Awas, Musim Hadiah Tiba!

Memasuki akhir Desember, musim hadiah pun tiba. Hadiah untuk Bapak/Ibu guru dari orangtua yang berwujud gratifikasi dan jelas haramnya. Hadiah untuk pejabat atau pemimpin perusahaan dari rekanan bisnis seiring dengan liburan akhir tahun yang wujudnya gratifikasi juga. Atau hadiah-hadiah terkait Natal dan Tahun Baru yang jelas-jelas sebagai perayaan orang kafir sehingga berarti turut memasyarakatkan budaya kafir. Maka dari itu awas hati-hati!
Pada asalnya hukum memberi hadiah itu mubah atau bahkan sunat untuk menambah jalinan kasih sayang di antara sesama. Tetapi ketika hadiah itu menjadi tuntutan yang harus ditunaikan karena ada kepentingan tertentu, atau hadiah tersebut diberikan kepada seorang petugas yang sudah seharusnya mengerjakan tugas tersebut dengan upah yang telah ditetapkan, maka ini sudah menjadi praktik yang diharamkan. Model hadiah seperti ini yang lebih dikenal dengan gratifikasi, tip, atau uang komisi, sudah termasuk pada risywah (suap) dan hukumnya haram.
Abu Hurairah ra menceritakan bahwa Nabi saw pernah bersabda:
تَهَادُوْا تَحَابُّوا
Saling memberi hadiahlah kalian agar kalian saling mencintai (Riwayat al-Bukhari dalam al-Adabul-Mufrad dan Abu Ya’la dengan sanad hasan. Demikian al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan hadits di atas dalam Bulughul-Maram bab al-hibah).
Akan tetapi untuk para pejabat, petugas, atau pekerja yang sudah jelas mendapatkan upah tertentu untuk jabatan, tugas, atau pekerjaannya, maka hadiah ini sudah termasuk risywah (suap), dan hukumnya haram. Khalifah ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz (61-101 H) menjelaskan:
كَانَتِ الْهَدِيَّةُ فِي زَمَنِ رَسُولِ اللهِ ﷺ هَدِيَّةً وَالْيَوْمَ رِشْوَةً
Hadiah pada zaman Rasulullah saw adalah hadiah, tetapi hari ini adalah risywah (Shahih al-Bukhari kitab al-hibah bab man lam yaqbalil-hadiyyah li ‘illah).
Dalam riwayat Ibn Sa’ad, sebagaimana diceritakan oleh Furat ibn Muslim, ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz mempraktikkannya sendiri dalam kehidupannya semasa menjadi khalifah.
اِشْتَهَى عُمَر بْن عَبْد الْعَزِيز التُّفَّاح فَلَمْ يَجِدْ فِي بَيْته شَيْئًا يَشْتَرِي بِهِ، فَرَكِبْنَا مَعَهُ فَتَلَقَّاهُ غِلْمَان الدَّيْر بِأَطْبَاقِ تُفَّاح، فَتَنَاوَلَ وَاحِدَة فَشَمَّهَا ثُمَّ رَدَّ الْأَطْبَاق، فَقُلْت لَهُ فِي ذَلِكَ فَقَالَ: لَا حَاجَة لِي فِيهِ فَقُلْت: أَلَمْ يَكُنْ رَسُولُ الله ﷺ وَأَبُو بَكْر وَعُمَر يَقْبَلُونَ الْهَدِيَّة؟ فَقَالَ: إِنَّهَا لِأُولَئِكَ هَدِيَّة وَهِيَ لِلْعُمَّالِ بَعْدهمْ رِشْوَة
‘Umar ibn ‘Abdul-‘Aziz sangat menyukai buah apel, tetapi ia tidak punya uang cukup untuk membelinya. Ketika kami sedang melakukan satu perjalanan ada beberapa pemuda biara yang memberinya hadiah beberapa bungkus buah apel. Ia mengambil satu dan menciumnya, kemudian mengembalikan bungkus-bungkusan tersebut. Aku bertanya kepadanya dan ia menjawab: “Saya tidak butuh.” Aku bertanya: “Bukankah Rasulullah saw, Abu Bakar dan ‘Umar juga menerima hadiah?” Ia menjawab: “Bagi mereka adalah hadiah, tetapi bagi para pekerja/pejabat sesudah mereka termasuk risywah/sogokan.” (Fathul-Bari kitab al-hibah bab man lam yaqbalil-hadiyyah li ‘illah).
