekuatan untuk mempengaruhi, mengendalikan, dan bahkan menimpakan sesuatu yang baik atau buruk kepada orang lain melalui tatapan mata. Praktiknya ada yang masih kental dengan unsur klenik, ada juga yang sudah disaintifikasi sedemikian rupa sehingga tidak ada unsur kleniknya. Praktik hipnosis ini bahkan sudah bisa dipelajari dan dikembangkan lewat pelatihan-pelatihan yang melibatkan masyarakat umum. Maka yang dimaksud Nabi saw dalam hadits-hadits ‘ain di atas itu adalah “tatapan mata” yang membahayakan dan menzhalimi orang lain. Ini jelas diharamkan dan disamakan dengan “membunuh” oleh Nabi saw sebagaimana beliau sabdakan dengan marah kepada ‘Amir ibn Rabi’ah di atas. Dan jika praktik hipnosis itu hanya bertujuan mendatangkan manfaat bagi orang lain atau sang objeknya, berarti tidak haram karena tidak ada unsur menzhaliminya. Meski demikian, setiap orang pasti akan dimintai pertanggungjawaban atas kecerobohan yang dilakukannya melalui hipnosis tersebut sebagaimana halnya Nabi saw menyalahkan ‘Amir ibn Rabi’ah di atas meski ia tidak merasa telah melakukan ‘ain yang membahayakan. Dikecualikan tentunya praktik semacam hipnosis yang masih kental dengan nuansa klenik karena jelas unsur sihir dan perdukunannya. Hal yang semacam ini jelas haramnya meski diklaim hanya untuk memberikan manfaat bagi orang lain.
Satu-satunya cara untuk melindungi diri dari ‘ain dan segenap bahaya-bahaya lainnya adalah dengan berlindung kepada Allah swt Sang Maha Pengatur taqdir melalui dzikir-dzikir mu’awwidzat (surat al-Ikhlash, al-Falaq, dan an-Nas) di setiap pagi dan petang atau sebelum tidur.
قُلْ: قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَالمُعَوِّذَتَيْنِ حِينَ تُمْسِي وَتُصْبِحُ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ تَكْفِيكَ مِنْ كُلِّ شَيْءٍ
Bacalah: (surat) Qul huwal-‘Llahu ahad dan dua surat yang memperlindungkan diri (al-Falaq dan an-Nas) setiap masuk waktu sore dan pagi, tiga kali. Itu cukup bagimu dari semua hal (Sunan at-Tirmidzi abwab ad-da’awat no. 3575).
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّ النَّبِيَّ ﷺ كَانَ إِذَا أَوَى إِلَى فِرَاشِهِ كُلَّ لَيْلَةٍ جَمَعَ كَفَّيْهِ ثُمَّ نَفَثَ فِيهِمَا فَقَرَأَ فِيهِمَا قُلْ هُوَ اللَّهُ أَحَدٌ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ الْفَلَقِ وَ قُلْ أَعُوذُ بِرَبِّ النَّاسِ ثُمَّ يَمْسَحُ بِهِمَا مَا اسْتَطَاعَ مِنْ جَسَدِهِ يَبْدَأُ بِهِمَا عَلَى رَأْسِهِ وَوَجْهِهِ وَمَا أَقْبَلَ مِنْ جَسَدِهِ يَفْعَلُ ذَلِكَ ثَلَاثَ مَرَّاتٍ
Dari ‘Aisyah: “Sungguh Nabi saw apabila hendak tidur di setiap malam, menyandingkan kedua telapak tangannya lalu meniupnya, kemudian membaca pada kedua telapak tangannya itu (surat) qul huwal-‘Llahu ahad, qul a’udzu bi Rabbil-falaq dan qul a’udzu bi Rabbin-nas. Lantas mengusapkan kedua telapak tangannya itu pada badan yang terjangkau oleh tangannya, mulai dari kepala, wajah, lalu badan. Beliau melakukan seperti itu tiga kali.” (Shahih al-Bukhari bab fadllil-mu’awwidzat no. 5017).
Atau membaca dzikir berikut di setiap sore:
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللهِ التَّامَّاتِ مِنْ شَرِّ مَا خَلَقَ
Aku berlindung pada kalimah-kalimah Allah yang sempurna dari kejahatan makhluk-Nya (Shahih Muslim bab fit-ta’awwudz min su`il-qadla no. 7055; Sunan Abi Dawud bab kaifar-ruqa no. 3900 dari hadits Abu Hurairah)
Khusus kepada setiap bayi yang baru lahir, Nabi saw menganjurkan dibacakan do’a khusus untuk bayi agar ia diselamatkan dari ‘ain yang membahayakan:
أَعُوذُ بِكَلِمَاتِ اللَّهِ التَّامَّةِ مِنْ كُلِّ شَيْطَانٍ وَهَامَّةٍ وَمِنْ كُلِّ عَيْنٍ لَامَّةٍ
Aku berlindung pada kalimah-kalimah Allah yang sempurna (untuk bayi ini) dari setiap setan, hewan yang berbahaya, dan dari setiap ‘ain yang selalu membahayakan (Shahih al-Bukhari bab qaulil-‘Llah ta’ala wa-ttakhadzal-‘Llah Ibrahim khalilan no. 3371 dari hadits Ibn ‘Abbas ra).
Wal-‘Llahu a’lam