Muamalah

Hukum Terlibat Perayaan Tahun Baru

Saya seorang pedagang. Apakah jika saya berdagang di malam tahun baru berarti saya ikut merayakan tahun baru dan berdosa?

Pedagang, Jama’ah Baiturrahman

Jika memang anda biasa berdagang di malam hari, maka tentu itu tidak haram. Sebab anda berdagang sebagaimana biasanya. Tidak ada niatan sama sekali untuk turut merayakan tahun baru. Terkecuali jika di samping barang dagangan yang biasa anda dagangkan, anda turut juga menjual petasan, maka itu jelas haram, sebab anda sudah turut merayakan tahun barunya.

Perayaan tahun baru, sebagaimana sudah sering dibahas dalam bulletin ini, adalah perayaan jahiliyyah yang dilarang Nabi saw dan diperintahkan Nabi saw untuk diganti dengan ‘Idul-Fithri dan ‘Idul-Adlha saja (Sunan Abi Dawud kitab as-shalat bab shalat al-‘idain no. 1136 dan Sunan an-Nasa`i kitab shalat al-‘idain no. 1567). Dalam perayaan tahun baru jelas ada tasyabbuh juga dengan perayaan orang Barat terhadap dewa-dewa. Sebab hanya pada budaya mereka saja adanya perayaan tahun baru ini. Umat Islam di Indonesia dan di seluruh dunia hanya sekedar mengekor (tasyabbuh) kepada budaya Barat. Tidak ada sedikit pun isyarat ajaran dari al-Qur`an dan Sunnah.

Maka dari itu ulama sepakat, merayakan tahun baru dengan cara hura-hura, pesta, menyalakan petasan, meniup terompet, tamasya, wisata kuliner, dan sebagainya, hukumnya haram.

Perbedaan pendapat kemudian terjadi dalam hal merayakan tahun baru dengan muhasabah dan dzikir. Perbedaan tersebut bermuara pada konsep bid’ah; apakah ada bid’ah hasanah (bid’ah yang baik) dan bid’ah dlalalah (bid’ah sesat), ataukah semua bid’ah pasti dlalalah. Bagi yang bermadzhab Syafi’i atau setuju dengan madzhab tersebut, tidak semua bid’ah otomatis dlalalah. Tergantung bentuk kegiatannya. Jika kegiatannya baik, maka termasuk bid’ah hasanah. Jika jelek, maka termasuk bid’ah dlalalah.

Akan tetapi kami sependapat dengan ulama-ulama salaf yang menyatakan bahwa semua bid’ah pasti dlalalah. Tidak mustahil nanti muhasabah dan dzikir di malam tahun baru akan menjadi semacam muludan lagi. Jika tidak muhasabah atau dzikir di malam pergantian tahun baru, maka dicap sebagai umat Islam yang tidak kaffah, umat Islam yang pemalas. Sama halnya seperti sekarang dalam hal muludan. Yang tidak merayakan muludan dicap sebagai bukan pencinta Nabi saw, dicap sebagai pembenci sunnah Nabi saw, dan sebagainya. Sebab kegiatan-kegiatan yang bentuknya ibadah selalu rentan menjadi ibadah baru dengan rumusan-rumusan nilai yang baru juga. Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.

Di samping itu, unsur tasyabbuh-nya tetap kental. Sebab ditutup-tutupi ataupun tidak, acara muhasabah dan dzikir itu kaitannya dengan tahun baru. Sebuah moment yang tidak penting dalam ajaran Islam, selain hanya tasyabbuh kepada budaya non-Islam.

Meski demikian, kami tetap mengakui ini adalah wilayah ikhtilaf yang tidak sampai pada vonis kafir atau fasiq. Jadi tetap harus saling menghargai dan menghormati di wilayah ikhtilaf seperti ini.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button