Syafa’at Nabi saw untuk Penghuni Surga (Bagian Kelima)

Tentunya bukan hanya penghuni neraka muslim yang mendapatkan anugerah syafa’at Nabi saw, orang-orang beriman yang masuk surga lebih berhak mendapatkannya. Mereka akan dinaikkan derajatnya di surga berkat syafa’at Nabi saw tersebut. Sebagian dari mereka juga mungkin akan masuk surga langsung tanpa dihisab.
أَنَا أَوَّلُ شَفِيعٍ فِى الْجَنَّةِ لَمْ يُصَدَّقْ نَبِىٌّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ مَا صُدِّقْتُ وَإِنَّ مِنَ الأَنْبِيَاءِ نَبِيًّا مَا يُصَدِّقُهُ مِنْ أُمَّتِهِ إِلاَّ رَجُلٌ وَاحِدٌ
Aku adalah pemberi syafa’at pertama di surga. Tidak ada seorang Nabi pun yang diimani sebagaimana aku diimani. Bahkan sungguh ada seorang Nabi yang tidak diimani oleh umatnya kecuali hanya oleh seorang saja (Shahih Muslim bab adna ahlil-jannah manzilah no. 501).
Terkait hadits “Aku adalah pemberi syafa’at pertama di surga” ini, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan dua kemungkinannya: Pertama, syafa’at Nabi saw untuk para penghuni neraka sehingga mereka masuk ke surga. Kedua, syafa’at untuk seseorang yang tidak mencapai level tinggi di surga tetapi kemudian bisa mencapainya berkat syafa’at Nabi saw (Fathul-Bari bab shifatil-jannah wan-nar).
Masuk dalam hal ini, hadits tentang syafa’at Nabi saw untuk mereka yang menjawab adzan. Ketika ada yang menanggapi bahwa hadits syafa’at tersebut tidak cocok bagi mereka yang bergegas shalat di awal waktu dan selalu mampu menjawab adzan mengingat syafa’at itu hanya untuk para pelaku dosa besar, maka al-Hafizh Ibn Hajar menjawab bahwa syafa’at itu ada banyak macamnya; syafa’at bagi pelaku dosa besar adalah salah satunya; syafa’at lainnya bagi orang-orang shalih yakni dengan dimasukkan ke dalam surga tanpa dihisab atau dinaikkan derajatnya di surga (Fathul-Bari bab al-istiham fil-adzan).
Demikian juga, hadits-hadits syafa’at untuk penduduk Madinah dan keluarga Nabi saw, yang mayoritasnya tentu adalah orang-orang yang shalih.
إِنِّى أُحَرِّمُ مَا بَيْنَ لاَبَتَىِ الْمَدِينَةِ أَنْ يُقْطَعَ عِضَاهُهَا أَوْ يُقْتَلَ صَيْدُهَا الْمَدِينَةُ خَيْرٌ لَهُمْ لَوْ كَانُوا يَعْلَمُونَ لاَ يَدَعُهَا أَحَدٌ رَغْبَةً عَنْهَا إِلاَّ أَبْدَلَ اللَّهُ فِيهَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ مِنْهُ وَلاَ يَثْبُتُ أَحَدٌ عَلَى لأْوَائِهَا وَجَهْدِهَا إِلاَّ كُنْتُ لَهُ شَفِيعًا أَوْ شَهِيدًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Aku mengharamkan apa yang ada di antara dua perbatasan Madinah dipotong pohon berdurinya dan dibunuh hewan buruannya. Madinah itu lebih baik bagi mereka seandainya mereka tahu. Tidaklah seorang pun meninggalkannya karena tidak betah melainkan Allah akan menggantinya dengan orang yang lebih baik darinya. Dan tidaklah seorang pun yang tetap tinggal di Madinah ketika susah dan payah melainkan aku akan menjadi pemberi syafa’at atau saksi baginya pada hari kiamat nanti (Shahih Muslim bab fadllil-Madinah no. 3384).
مَنْ اسْتَطَاعَ أَنْ يَمُوتَ بِالمَدِينَةِ فَلْيَمُتْ بِهَا، فَإِنِّي أَشْفَعُ لِمَنْ يَمُوتُ بِهَا
Siapa yang memungkinkan baginya mati di Madinah, maka hendaklah ia mati di sana, sebab aku akan memberi syafa’at bagi yang mati di Madinah (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fi fadllil-Madinah no. 3917).
