Akibat Menuduh Tidak Terasa Berbuat Jahat
Kehidupan bermasyarakat selalu rentan dengan saling menuduh kejelekan yang begitu mudahnya dilemparkan dan disebarkan. Apalagi di sesama masyarakat politik, meski tidak sedikit juga di sesama masyarakat sipil bahkan di kalangan para aktivis dakwah. Semuanya diakibatkan ketidaksadaran bahwa perbuatan tersebut dosa, bahkan Nabi saw menyebutnya dusta yang paling dusta. Seorang muslim, Nabi saw tegaskan, seyogianya merasa berbuat jahat ketika merendahkan saudaranya sesama muslim.
Perbuatan menuduh kejelekan dalam bahasa haditsnya adalah su`uzhan; berprasangka jelek. Ia memang sudah menjadi fithrah dalam hati manusia yang mustahil bisa ditinggalkan. Akan tetapi Nabi saw sudah mengingatkan bahwa apa saja yang mudah terlintas dalam hati, dan itu kejelekan, jangan sampai dikatakan atau diyakinkan sepenuhnya dalam hati.
إِنَّ اللَّهَ تَجَاوَزَ عَنْ أُمَّتِي مَا حَدَّثَتْ بِهِ أَنْفُسُهَا مَا لَمْ تَعْمَلْ أَوْ تَتَكَلَّمْ
Sesungguhnya Allah melewatkan (tidak mencatat) dari umatku apa yang terlintas dalam hatinya, selama tidak diamalkan atau dikatakan (Shahih al-Bukhari kitab at-thalaq no. 5269).
Dalam kaitan ini, Al-Hafizh Ibn Hajar juga membenarkan riwayat berikut:
ثَلَاث لَا يَسْلَم مِنْهَا أَحَد: الطِّيَرَة وَالظَّنّ وَالْحَسَد. قِيلَ: فَمَا الْمَخْرَج مِنْهَا يَا رَسُول اللَّه؟ قَالَ: إِذَا تَطَيَّرْت فَلَا تَرْجِع وَإِذَا ظَنَنْت فَلَا تُحَقِّق وَإِذَا حَسَدْت فَلَا تَبْغِ
“Ada tiga perkara yang seorang pun tidak bisa selamat darinya: anggapan sial, prasangka, dan hasud.” Ada yang bertanya: “Apa jalan keluar dari ketiganya wahai Rasulullah saw?” Beliau menjawab: “Kalau kamu menganggap sial jangan kamu kembali (karena takut sial), jika kamu berprasangka jangan meyakinkannya, dan jika kamu hasud jangan melebihi batas.” (Fathul-Bari kitab al-adab bab ma yunha ‘anit-tahasud wat-tadabur. Dalam bab at-thiyarah al-Hafizh menjelaskan bahwa sanad hadits ini mursal, meski demikian dikuatkan oleh riwayat lainnya yang sama-sama bermasalah sanadnya sehingga naik status menjadi hasan).
Sufyan ibn ‘Uyainah (ulama tabi’ tabi’in, wafat 198 H) juga menjelaskan:
الظَّنُّ ظَنَّانِ فَظَنٌّ إِثْمٌ وَظَنٌّ لَيْسَ بِإِثْمٍ فَأَمَّا الظَّنُّ الَّذِي هُوَ إِثْمٌ فَالَّذِي يَظُنُّ ظَنًّا وَيَتَكَلَّمُ بِهِ وَأَمَّا الظَّنُّ الَّذِي لَيْسَ بِإِثْمٍ فَالَّذِي يَظُنُّ وَلَا يَتَكَلَّمُ بِهِ
Zhann itu ada dua; zhann yang dosa dan zhann yang tidak dosa. Zhann yang dosa adalah berprasangka dan membicarakannya, sementara zhann yang tidak dosa adalah berprasangka tapi tidak membicarakannya (Sunan at-Tirmidzi kitab al-birr was-shilah bab zhannis-su` no. 1988).
Dalam berbagai kesempatan Nabi saw sering menegaskan sikap mudah menuduh jelek ini adalah pangkal permusuhan dan kebencian. Menyebabkan masyarakat sibuk mencari-cari kesalahan orang lain dan membuat-buat fakta tentang kejelekannya, yang berakibat saling dengki, saling benci, dan saling bermusuhan. Hubungan sesama muslim yang seharusnya rukun bersaudara malah menjadi renggang bermusuhan karena menganggap mereka sebagai musuh.
