Cemburu Tanda Iman

Ada banyak manifestasi iman dalam amal, salah satunya cemburu. Cemburu yang dimaksud syari’at adalah sakit hati ketika melihat suami/istri menjalin hubungan dekat dengan selain keluarga intinya. Allah SWT sendiri “pencemburu”. Nabi ﷺ juga seorang pencemburu. Para shahabat juga pencemburu. Maka seyogianya orang-orang beriman juga harus menjadi orang-orang yang pencemburu.
Imam al-Bukhari dan Muslim dalam kitab Shahihnya masing-masing menuliskan satu tema khusus tentang ghairah (rasa cemburu). Itu dikarenakan hadits-hadits Nabi saw yang memberikan tuntunan agar seorang muslim menjadi pencemburu cukup banyak. Hadits pertama yang ditulis oleh Imam al-Bukhari dalam Shahih al-Bukhari bab al-ghairah (rasa cemburu)—meski mu’allaq (kutipan tanpa sanad)—menjelaskan bagaimana perhatian Nabi saw pada urgensi cemburu ini:
عَنْ الْمُغِيرَةِ قَالَ قَالَ سَعْدُ بْنُ عُبَادَةَ لَوْ رَأَيْتُ رَجُلًا مَعَ امْرَأَتِي لَضَرَبْتُهُ بِالسَّيْفِ غَيْرَ مُصْفَحٍ فَبَلَغَ ذَلِكَ رَسُولَ اللهِ ﷺ فَقَالَ أَتَعْجَبُونَ مِنْ غَيْرَةِ سَعْدٍ وَاللهِ لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ وَاللهُ أَغْيَرُ مِنِّي وَمِنْ أَجْلِ غَيْرَةِ اللهِ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ
Dari al-Mughirah, ia berkata: Sa’ad ibn ‘Ubadah pernah berkata: “Seandainya aku lihat seorang lelaki sedang berduaan bersama istriku, pasti aku penggal ia dengan pedang, bukan dengan belahan sisinya.” Pernyataan Sa’ad tersebut lalu dilaporkan kepada Rasulullah saw. Beliau pun menyatakan: “Kenapa kalian heran dari kecemburuan Sa’ad. Demi Allah, aku pun lebih pencemburu daripada itu. Dan Allah lebih pencemburu daripada aku. Oleh karena itu Allah mengharamkan perbuatan asusila, baik yang tampak atau tersembunyi.” (Hadits ini ditulis riwayat lengkap dengan sanadnya dalam Shahih al-Bukhari bab qaulin-Nabi saw la syakhsha aghyaru minal-‘Llah no. 7416).
Maksud sabda Nabi saw: “bukan dengan belahan sisinya” yakni dengan mata pedangnya. Maksudnya pukulan untuk membunuh, bukan pukulan biasa (Fathul-Bari). Hadits ini menjadi penjelas dari makna “perbuatan asusila/fawahisy yang tersembunyi” yakni mendekati zina seperti berduaan antar-lawan jenis. Sementara “perbuatan asusila/fawahisy yang tampak” adalah perbuatan zinanya itu sendiri.
Nabi saw menyatakan bahwa Allah swt lebih “pencemburu” terbukti dengan mengharamkan semua perbuatan fawahisy/asusila baik yang tampak atau tersembunyi; baik itu terkait keluarga seseorang atau pihak di luar keluarganya, karena Allah swt terlepas dari ikatan keluarga manapun. Kalau seseorang cemburu pasti terkait istri/suaminya saja sementara terkait orang lain tidak akan ada cemburunya, tetapi kalau Nabi saw dan Allah swt mencakup semua perbuatan fawahisy tanpa memandang keluarga sendiri atau bukan. Dalam redaksi yang lain Nabi saw menyabdakan:
مَا مِنْ أَحَدٍ أَغْيَرُ مِنْ اللَّهِ مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الْفَوَاحِشَ
Tidak ada siapa pun yang lebih “pencemburu” daripada Allah. Oleh sebab itu Dia mengharamkan perbuatan-perbuatan asusila (Shahih al-Bukhari bab al-ghairah no. 5220).
يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ مَا أَحَدٌ أَغْيَرَ مِنْ اللَّهِ أَنْ يَرَى عَبْدَهُ أَوْ أَمَتَهُ تَزْنِي
Wahai umat Muhammad, tidak ada siapa pun yang lebih “pencemburu” daripada Allah ketika ia melihat hamba lelaki atau perempuan-Nya berzina (Shahih al-Bukhari bab al-ghairah no. 5221).