أَوَّلُ مَنْ أَشْفَعُ لَهُ يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَهْلُ بَيْتِي، ثُمَّ الْأَقْرَبُ فَالْأَقْرَبُ مِنْ قُرَيْشٍ، ثُمَّ الْأَنْصَارُ، ثُمَّ مَنْ آمَنَ بِي، وَاتَّبَعَنِي مِنَ الْيَمَنِ، ثُمَّ سَائِرِ الْعَرَبِ، ثُمَّ الْأَعَاجِمِ، وَأَوَّلُ مَنْ أَشْفَعُ لَهُ أُولُو الْفَضْلِ
Orang yang pertama akan aku beri syafa’at pada hari kiamat adalah keluargaku, kemudian kerabat dekatku dari Quraisy mulai dari yang paling dekat, kemudian kaum Anshar, lalu orang-orang yang beriman kepadaku dan menjadi pengikutku dari Yaman, kemudian semua bangsa Arab, dan terakhir bangsa non-Arab. Dan yang pertama aku beri syafa’at adalah orang-orang yang mulia (al-Mu’jamul-Kabir at-Thabrani no. 13550. Al-Hafizh Ibn Hajar menyebutnya sebagai hadits yang bisa dijadikan hujjah dalam Fathul-Bari bab shifatil-jannah wan-nar).
Demikian halnya syafa’at Nabi saw melalui bacaan al-Qur`an sebagaimana disabdakan Nabi saw dalam hadits berikut:
اقْرَءُوا الْقُرْآنَ فَإِنَّهُ يَأْتِى يَوْمَ الْقِيَامَةِ شَفِيعًا لأَصْحَابِهِ اقْرَءُوا الزَّهْرَاوَيْنِ الْبَقَرَةَ وَسُورَةَ آلِ عِمْرَانَ فَإِنَّهُمَا تَأْتِيَانِ يَوْمَ الْقِيَامَةِ كَأَنَّهُمَا غَمَامَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا غَيَايَتَانِ أَوْ كَأَنَّهُمَا فِرْقَانِ مِنْ طَيْرٍ صَوَافَّ تُحَاجَّانِ عَنْ أَصْحَابِهِمَا اقْرَءُوا سُورَةَ الْبَقَرَةِ فَإِنَّ أَخْذَهَا بَرَكَةٌ وَتَرْكَهَا حَسْرَةٌ وَلاَ تَسْتَطِيعُهَا الْبَطَلَةُ
Bacalah oleh kalian al-Qur`an karena sesungguhnya ia akan datang pada hari kiamat sebagai pemberi syafa’at bagi para pembacanya. Bacalah juga dua yang pelita, yakni al-Baqarah dan Ali ‘Imran, karena keduanya akan datang pada hari kiamat seakan-akan dua gumpalan awan, atau dua gumpalan yang menaungi, atau dua rombongan burung yang berbaris, lalu keduanya akan membela para pembacanya. Bacalah surat al-Baqarah, karena mengambilnya adalah barakah dan meninggalkannya adalah penyesalan. Dan para penyihir tidak bisa menyerangnya (Shahih Muslim bab fadlli qira`atil-Qur`an no. 1910).
Bentuk syafa’at dari al-Qur`an itu sendiri disebutkan jelas dalam riwayat lain dengan cara dinaikkan derajatnya/tingkatannya di surga, sebagaimana dijelaskan dalam hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr ra:
يُقَالُ لِصَاحِبِ الْقُرْآنَ: اِقْرَأْ وَارْتَقِ وَرَتِّلْ كَمَا كُنْتَ تُرَتِّلُ فِي الدُّنْيَا فَإِنَّ مَنْزِلَتَكَ عِنْدَ آخِرِ آيَةٍ تَقْرَأُهَا
Akan dikatakan kepada orang yang selalu membaca al-Qur`an: “Bacalah dan naiklah. Tartilkanlah sebagaimana engkau dulu tartilkan ketika di dunia. Karena sesungguhnya tempatmu sesuai dengan ayat terakhir yang kamu baca.” (Sunan Abi Dawud bab istihbabit-tartil fil-qira`ah no. 1466).