Al-Hafizh Ibn Hajar al-‘Asqalani dalam Fathul-Bari menjelaskan bahwa sikap ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz tersebut didasarkan pada hadits Abu Humaid tentang Ibnul-Lutbiyyah yang dimarahi oleh Rasulullah saw ketika ia menerima hadiah di waktu menjalankan tugasnya. Statusnya pada waktu itu sebagai pekerja atau pejabat yang diangkat oleh Rasulullah saw. Maka haram bagi setiap pekerja atau pejabat menerima hadiah di waktu menjalankan tugasnya sebagai pekerja atau pejabat, atau hadiah itu nyata-nyata diberikan karena terkait tugasnya sebagai pekerja atau pejabat. Hadits Abu Humaid yang dimaksud adalah:
عَنْ أَبِي حُمَيْدٍ السَّاعِدِيِّ قَالَ اسْتَعْمَلَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ رَجُلًا عَلَى صَدَقَاتِ بَنِي سُلَيْمٍ يُدْعَى ابْنَ الْلَّتْبِيَّةِ فَلَمَّا جَاءَ حَاسَبَهُ قَالَ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَهَلَّا جَلَسْتَ فِي بَيْتِ أَبِيكَ وَأُمِّكَ حَتَّى تَأْتِيَكَ هَدِيَّتُكَ إِنْ كُنْتَ صَادِقًا ثُمَّ خَطَبَنَا فَحَمِدَ اللَّهَ وَأَثْنَى عَلَيْهِ ثُمَّ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنِّي أَسْتَعْمِلُ الرَّجُلَ مِنْكُمْ عَلَى الْعَمَلِ مِمَّا وَلَّانِي اللَّهُ فَيَأْتِي فَيَقُولُ هَذَا مَالُكُمْ وَهَذَا هَدِيَّةٌ أُهْدِيَتْ لِي أَفَلَا جَلَسَ فِي بَيْتِ أَبِيهِ وَأُمِّهِ حَتَّى تَأْتِيَهُ هَدِيَّتُهُ وَاللَّهِ لَا يَأْخُذُ أَحَدٌ مِنْكُمْ شَيْئًا بِغَيْرِ حَقِّهِ إِلَّا لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ فَلَأَعْرِفَنَّ أَحَدًا مِنْكُمْ لَقِيَ اللَّهَ يَحْمِلُ بَعِيرًا لَهُ رُغَاءٌ أَوْ بَقَرَةً لَهَا خُوَارٌ أَوْ شَاةً تَيْعَرُ ثُمَّ رَفَعَ يَدَهُ حَتَّى رُئِيَ بَيَاضُ إِبْطِهِ يَقُولُ اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ بَصُرَ عَيْنِي وَسَمِعَ أُذُنِي
Dari Abu Humaid as-Sa’idi, ia berkata: Rasulullah saw menugaskan seseorang untuk mengambil zakat Bani Sulaim, ia dipanggil dengan nama Ibnul-Lutbiyyah. Ketika ia datang dari tugasnya, ia malah menghitung-hitungnya. Ia berkata: “Ini harta kalian (zakat), sedangkan ini hadiah untukku.” Rasulullah saw menegurnya: “Mengapa kamu tidak duduk saja di rumah ayah atau ibumu, dan apakah hadiah itu akan datang untukmu jika kamu benar!?” Kemudian Rasul saw berkhutbah, beliau bertahmid dan memuji-Nya lalu bersabda: “Amma ba’du. Saya menugaskan seseorang di antara kalian untuk satu tugas yang telah diwenangkan Allah kepadaku. Tetapi ketika datang ia malah berkata: Ini harta kalian dan ini hadiah untukku. Maka mengapa ia tidak duduk saja di rumah ayah atau ibunya sehingga hadiah itu datang kepadanya. Demi Allah, tidaklah seseorang di antara kalian mengambil sedikit pun dengan tidak haq, melainkan ia akan memikulnya pada hari kiamat. Dan sungguh aku akan mengenali salah seorang di antara kalian yang bertemu Allah sambil membawa unta, sapi, atau kambing yang bersuara.” Kemudian beliau mengangkat tangannya sampai terlihat putih ketiaknya sambil berseru: “Ya Allah, bukankah sudah aku sampaikan?” Mataku melihatnya langsung dan telingaku mendengarnya langsung (Shahih al-Bukhari kitab al-hiyal bab ihtiyalil-‘amil li yuhda lahu no. 6979).
