Antara I’tikaf dan ‘Umrah

Antara i’tikaf dan ‘umrah ada kesamaan, meski pasti ada juga perbedaan. Kesamaannya sama-sama menghabiskan waktu sampai 10 hari, meninggalkan pekerjaan, meninggalkan keluarga, dan mengorbankan uang dan tenaga. Namun anehnya mayoritas masyarakat selalu mampu mengamalkan ‘umrah, tetapi selalu tidak mampu mengamalkan i’tikaf bahkan walau sekali seumur hidup. Mengapa?
‘Umrah memang wajib diamalkan satu kali, sisanya hanya sunat saja. Sementara i’tikaf, sekali atau bahkan lebih pun kedudukannya sunat saja, tidak ada wajibnya. Akan tetapi dalam konteks sunnah, praktik pengamalan Nabi saw harus dijadikan rujukan utamanya. Meski ada anjuran memperbanyak ‘umrah, Nabi saw faktanya hanya empat kali ‘umrah sampai akhir hayatnya. Sementara i’tikaf, Nabi saw mengamalkannya setiap tahun sampai wafatnya, sehingga istri-istrinya pun kemudian melanjutkan sunnah i’tikafnya ini selepas kewafatan Nabi saw.
Dalil yang menunjukkan Nabi saw ‘umrah empat kali dalam hidupnya, dikemukakan oleh shahabat Anas ra sebagai berikut:
عَنْ أَنَسٍ قَالَ اعْتَمَرَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَرْبَعَ عُمَرٍ كُلَّهُنَّ فِي ذِي الْقَعْدَةِ إِلَّا الَّتِي كَانَتْ مَعَ حَجَّتِهِ عُمْرَةً مِنْ الْحُدَيْبِيَةِ فِي ذِي الْقَعْدَةِ وَعُمْرَةً مِنْ الْعَامِ الْمُقْبِلِ فِي ذِي الْقَعْدَةِ وَعُمْرَةً مِنْ الْجِعْرَانَةِ حَيْثُ قَسَمَ غَنَائِمَ حُنَيْنٍ فِي ذِي الْقَعْدَةِ وَعُمْرَةً مَعَ حَجَّتِهِ
Dari Anas ra, ia berkata: “Rasulullah saw ‘umrah empat kali ‘umrah, semuanya pada bulan Dzulqa’dah kecuali ‘umrah yang bersama hajinya, yaitu: [1] ‘umrah dari Hudaibiyyah pada bulan Dzulqa’dah (6 H), [2] ‘umrah pada tahun berikutnya (‘umrah qadla) pada bulan Dzulqa’dah (7 H), [3] ‘umrah dari Ji’ranah ketika beliau membagikan ghanimah Hunain (8 H, sesudah Fathu Makkah dan perang Hunain) pada bulan Dzulqa’dah, dan [4] ‘umrah bersama hajinya.” (Shahih al-Bukhari bab ghazwatil-Hudaibiyyah no. 4148; Shahih Muslim bab bayan ‘adad ‘umarin-Nabiy saw no. 3092).
Sementara i’tikaf Nabi saw dijelaskan oleh ‘Aisyah ra sebagai berikut:
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَعْتَكِفُ الْعَشْرَ الْأَوَاخِرَ مِنْ رَمَضَانَ حَتَّى تَوَفَّاهُ اللهُ ثُمَّ اعْتَكَفَ أَزْوَاجُهُ مِنْ بَعْدِهِ
Nabi saw beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadlan sampai Allah mewafatkannya. Kemudian setelah itu istri-istri Nabi beri’tikaf. (Shahih al-Bukhari kitab al-i’tikaf bab al–i’tikaf fil-‘asyril-awakhir no. 1922).