Tiga hadits di atas jelas membatasi konteks ghairah (cemburu) pada fahisyah atau zina, termasuk pada yang baru sebatas mendekatinya. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari menjelaskan bahwa asal kata ghairah dari taghayyur yang berarti ‘berubah’. Maksudnya:
هِيَ مُشْتَقَّة مِنْ تَغَيُّر الْقَلْب وَهَيَجَان الْغَضَب بِسَبَبِ الْمُشَارَكَة فِيمَا بِهِ الِاخْتِصَاص، وَأَشَدّ مَا يَكُون ذَلِكَ بَيْن الزَّوْجَيْنِ. هَذَا فِي حَقّ الْآدَمِيّ وَأَمَّا فِي حَقّ اللَّه… وَقَالَ اِبْن الْعَرَبِيّ : التَّغَيُّر مُحَال عَلَى اللَّه بِالدَّلَالَةِ الْقَطْعِيَّة فَيَجِب تَأْوِيله بِلَازِمِهِ كَالْوَعِيدِ أَوْ إِيقَاع الْعُقُوبَة بِالْفَاعِلِ وَنَحْو ذَلِكَ
Kata itu (ghairah) berasal dari berubahnya hati dan berkobarnya amarah karena ada keterlibatan pihak lain dalam hal yang seharusnya khusus bagi seseorang. Cemburu itu yang paling besarnya ada pada hubungan pernikahan suami istri. Ini dalam konteks makhluk Adam (manusia). Adapun dalam konteks Allah… Ibnul-‘Arabi berkata: Perubahan hati seperti itu mustahil bagi Allah berdasarkan dalil yang pasti, maka wajib dita`wilkan pada kelazimannya seperti ancaman atau penjatuhan siksa kepada yang melakukannya dan semacamnya (Fathul-Bari).
Di antara shahabat yang pernah mencurahkan isi hati kecemburuannya kepada Nabi saw adalah Abu Bakar ra, ketika istrinya; Asma` binti ‘Umais ra, menerima tamu lelaki di saat Abu Bakar ra belum pulang ke rumah. Ketika pulang dan melihat ada tamu lelaki, Abu Bakar ra marah dalam hatinya dan itu pertanda cemburu.
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ أَنَّ نَفَرًا مِنْ بَنِى هَاشِمٍ دَخَلُوا عَلَى أَسْمَاءَ بِنْتِ عُمَيْسٍ فَدَخَلَ أَبُو بَكْرٍ الصِّدِّيقُ وَهِىَ تَحْتَهُ يَوْمَئِذٍ فَرَآهُمْ فَكَرِهَ ذَلِكَ فَذَكَرَ ذَلِكَ لِرَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَقَالَ لَمْ أَرَ إِلاَّ خَيْرًا. فَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِنَّ اللَّهَ قَدْ بَرَّأَهَا مِنْ ذَلِكَ. ثُمَّ قَامَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ عَلَى الْمِنْبَرِ فَقَالَ: لاَ يَدْخُلَنَّ رَجُلٌ بَعْدَ يَوْمِى هَذَا عَلَى مُغِيبَةٍ إِلاَّ وَمَعَهُ رَجُلٌ أَوِ اثْنَانِ
Dari ‘Abdullah ibn ‘Amr ibn al-‘Ash ra, ada beberapa orang Bani Hasyim bertamu ke rumah Asma` binti ‘Umais. Ketika Abu Bakar masuk, dan saat itu Asma` sudah menjadi istrinya, lalu Abu Bakar melihat mereka, ia pun membencinya. Lalu Abu Bakar melaporkan hal itu kepada Rasulullah saw sambil berkata: “Tetapi aku tidak melihat selain kebaikan.” Maka Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya Allah telah menjamin kebersihannya (istri Abu Bakar) dari kekotoran.” Kemudian Rasulullah saw berdiri di atas mimbar dan bersabda: “Janganlah seorang laki-laki sesudah hari ini masuk ke seorang perempuan yang tidak ada suaminya kecuali disertai seseorang atau dua orang.” (Shahih Muslim bab tahrimil-khalwah bil-ajnabiyyah wad-dukhul ‘alaiha no. 5806)
Menurut Imam an-Nawawi, mayoritas ulama madzhab Syafi’i tetap mengharamkan bertamu ke rumah seorang perempuan yang tidak ada suaminya meski itu ditemani oleh dua orang laki-laki atau lebih. Maka ta`wil hadits di atas, kecuali ditemani oleh lelaki lain yang menjadi mahram perempuan (Syarah an-Nawawi). Sebagaimana Nabi saw sabdakan dalam hadits lain:
أَلاَ لاَ يَبِيتَنَّ رَجُلٌ عِنْدَ امْرَأَةٍ ثَيِّبٍ إِلاَّ أَنْ يَكُونَ نَاكِحًا أَوْ ذَا مَحْرَمٍ
Perhatikan, jangan bermalam seorang laki-laki di tempat perempuan yang pernah menikah kecuali ia menikahinya atau mahramnya (Shahih Muslim bab tahrimil-khalwah bil-ajnabiyyah wad-dukhul ‘alaiha no. 5802).