Hadits ini dengan tegas melarang setiap pekerja atau pejabat menerima hadiah. Inilah yang ditegaskan ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz di atas. Meskipun Rasulullah saw dan dua khalifah sesudahnya menerima hadiah, tetapi di zaman mereka hadiah itu murni karena cinta dan kasih sayang kepada mereka, bukan karena terkait jabatan atau kepentingan dalam pekerjaan tertentu. Sementara pada zaman ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz semua hadiah yang diberikan kepada pejabat konteksnya pasti terkait jabatan atau kepentingan dalam pekerjaan tertentu. Inilah yang hari ini populer dengan istilah gratifikasi.
Dalam hadits lain, Nabi saw mengingatkan praktik gratifikasi ini sebagai bagian dari ghulul (penggelapan harta). Faktanya memang demikian, karena dengan gratifikasi ia mendapatkan pendapatan lebih tetapi ia tidak melaporkannya secara transparan. Ini sama saja dengan menggelapkan sesuatu yang bukan haknya.
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ عَلَى عَمَلٍ فَرَزَقْنَاهُ رِزْقًا فَمَا أَخَذَ بَعْدَ ذَلِكَ فَهُوَ غُلُولٌ
Siapa yang kami pekerjakan satu pekerjakan, lalu kami memberinya rezeki (upah), ambillah. Tetapi apa yang ia ambil di luar itu maka itu ghulul (Sunan Abi Dawud kitab al-kharaj bab fi arzaqil-‘ummal no. 2945).
Hadiah itu tidak akan menjadi ghulul kalau dilaporkan secara transparan kepada pimpinan dan kemudian pimpinan membagikannya secara adil kepada semua yang menjabat, bertugas, atau bekerja. Jadi hadiah tidak terpusat pada orang-orang tertentu yang berinteraksi langsung dengan konsumen. Jika ini terjadi berarti mereka telah menggelapkan sesuatu yang bukan haknya.
Hadiah tersebut pastinya diberikan karena status jabatan atau pekerjaan dari yang diberi hadiah. Jadi seyogianya dikembalikan kepada pemberi jabatan atau pekerjaan tersebut untuk kemudian dibagi adil kepada pejabat dan pekerja lainnya. Jika pejabat atau pekerja yang bersangkutan mengambilnya untuk diri sendiri maka itu sama dengan mengambil hak pejabat atau pekerja lainnya yang sama-sama bekerja di tempat yang sama.
Dalam riwayat lain, Nabi saw menyatakan:
مَنِ اسْتَعْمَلْنَاهُ مِنْكُمْ عَلَى عَمَلٍ فَلْيَجِئْ بِقَلِيلِهِ وَكَثِيرِهِ فَمَا أُوتِىَ مِنْهُ أَخَذَ وَمَا نُهِىَ عَنْهُ انْتَهَى
Siapa di antara kalian yang kami beri pekerjaan, maka hendaklah ia datang kembali dengan membawa harta yang banyaknya dan yang sedikitnya. Maka apa yang diberikan kepadanya (oleh Rasul saw) dari harta itu, ambillah, dan apa yang tidak diberikan jangan ia mengambil (Shahih Muslim kitab al-imarah bab tahrim hadayal-‘ummal no. 4848).
Tentunya jika hadiah itu tidak sampai risywah; mempengaruhi pejabat/pekerja untuk menyimpangkan haq menjadi bathil. Jika nyatanya hadiah itu terang-terangan sebagai risywah maka hukumnya haram meski dibagi-bagi kepada sesama kolega. Yang semacam ini sudah termasuk korupsi berjama’ah.
Mereka yang rawan dengan dunia “hadiah” yang haram ini mesti benar-benar waspada. Umumnya mereka adalah kepala sekolah, guru, dosen, polisi, pegawai ASN/swasta, pejabat, pelayan hotel, restoran, tukang parkir, atau satpam. Orang-orang yang bertugas memberikan jasa kepada masyarakat dan mereka sudah diberikan upah yang jelas oleh yang mempekerjakan mereka. Hadiah yang mereka terima minimalnya berstatus gratifikasi, dan parahnya bermodus suap. Kedua-duanya sama haram.
Apalagi jika hadiah itu terkait dengan perayaan Natal dan Tahun Baru yang jelas-jelas sebagai perayaan kafir. Turut berbahagia dengan memberi atau menerima hadiah berarti turut berbahagia dengan perayaan orang-orang kafir. Yang menyerupai orang kafir berarti sudah menjadi bagian dari orang kafir. Na’udzu bil-‘Llah.
Maka dari itu, waspadalah! Wal-‘Llahu a’lam