Saking tidak mau terlewat satu tahun pun tanpa i’tikaf, Nabi saw sampai pernah mengqadlanya ketika beliau membatalkan i’tikaf karena ada sesuatu hal yang mengganggunya. ‘Aisyah ra menceritakannya sebagai berikut:
كَانَ النَّبِيُّ ﷺ يَعْتَكِفُ فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ فَكُنْتُ أَضْرِبُ لَهُ خَبَاءً فَيُصَلِّي الصُّبْحَ ثُمَّ يَدْخُلُهُ فَاسْتَأْذَنَتْ حَفْصَةُ عَائِشَةَ أَنْ تَضْرِبَ خَبَاءً فَأُذِنَتْ لَهَا فَضَرَبَتْ خَبَاءً فَلَمَّا رَأَتْهُ زَيْنَبُ بِنْتُ جَحْشٍ ضَرَبَتْ خَبَاءً آخَرَ فَلَمَّا أَصْبَحَ النَّبِيُّ ﷺ رَأَى الْأَخْبِيَةَ فَقَالَ مَا هَذَا فَأُخْبِرَ فَقَالَ النَّبِيُّ ﷺ آلْبِرَّ تَرَوْنَ بِهِنَّ فَتَرَكَ الْاِعْتِكَافَ ذَلِكَ الشَّهْرَ ثُمَّ اعْتَكَفَ عَشْرًا مِنْ شَوَّالٍ
Nabi saw beri’tikaf selama 10 hari terakhir bulan Ramadlan. Aku membuatkan baginya tenda. Beliau shalat Shubuh lalu masuk ke tenda itu. Kemudian Hafshah meminta izin kepada ‘Aisyah untuk membuat tenda. Ia mengizinkan, dan lantas Hafshah membuat tenda. Tatkala Zainab binti Jahsy melihatnya, ia pun membuat tenda juga. Keesokan harinya, Nabi saw melihat tenda-tenda itu. Lantas beliau bersabda: “Ada apa ini?” Lalu beliau pun diberitahu, dan kemudian bersabda: “Apakah kalian menilai semua ini baik?” Maka beliau meninggalkan i’tikaf pada bulan itu dan beliau beri’tikaf 10 hari di bulan Syawwal. (Shahih al-Bukhari bab i’tikafin-nisa no. 2033).
Semua itu Nabi saw amalkan demi memuliakan malam yang mulia dan meraih kemuliaannya.
إِنِّى اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوَّلَ أَلْتَمِسُ هَذِهِ اللَّيْلَةَ ثُمَّ اعْتَكَفْتُ الْعَشْرَ الأَوْسَطَ ثُمَّ أُتِيتُ فَقِيلَ لِى إِنَّهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ
Sungguh aku i’tikaf dari 10 hari pertama untuk mencari malam itu (Lailatul-Qadar), lalu aku beri’tikaf lagi di 10 hari pertengahan. Kemudian aku diberitahu bahwasanya dia ada di 10 hari terakhir (Shahih Muslim kitab as-shaum bab fadlli lailatil-qadri no. 2828).
Terkait sikap Nabi saw yang merespon lailatul-qadar dengan i’tikaf seperti itu, Ibnul-‘Arabi mengatakan:
إِنَّهُ سُنَّةٌ مُؤَكَّدَةٌ
“I’tikaf itu sunnah muakkadah (yang sangat dianjurkan).”
Ibn Bathal berkata:
فِي مُوَاظَبَة النَّبِيّ ﷺ مَا يَدُلُّ عَلَى تَأْكِيدِهِ
“Rutinnya Nabi saw i’tikaf menjadi dalil bahwa i’tikaf itu muakkad (sangat dianjurkan).”
Imam Ahmad berkata:
لَا أَعْلَمُ عَنْ أَحَد مِنْ الْعُلَمَاءِ خِلَافًا أَنَّهُ مَسْنُونٌ
“Saya tidak tahu ada seorang ulama pun yang menyatakan berbeda bahwa i’tikaf adalah sunnah.” (Fathul-Bari bab al-i’tikaf fil-‘asyril-awakhir). Sementara itu az-Zuhri, seorang ulama Tabi’in berkata:
عَجَباً مِنَ النَّاسِ، كَيْفَ تَرَكُوا الْاِعْتِكَافَ وَرَسُوْلُ اللهِ ﷺ كَانَ يَفْعَلُ الشَّيْءَ وَيَتْرُكُهُ، وَمَا تَرَكَ الْاِعْتِكَافَ حَتَّى قُبِضَ
“Sungguh aneh orang-orang ini, bagaimana mungkin mereka meninggalkan i’tikaf. Padahal untuk amal sunat yang lain Rasul saw adakalanya mengamalkannya dan meninggalkannya. Tetapi untuk i’tikaf, Rasul saw tidak pernah meninggalkannya sampai wafatnya.” (al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu 2 : 611 mabhats: ta’rif al-i’tikaf wa masyru’iyyatuhu).