Larangan di atas berlaku juga jika lelaki yang dimaksud dari keluarga suaminya (saudara ipar atau keluarga mertua lainnya), bukan saudara kandungnya atau paman dan keponakannya.
عَنْ عُقْبَةَ بْنِ عَامِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ قَالَ: إِيَّاكُمْ وَالدُّخُولَ عَلَى النِّسَاءِ. فَقَالَ رَجُلٌ مِنَ الأَنْصَارِ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَفَرَأَيْتَ الْحَمْوَ قَالَ: الْحَمْوُ الْمَوْتُ
Dari ‘Uqbah ibn ‘Amir ra, sesungguhnya Rasulullah saw bersabda: “Kalian jangan masuk ke rumah/tempat perempuan.” Seseorang dari Anshar bertanya: “Wahai Rasulullah, menurut anda bagaimana kalau ipar?” Beliau menjawab: “Ipar itu kematian.” (Shahih Muslim bab tahrimil-khalwah bil-ajnabiyyah wad-dukhul ‘alaiha no. 5803).
Maksud “kematian” itu adalah lebih berbahaya karena tidak dicurigai oleh orang lain sehingga peluang maksiatnya lebih besar (Syarah an-Nawawi). Bisa disamakan (qiyas) pada hadits ini semua hal yang sudah sama-sama diketahui kedekatannya dan tidak dicurigai pihak lain, seperti rekan kerja satu kantor, yang terikat hubungan atasan dan bawahan, guru dan murid, dosen dan mahasiswi, atau semacamnya. Semuanya itu masuk kategori pada “kematian”.
Orang yang tidak memiliki rasa cemburu kepada suami/istrinya disebut oleh Nabi saw sebagai dayyuts yang arti asalnya orang yang kotor dan jijik. Seorang dayyuts diancam tidak akan masuk surga.
ثَلَاثَةٌ لَا يَنْظُرُ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَيْهِمْ يَوْمَ الْقِيَامَةِ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمَرْأَةُ الْمُتَرَجِّلَةُ، وَالدَّيُّوثُ، وَثَلَاثَةٌ لَا يَدْخُلُونَ الْجَنَّةَ: الْعَاقُّ لِوَالِدَيْهِ، وَالْمُدْمِنُ عَلَى الْخَمْرِ، وَالْمَنَّانُ بِمَا أَعْطَى
Ada tiga orang yang tidak akan dilihat Allah pada hari kiamat: Pendurhaka kepada orang tuanya, perempuan yang berpenampilan lelaki, dan dayyuts. Serta ada tiga orang yang tidak akan masuk surga: Pendurhaka kepada orang tuanya, peminum khamer, dan orang yang menyebut-nyebutkan dengan sombong apa yang sudah ia sumbangkan (Sunan an-Nasa`i bab al-mannan bi ma a’tha` no. 2562).
Dalam riwayat lain disebutkan jawaban Nabi saw tentang dayyuts:
فَقَالُوا: يَا رَسُولَ اللهِ أَمَّا مُدْمِنُ الْخَمْرِ فَقَدْ عَرَفْنَاهُ، فَمَا الدَّيُّوثُ مِنَ الرِّجَالِ؟، قَالَ: الَّذِي لَا يُبَالِي مَنْ دَخَلَ عَلَى أَهْلِهِ
Shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, tentang peminum khamer, kami telah mengetahuinya. Tetapi siapa yang dimaksud lelaki dayyuts itu?” Beliau menjawab: “Orang yang tidak peduli siapa saja yang masuk ke rumah istrinya.” (Syu’abul-Iman bab fashl fiz-zuhd no. 10310).
Sementara dalam riwayat Ahmad disebutkan:
وَالدَّيُّوثُ الَّذِي يُقِرُّ فِي أَهْلِهِ الْخَبَثَ
Dayyuts adalah orang yang membenarkan ada perbuatan kotor di keluarganya (Musnad Ahmad bab musnad ‘Abdillah ibn ‘Umar ra no. 5372).
Wal-‘Llahu a’lam wal-‘iyadzu bihi.