Kaitan syafa’at al-Qur`an itu tentunya dengan Nabi saw sendiri. Jelas disebutkan dalam surat al-Furqan bahwa Nabi saw yang kelak diberi wewenang memberikan syafa’at untuk umatnya melapor kepada Allah swt bahwa umatnya yang menjauhi al-Qur`an tidak mungkin diberikannya syafa’at. Mereka adalah orang-orang yang memilih jalan hidup setan dibanding jalan hidup Rasul:
وَيَوۡمَ يَعَضُّ ٱلظَّالِمُ عَلَىٰ يَدَيۡهِ يَقُولُ يَٰلَيۡتَنِي ٱتَّخَذۡتُ مَعَ ٱلرَّسُولِ سَبِيلٗا ٢٧ يَٰوَيۡلَتَىٰ لَيۡتَنِي لَمۡ أَتَّخِذۡ فُلَانًا خَلِيلٗا ٢٨ لَّقَدۡ أَضَلَّنِي عَنِ ٱلذِّكۡرِ بَعۡدَ إِذۡ جَآءَنِيۗ وَكَانَ ٱلشَّيۡطَٰنُ لِلۡإِنسَٰنِ خَذُولٗا ٢٩ وَقَالَ ٱلرَّسُولُ يَٰرَبِّ إِنَّ قَوۡمِي ٱتَّخَذُواْ هَٰذَا ٱلۡقُرۡءَانَ مَهۡجُورٗا ٣٠
Dan (ingatlah) hari (ketika itu) orang yang zhalim menggigit dua tangannya, seraya berkata: “Aduhai kiranya (dulu) aku mengambil jalan bersama-sama Rasul. Kecelakaan besarlah bagiku; kiranya aku (dulu) tidak menjadikan si fulan itu teman akrab(ku). Sesungguhnya Dia telah menyesatkan aku dari Al-Qur`an ketika Al-Qur`an itu telah datang kepadaku.” Dan adalah setan itu tidak mau menolong manusia. Berkatalah Rasul: “Ya Tuhanku, sesungguhnya kaumku (yang itu) menjadikan Al-Quran sesuatu yang dijauhi”. (QS. al-Furqan [25] : 27-30).
Demikian halnya syafa’at Nabi saw untuk jenazah orang shalih yang dishalatkan oleh 100 orang shalih, atau 40 orang, atau hanya tiga shaf sekalipun dengan jumlah yang lebih kecil lagi. Semuanya akan menjadi wasilah untuk menaikkan derajatnya di surga.
مَا مِنْ مَيِّتٍ يُصَلِّى عَلَيْهِ أُمَّةٌ مِنَ الْمُسْلِمِينَ يَبْلُغُونَ مِائَةً كُلُّهُمْ يَشْفَعُونَ لَهُ إِلاَّ شُفِّعُوا فِيهِ
Tidak ada seorang mayyit pun yang dishalatkan oleh sekelompok umat Islam hingga 100 orang, dimana mereka semua memohonkan syafa’at untuknya, kecuali mereka akan dijadikan penyebab syafa’at untuknya (Shahih Muslim bab man shalla ‘alaihi mi`ah syuffi’u fihi no. 2241).
مَا مِنْ رَجُلٍ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيَقُومُ عَلَى جَنَازَتِهِ أَرْبَعُونَ رَجُلاً لاَ يُشْرِكُونَ بِاللَّهِ شَيْئًا إِلاَّ شَفَّعَهُمُ اللَّهُ فِيهِ
Tidaklah seorang muslim meninggal lalu menshalatkan jenazahnya 40 orang yang tidak menyekutukan Allah dengan sesuatu apapun melainkan Allah akan menjadikan mereka sebagai penyebab datangnya syafa’at (Shahih Muslim bab man shalla ‘alaihi arba’un no. 2242).
مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّى عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ أَوْجَبَ
Tidaklah seorang muslim yang meninggal lalu ia dishalatkan oleh tiga shaf kaum muslimin melainkan jadi kepastian baginya (dihapus dosa dan diangkat derajatnya) (Sunan Abi Dawud bab fis-shufuf ‘alal-janazah no. 3168. Berdasarkan hadits ini maka shahabat Malik ibn Hubairah sebagai periwayat hadits selalu membagi shaf makmum shalat jenazah menjadi tiga shaf meski jumlahnya sedikit)