Dalam hal mengejar kemuliaan lailatul-qadar ini sebenarnya Nabi saw memberikan banyak rukhshah. Pertama, bagi yang tidak mampu i’tikaf 10 hari 10 malam, bisa dengan malamnya saja bahkan meski itu dengan tidur dahulu di awal malamnya, sebagaimana diamalkan oleh istri-istri Nabi saw yang tidak i’tikaf. ‘Aisyah ra menjelaskan:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا دَخَلَ الْعَشْرُ شَدَّ مِئْزَرَهُ وَأَحْيَا لَيْلَهُ وَأَيْقَظَ أَهْلَهُ
Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Nabi saw apabila telah masuk 10 hari terakhir Ramadlan, mempererat sarungnya, menghidupkan malamnya, dan membangunkan keluarganya.” (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadri bab al-‘amal fi al-‘asyr al-awakhir min ramadlan no. 2024 dan Shahih Muslim kitab al-i’tikaf bab al-ijtihad fil-‘asyril-awakhir min syahri Ramadlan no. 2844).
Kedua, bagi yang tidak mampu 10 malam, diperbolehkan 7 malam terakhir, atau lima malam pada malam-malam ganjil, atau minimalnya tiga malam pada malam-malam ganjil.
الْتَمِسُوهَا فِى الْعَشْرِ الأَوَاخِرِ يَعْنِى لَيْلَةَ الْقَدْرِ فَإِنْ ضَعُفَ أَحَدُكُمْ أَوْ عَجَزَ فَلاَ يُغْلَبَنَّ عَلَى السَّبْعِ الْبَوَاقِى
Carilah lailatul-qadar pada 10 hari terakhir. Jika salah seorang di antaramu lemah atau payah, maka jangan sampai terlewatkan pada yang tujuh hari tersisanya (Shahih Muslim bab fadlli lailatil-qadr wal-hats ‘ala thalabiha no. 2822 dari hadits Ibn ‘Umar).
تَحَرُّوْا لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي الْوِتْرِ مِنْ الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ
Carilah lailatul-qadar pada hitungan ganjil dari 10 hari terakhir bulan Ramadlan (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2017; Musnad Ahmad bab hadits ‘Aisyah no. 24489).
فَالْتَمِسُوهَا فِي التَّاسِعَةِ وَالسَّابِعَةِ وَالْخَامِسَةِ
Maka carilah ia pada hari ke-9, ke-7, ke-5 [dari 10 hari terakhir Ramadlan] (Shahih al-Bukhari kitab al-‘ilm bab raf’i ma’rifah lailatil-qadr li talahin-nas no. 2023 dari hadits ‘Ubadah ibn as-Shamit).
Maksud hari/malam ke-9, 7, dan 5 itu, menurut al-Hafizh Ibn Hajar, yang paling tepat adalah malam ke-29, 27, dan 25. Bisa juga maksudnya sebagaimana dijelaskan di hadits berikutnya yakni malam ke-9 dari yang tersisa, maksudnya malam 21, malam ke-7 berarti malam 23, dan malam ke-5 berarti malam 25.
الْتَمِسُوهَا فِي الْعَشْرِ الْأَوَاخِرِ مِنْ رَمَضَانَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ فِي تَاسِعَةٍ تَبْقَى فِي سَابِعَةٍ تَبْقَى فِي خَامِسَةٍ تَبْقَى
Carilah Lailatul-Qadar pada 10 hari terakhir Ramadlan, yakni pada malam ke-9, ke-7, dan ke-5 dari yang tersisa (Shahih al-Bukhari kitab fadlli lailatil-qadar bab taharri lailatil-qadri fil-witr minal-‘asyril-awakhir no. 2021 dari hadits Ibn ‘Abbas).
Masalahnya sampai kapan umat susah dipahamkan tentang kedudukan dua syari’at mulia ini sehingga mampu bersikap adil terhadap kedua-duanya. Jangan hanya memprioritaskan ‘umrah tetapi selalu mengabaikan i’tikaf bahkan untuk sekali dalam seumur hidupnya sekalipun. Berbeda jauh dengan Nabi saw yang selalu memprioritaskan i’tikaf dan mengamalkan ‘umrah semungkinnya saja.
Wal-‘Llahu a’lam.