Sudah Tahu Riba Haram, Tetapi…

Masyarakat muslim pasti sudah tahu dan sepakat bahwa riba haram. Akan tetapi anehnya hampir setiap orang dari mereka punya tabungan, deposito, dan semacamnya di bank “rentenir”. Hampir setiap orang yang katanya berpunya punya cicilan rumah atau utang lainnya ke bank, meski mereka tahu meminjam ke bank yang pasti berbunga itu hukumnya haram. Hampir setiap orang juga punya cicilan mobil dan sepeda motor ke bank atau multifinance, padahal jelas akadnya pasti utang, bukan membeli langsung, sebab bank/multifinance tidak menjual barang, melainkan hanya “menjual” utang. Sudah tahu haram, tetapi… tetapi… tetapi…


Akhlaq buruk dari orang-orang yang sudah tahu hukum sesuatu tetapi malah menyalahinya hanya pantas dimiliki oleh orang-orang Yahudi. Mereka dikenal sebagai bangsa terlaknat karena sudah tahu hukum-hukum yang ditetapkan Allah, tetapi menyalahinya dengan banyak berdalih:

مِّنَ ٱلَّذِينَ هَادُواْ يُحَرِّفُونَ ٱلۡكَلِمَ عَن مَّوَاضِعِهِۦ وَيَقُولُونَ سَمِعۡنَا وَعَصَيۡنَا

Yaitu orang-orang Yahudi, mereka mengubah firman Allah dari tempat-tempatnya. Mereka berkata: “Kami mendengar”, tetapi kami tidak mau menurutinya (QS. an-Nisa` [4] : 46).

وَإِذۡ أَخَذۡنَا مِيثَٰقَكُمۡ وَرَفَعۡنَا فَوۡقَكُمُ ٱلطُّورَ خُذُواْ مَآ ءَاتَيۡنَٰكُم بِقُوَّةٖ وَٱسۡمَعُواْۖ قَالُواْ سَمِعۡنَا وَعَصَيۡنَا

Dan (ingatlah), ketika Kami mengambil janji dari kamu dan Kami angkat bukit (Thursina) di atasmu (seraya Kami berfirman): “Peganglah teguh-teguh apa yang Kami berikan kepadamu dan dengarkanlah!” Mereka menjawab: “Kami mendengarkan tetapi tidak menaati” (QS. al-Baqarah [2] : 93).
Orang-orang yang beriman itu sudah seharusnya berikrar: sami’na wa atha’na; kami mendengar dan kami siap taat. Bukan sami’na wa ‘ashaina; kami mendengar dan tahu, tetapi kami terpaksa menyalahinya, tetapi kami belum mampu memenuhinya, dan sejuta dalih lainnya.

إِنَّمَا كَانَ قَوۡلَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ إِذَا دُعُوٓاْ إِلَى ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ لِيَحۡكُمَ بَيۡنَهُمۡ أَن يَقُولُواْ سَمِعۡنَا وَأَطَعۡنَاۚ وَأُوْلَٰٓئِكَ هُمُ ٱلۡمُفۡلِحُونَ  ٥١

Sesungguhnya jawaban orang-orang mukmin, bila mereka dipanggil kepada Allah dan Rasul-Nya agar Rasul menetapkan hukum di antara mereka adalah ucapan: “Kami mendengar dan kami patuh.” Dan mereka itulah orang-orang yang beruntung (QS. an-Nur [24] : 51).
Sami’na wa atha’na ini tentu bukan hanya diikrarkan semata, melainkan diwujudkan dalam amal. Jika sami’na wa atha’na sebatas di mulut, karena memang seseorang misalnya rajin membaca al-Qur`an sehingga otomatis ia membaca sami’na wa atha’na, namun dalam pengamalannya ternyata hidupnya masih penuh dengan riba, tetap saja berarti ia masih sami’na wa ‘ashaina sebagaimana halnya orang-orang Yahudi dan munafiq. Dalam hal ini Allah swt mengingatkan dengan tegas:

وَيَقُولُونَ ءَامَنَّا بِٱللَّهِ وَبِٱلرَّسُولِ وَأَطَعۡنَا ثُمَّ يَتَوَلَّىٰ فَرِيقٞ مِّنۡهُم مِّنۢ بَعۡدِ ذَٰلِكَۚ وَمَآ أُوْلَٰٓئِكَ بِٱلۡمُؤۡمِنِينَ  ٤٧