إِيَّاكُمْ وَالظَّنَّ فَإِنَّ الظَّنَّ أَكْذَبُ الْحَدِيثِ وَلَا تَحَسَّسُوا وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا تَنَاجَشُوا وَلَا تَحَاسَدُوا وَلَا تَبَاغَضُوا وَلَا تَدَابَرُوا وَكُونُوا عِبَادَ اللَّهِ إِخْوَانًا
Jauhilah oleh kalian prasangka, karena sungguh prasangka itu sedusta-dustanya omongan. Janganlah kalian mencari-cari berita negatif tentang seseorang, memata-matai kesalahan orang lain, saling menipu dalam harga barang jualan, saling dengki, saling benci, dan saling membelakangi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara (Shahih al-Bukhari bab ya ayyuhal-ladzina amanu-jtanibu katsiran minaz-zhann no. 6066; Shahih Muslim bab tahrimiz-zhann no. 6701).
Para ulama menjelaskan, pernyataan Nabi saw bahwa menuduh jelek sebagai omongan yang paling dusta, karena jika dusta penyebarnya sendiri meyakini bahwa itu adalah dusta, sementara tuduhan jelek penyebarnya sama sekali tidak meyakini bahwa itu dusta, malah meyakinkan dirinya bahwa tuduhan jelek itu fakta dan kebenaran. Padahal pastinya tuduhan jelek itu tidak pernah melalui proses tabayyun (klarifikasi) dan istinbath (pengkajian yang mendalam melibatkan semua pihak terkait—QS. 4 : 83). Diyakini begitu saja bahwa itu sebuah kebenaran, lalu disebarkan dengan begitu mudahnya (Fathul-Bari kitab al-adab bab ma yunha ‘anit-tahasud wat-tadabur).
Dalam kesempatan lain, Nabi saw menegaskan:
بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ
Cukuplah seorang muslim merasa berbuat jahat ketika merendahkan saudaranya sesama muslim (Shahih Muslim bab tahrim zhulmil-muslim wa khadzlihi no. 6706).
Sabda Nabi saw ini ditegaskan oleh beliau di tengah-tengah penjelasannya untuk tidak saling bermusuhan dan membuktikan taqwa dalam hati dengan hidup rukun dengan sesama karena merasa bersaudara. Salah satunya adalah dengan merasa sudah berbuat jahat ketika menuduh kejelekan kepada orang lain sesama muslim.
لاَ تَحَاسَدُوْا وَلاَ تَنَاجَشُوْا وَلاَ تَبَاغَضُوْا وَلاَ تَدَابَرُوْ وَلاَ يَبِعْ بَعْضُكُمْ عَلَى بَيْعِ بَعْضٍ وَكُوْنُوْا عِبَادَ اللهِ إِخْوَانًا اَلْمُسْلِمُ أَخُوْ الْمُسْلِمِ لاَ يَظْلِمُهُ وَلاَ يَخْذُلُهُ وَلاَ يَحْقِرُهُ اَلتَّقْوَى هَهُنَا -وَيُشِيْرُ إِلَى صَدْرِهِ ثَلاَثَ مَرَّاتٍ- بِحَسْبِ امْرِئٍ مِنَ الشَّرِّ أَنْ يَحْقِرَ أَخَاهُ الْمُسْلِمَ كُلُّ الْمُسْلِمِ عَلَى الْمُسْلِمِ حَرَامٌ دَمُهُ وَمَالُهُ وَعِرْضُهُ
Janganlah kalian saling dengki, saling melakukan najasy (berpura-pura ikut menawar untuk menipu dalam harga barang jualan), saling membenci, saling membelakangi, dan jangan pula sebagian dari kalian menjual di atas penjualan sebagiannya lagi. Jadilah kalian hamba-hamba Allah yang bersaudara. Seorang muslim itu saudara muslim lainnya, jangan pernah menganiayanya, menelantarkannya, dan menghinanya. Taqwa itu di sini –(kata Abu Hurairah:) sambil menunjuk dadanya tiga kali-. Cukuplah seorang muslim merasa berbuat jahat ketika merendahkan saudaranya sesama muslim. Setiap muslim atas muslim lainnya itu haram (harus terlindungi); darahnya, hartanya, dan kehormatannya. (Shahih Muslim kitab al-birr was-shilah bab tahrim zhulmil-muslim wa khadzlihi wa-htiqarihi fi damihi wa ‘irdlihi wa malihi no. 6706)
Maka pastinya karena sudah minim ketaqwaan dalam hati orang-orang merasa bebas saja merendahkan orang lain di muka umum, media sosial, atau di grup-grup percakapan dunia maya, tanpa ada beban merasa berdosa atau berbuat jahat.
