Status Keislaman Pemilih Ahok
Bismillah, Ustadz bagaimana hukumnya bagi masyarakat Jakarta yang bergama muslim pada waktu pilkada kemarin lebih memilih paslon yang beragama nashrani. Apakah termasuk melanggar al-Ma`idah 51? Nuhun Ustadz. 08212847xxxx
Sudah barang tentu melanggar. Di bulletin ini sudah lebih dari satu kali dibahas tentang larangan memilih pemimpin kafir berdasarkan surat al-Ma`idah ayat 51 dan tujuh ayat lainnya, juga berdasarkan pertimbangan rasionalnya. Melanggar ayat al-Qur`an yang melarang tegas, hukumnya tentu dosa besar. Allah swt sendiri dengan tegas menyatakan:
ٖۚ وَمَن يَتَوَلَّهُم مِّنكُمۡ فَإِنَّهُۥ مِنۡهُمۡۗ إِنَّ ٱللَّهَ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلظَّٰلِمِينَ ٥١
Barangsiapa di antara kamu mengambil mereka menjadi pemimpin, maka sesungguhnya orang itu termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang zhalim (QS. al-Ma`idah [5] : 51).
Akan tetapi tentunya, perbuatan dosa besar semacam itu bukan berarti menyebabkan pelakunya kafir mutlak, meski dinyatakan “termasuk golongan mereka”. Firman Allah swt semacam ini merupakan tahdzir (peringatan keras) semata. Sebab batasan kafir itu sendiri khuruj minal-millah (keluar dari agama Islam). Sepanjang seorang muslim belum terang-terangan menanggalkan agamanya, berarti ia tetap berstatus muslim, tetapi muslim pendosa besar (Fathul-Bari kitab al-iman bab khaufil-mu`min min an yahbitha ‘amaluhu ketika menjelaskan hadits sibabul-muslim fusuq wa qitaluhu kufr).
Batasan seseorang kafir itu adalah ‘keyakinan’, yakni jika seseorang tidak mengakui kedudukan Allah dan Rasul-Nya (QS. an-Nisa` [4] : 150-151). Ini tentu tidak bisa diketahui kecuali jika seseorang itu yang menyatakan dirinya telah keluar dari Islam. Maka sepanjang belum tampak terlihat seseorang keluar dari Islam, ia tidak boleh divonis kafir. Sebab hadits Nabi saw menginformasikan bahwa para pelaku dosa besar pun selama ia masih meyakini la ilaha illal-‘Llah meski sangat kecil sekali, akan dipindahkan dari neraka ke surga melalui syafa’at Nabi Muhammad saw. Jika memang kafir, maka akan kekal selama-lamanya di neraka.
Maka identitas kekafiran dalam aspek ‘perbuatan’ tidak bisa dijadikan patokan untuk memvonis seseorang kafir, sebab masih dalam tataran ‘perbuatan’, bukan ‘keyakinan’. Orang Islam yang seperti ini jadinya adalah orang Islam yang berbuat kafir, bukan orang kafir sepenuhnya. Sebagai contoh sabda Nabi saw: “Mencaci muslim itu perbuatan fasiq, dan memeranginya perbuatan kafir.” (Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab khaufil-mu`min min an yahbatha ‘amaluhu no. 48). Sejarah Islam di masa awal pasca-Nabi saw wafat banyak sekali dengan peperangan di antara sesama mereka. Sungguh ceroboh jika dengan fakta itu kemudian para shahabat dan tabi’in dinilai sebagai orang-orang kafir.
Tidak perlu menilai aneh adanya Islam yang bersatu dengan perbuatan kafir, sebab memang faktanya ada, dan Allah swt pun membenarkannya ada dalam firman-Nya: “Dan jika ada dua golongan dari orang-orang mukmin berperang maka damaikanlah antara keduanya.” (QS. al-Hujurat [49] : 9). Jelas sekali Allah swt menyebut mukmin sekaligus dengan perbuatan kafirnya ‘berperang’. Jadi Allah swt saja masih menyebut mereka ‘mukmin’ meski berdosa besar (Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab wa in tha`ifatani).
Memilih pemimpin kafir jelas termasuk ‘perbuatan’ kafir, bukan ‘keyakinan’ kafir terhadap Allah swt dan Rasul-Nya secara mutlak. Maka mereka yang memilih pemimpin kafir berarti telah berbuat kafir, meski tidak kemudian berstatus kafir. Wal-‘Llahu a’lam.