Dan mereka (orang-orang munafiq) berkata: “Kami telah beriman kepada Allah dan Rasul, dan kami menaati (keduanya).” Kemudian sebagian dari mereka berpaling sesudah itu. Sekali-kali mereka itu bukanlah orang-orang yang beriman (QS. an-Nur [24] : 47).
Jika dalihnya karena tidak tahu hukum menabung di bank “rentenir” haram; tidak tahu kalau kredit rumah, kredit modal usaha, kredit mobil, kredit sepeda motor, dan kredit-kredit lainnya yang berbunga hukumnya haram, maka pertanyaannya: “Ke mana saja selama ini?” Bukankah ketika fatwa MUI tentang haramnya bunga bank dikeluarkan pada tahun 2000 dan 2004 disiarkan secara nasional di seluruh media nasional; cetak dan elektronik? Apakah informasi yang tidak sampai ataukah mata batin yang sudah kadung tertutup sehingga tidak mampu menerimanya? Bukankah banyak kajian dari para ulama (bukan “muballigh-muballigh” pasaran yang “cadel” dan banyak berdalih) yang mengajarkan bahwa semua yang disebut di atas itu haram? Apakah para ulama yang tidak tepat sasaran menyampaikan ke umat ataukah memang umatnya yang tidak mau mendengar kajian fiqh riba dari para ulama? Apakah itu karena para ulama yang sudah tidak “ngaji” ataukah umat yang sudah jauh dari “ngaji”?
Dalih dlarurat, hajat, dan terpaksa sudah dibahas tuntas pada tulisan sebelumnya, tidak bisa diterima karena banyak yang merupakan kebohongan semata. Pada faktanya masih banyak pilihan yang halal namun tidak dipilih karena tidak mau sabar dalam hal yang halal. Inginnya yang cepat bisa dimiliki dan terlihat gaya sebagai orang berpunya dengan cara yang haram.
Dalih tidak mampu meninggalkan riba juga menurut para ulama tidak bisa diterima, sebab mampu tidak mampu itu berlakunya dalam mengamalkan kewajiban yang memang menuntut amal. Sementara dalam hal meninggalkan larangan tidak ada alasan tidak mampu, melainkan harus mampu, sebab bukan mewujudkan amal, melainkan diam dan tidak beramal. Aneh kalau hanya diam saja tidak mampu. Maka dari itu tuntuan dari Nabi saw sebagai berikut:

فَإِذَا أَمَرْتُكُمْ بِشَىْءٍ فَأْتُوا مِنْهُ مَا اسْتَطَعْتُمْ وَإِذَا نَهَيْتُكُمْ عَنْ شَىْءٍ فَدَعُوهُ

Jika aku memerintahkan sesuatu, kerjakanlah semampu kalian. Dan jika aku melarang kalian dari sesuatu, maka tinggalkanlah.” (Shahih al-Bukhari kitab al-I’tisham bil-kitab was-sunnah bab al-iqtida bi sunani rasulillah no. 6744; Shahih Muslim kitab al-fadla`il bab tauqiruhu saw wa tarku iktsari su`alihi no. 4348).
Jelas dapat tersimak dalam hadits di atas, toleransi ma-istatha’tum; semampu kalian, itu berlaku hanya dalam menjalankan perintah. Dalam larangan tidak ada toleransi ma-istatha’tum. Harus mampu, tidak boleh tidak mampu. Harus bisa, tidak boleh tidak bisa, karena memang hanya tinggal diam, aneh kalau hanya diam saja berdalih tidak mampu.
Terlebih jika dirujuk pada ayat al-Qur`an, toleransi ma-istatha’tum itu pun tetap harus dalam konteks sami’na wa atha’na, bukan sami’na wa ‘ashaina:

فَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ مَا ٱسۡتَطَعۡتُمۡ وَٱسۡمَعُواْ وَأَطِيعُواْ

Maka bertaqwalah kamu kepada Allah menurut kesanggupanmu dan dengarlah serta taatlah (QS. at-Taghabun [64] : 16).
Maka alasan yang paling bisa diterima hanya “belum mampu”, tetapi sedang dalam proses sami’na wa atha’na. Artinya ia sedang berusaha sekuat tenaga untuk berhenti dari riba dan meninggalkannya secara total. Bukan alasan belum mampu seraya diam menikmati hidup dengan riba.
Al-Qur`an sudah sangat tegas dalam riba ini dengan mewajibkan “berhenti” dan segera membereskan semua yang tersisa secepat mungkin. Jika memang masih memiliki aset, sudah seharusnya aset-aset itu dijual guna melepaskan diri dari riba sesegera mungkin.

وَأَحَلَّ ٱللَّهُ ٱلۡبَيۡعَ وَحَرَّمَ ٱلرِّبَوٰاْۚ فَمَن جَآءَهُۥ مَوۡعِظَةٞ مِّن رَّبِّهِۦ فَٱنتَهَىٰ فَلَهُۥ مَا سَلَفَ وَأَمۡرُهُۥٓ إِلَى ٱللَّهِۖ وَمَنۡ عَادَ فَأُوْلَٰٓئِكَ أَصۡحَٰبُ ٱلنَّارِۖ هُمۡ فِيهَا خَٰلِدُونَ  ٢٧٥

Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba. Orang-orang yang telah sampai kepadanya larangan dari Tuhannya, lalu terus berhenti, maka baginya apa yang telah diambilnya dahulu (sebelum datang larangan); dan urusannya (terserah) kepada Allah. Orang yang mengulangi (bertransaksi riba), maka orang itu adalah penghuni-penghuni neraka; mereka kekal di dalamnya (QS. al-Baqarah [2] : 275).

يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ ٱتَّقُواْ ٱللَّهَ وَذَرُواْ مَا بَقِيَ مِنَ ٱلرِّبَوٰٓاْ إِن كُنتُم مُّؤۡمِنِينَ  ٢٧٨

Hai orang-orang yang beriman, bertaqwalah kepada Allah dan tinggalkan yang tersisa dari riba jika kamu orang-orang yang beriman (QS. al-Baqarah [2] : 278).
Wal-‘Llahul-Musta’an.