Dalam hal ini Allah swt sudah mengingatkan:
إِنَّ أَكۡرَمَكُمۡ عِندَ ٱللَّهِ أَتۡقَىٰكُمۡۚ … ١٣
Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling taqwa (QS. al-Hujurat [49] : 13).
Tegas sekali, yang paling mulia dan hebat itu orang yang paling bertaqwa. Bukan orang yang paling gamblang menyatakan kesedihannya di tengah-tengah masyarakat dengan merendahkan pihak lain yang dianggapnya sebagai musuh. Bukan juga orang yang mengumbar kejelekan orang lain di grup-grup percakapan dunia maya. Bukan juga orang yang menguliti keburukan orang lain meskipun orang tersebut benar-benar buruk, apalagi yang sebenarnya bukan orang yang buruk akhlaq hanya saja sang pengumbar orang yang terlalu lebay dan terlalu mendramatisir keadaaan sehingga jadinya mengesankan buruk orang yang tidak buruk.
Orang yang mulia itu orang yang tetap mampu berprasangka baik terhadap orang lain yang diduga kuat telah merendahkannya, seraya berusaha mengendalikan hati agar bisa kembali menjalin kerukunan dengan orang tersebut. Perasaan bahwa orang yang diduga kuat telah merendahkannya sebagai saudaranya tertanam kuat dalam hatinya sehingga selalu mendorongnya untuk memperbaiki hubungan tanpa dalih apapun.
إِنَّمَا ٱلۡمُؤۡمِنُونَ إِخۡوَةٞ فَأَصۡلِحُواْ بَيۡنَ أَخَوَيۡكُمۡۚ وَٱتَّقُواْ ٱللَّهَ لَعَلَّكُمۡ تُرۡحَمُونَ ١٠
Orang-orang beriman itu sesungguhnya bersaudara. Sebab itu perbaikilah hubungan antara kedua saudaramu (yang bermusuhan) itu dan taqwalah kepada Allah supaya kamu mendapat Rahmat (QS. al-Hujurat [49] : 10).
Orang yang mulia itu adalah orang yang selalu berusaha menutup-nutupi kekurangan dan keburukan orang-orang yang diduga kuat telah menjadi musuhnya, sebab faktanya mereka tetap sebagai saudara seagamanya. Dengan amal itu ia berharap besar agar Allah swt juga menutupi aibnya di dunia dan akhirat. Ia yakin betul bahwa mengumbar aib orang lain hanya akan berbalas yang sama di dunia terhadap dirinya sendiri.
وَمَنْ سَتَرَ مُسْلِمًا سَتَرَهُ اللَّهُ فِى الدُّنْيَا وَالآخِرَةِ
Siapa yang menutupi kejelekan seorang muslim, niscaya Allah akan menutupi kejelekannya di dunia dan akhirat. (Shahih Muslim bab fadllil-ijtima’ ‘ala tilawatil-qur`an no. 7028).
Catatan: Mafhum dari hadits ini berarti orang yang mengumbar aib orang lain, maka aibnya sendiri akan terumbar di dunia dan akhirat.
مَنْ رَدَّ عَنْ عِرْضِ أَخِيْهِ بِالْغَيْبِ رَدَّ اللهُ عَنْ وَجْهِهِ النَّارَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ
Siapa yang membela kehormatan saudaranya ketika ia tidak ada, Allah akan menjaga wajahnya dari neraka pada hari kiamat (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fi adz-dzanbi ‘an ‘irdli al-muslim no. 1931).
Ukuran taqwa yang menjadi identitas kemuliaan seseorang itu bukan pada status jabatan di tengah-tengah masyarakat sebagai pemimpin bangsa, pemimpin umat, pendakwah, guru, atau bahkan ahli shalat, ahli zakat, dan ahli shaum. Ukuran taqwa penanda kemuliaan seseorang itu ada pada sejauh mana keberhasilannya menanamkan taqwa dalam hati sehingga selalu mampu mengendalikannya untuk tidak merendahkan orang lain. Wal-‘iyadzu bil-‘Llah.