Rezim yang berkuasa hari ini tampak sengaja memaksakan agar haluan ideologi Pancasila versi Soekarno diakui sebagai ideologi yang legal. Ideologi Pancasila versi Seokarno adalah ideologi Nasakom, menghendaki agar Nasionalis, Agama, dan Komunis hidup rukun di bawah naungan Pancasila. Padahal jelas agama dan komunis sepanjang sejarahnya tidak mungkin bersatu karena komunisme menolak keberadaan Tuhan dan mengingkari agama. Dalam perjalanan sejarahnya rakyat kemudian bangkit melawan ideologi Nasakom dan Soekarno pun tumbang. Akankah rezim sekarang hendak mengulangi kegagalan Soekarno? Satu hal yang pasti, rakyat tidak mungkin diam membiarkan komunisme menyemaikan kembali ideologinya.
Upaya Soekarnoisasi Pancasila mulai terasa gejala nyatanya dengan ditetapkannya tanggal 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila. Tanggal tersebut, tepatnya 1 Juni 1945, bertepatan dengan pidato Soekarno dalam sidang pertama BPUPKI (Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) yang menyampaikan gagasan Pancasila sebagai dasar negara, yaitu: Kebangsaan Indonesia, internasionalisme atau peri kemanusiaan, mufakat atau demokrasi, kesejahteraan sosial, dan ketuhanan. Dalam pidatonya tersebut Soekarno juga menyatakan bahwa Pancasila tersebut bisa diringkas menjadi Trisila, yakni sosionasionalisme, sosiodemokrasi, dan ketuhanan yang berkebudayaan. Atau bahkan menurut Soekarno bisa diringkas lagi menjadi Ekasila yakni gotong royong.
Sidang BPUPKI itu sendiri berlangsung dari tanggal 29 Mei-1 Juni 1945. Sebelum Soekarno berpidato pada tanggal 1 Juni, ada Muhammad Yamin yang juga menyampaikan lima asas negara pada pidato tanggal 29 Mei 1945, yaitu: Peri kebangsaan, peri kemanusiaan, peri ketuhanan, peri kerakyatan, dan kesejahteraan rakyat. Atau sehari sebelumnya, tanggal 31 Mei 1945, Soepomo menyampaikan lima “Dasar Negara Indonesia Merdeka“, yaitu: Persatuan, kekeluargaan, keseimbangan lahir batin, musyawarah, dan keadilan sosial. Jadi sebenarnya Soekarno bukan penggagas utama. Sebelumnya ada Muhammad Yamin yang menyampaikan gagasan yang persis sama. Bahkan pada tanggal 1 Juni 1945 tersebut pun Pancasila belum diresmikan sebagai dasar negara. Jadi penetapan 1 Juni sebagai hari lahir Pancasila terlalu dipaksakan hanya untuk mengangkat ideologi yang diusung Soekarnonya.
Rumusannya sendiri baru disepakati pada tanggal 22 Juni 1945 dalam wujud Piagam Jakarta dengan redaksi:
…Negara Republik Indonesia yang berkedaulatan Rakyat, dengan berdasar kepada: “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya, menurut dasar kemanusiaan yang adil dan beradab, persatuan Indonesia dan kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, serta dengan mewujudkan suatu keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.”
Piagam Jakarta dirumuskan oleh tim khusus yang dibentuk oleh BPUPKI selepas rapat 1 Juni 1945 dan dipimpin oleh Soekarno. Pada masa-masa awal, Soekarno terlihat sebagai sosok pemersatu di antara dua kubu yang berseberangan; nasionalis sekuler dan nasionalis Islam, meski ia sendiri berasal dari nasionalis sekuler dengan partainya PNI (Partai Nasional Indonesia). Itu tampak dari penerimaannya pada rumusan Piagam Jakarta di atas dengan menempatkan ketuhanan sebagai asas utama, tidak sebagaimana yang diusulkannya sendiri sebagai asas kelima. Bahkan ia juga menerima kalimat “dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” untuk mengakomodir desakan kelompok Islam yang menghendaki dasar negara Islam.
Dalam pidatonya pada tanggal 10 Juli 1945 di sidang paripurna Badan Penyelidik, setelah membacakan Piagam Jakarta, Soekarno menjelaskan:
Di dalam preambule itu ternyatalah, seperti saya katakan tempo hari, segenap pokok-pokok pikiran yang mengisi dada sebagian besar daripada anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyosakai (BPUPKI—pen). Masuk di dalamnya ke-Tuhanan, dan terutama sekali kewajiban umat Islam untuk menjalankan syariat Islam masuk di dalamnya; kebulatan nasionalisme Indonesia, persatuan bangsa Indonesia masuk di dalamnya; kemanusiaan atau Indonesia merdeka masuk di dalamnya; perwakilan permupakatan kedaulatan rakyat masuk di dalamnya; keadilan sosial, sociale rechtvaardigheit, masuk di dalamnya. Maka oleh karena itu, Panitia Kecil penyelidik usul-usul berkeyakinan bahwa inilah preambule yang bisa menghubungkan, mempersatukan segenap aliran yang ada di kalangan anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai.
Sehari setelah itu, 11 Juli 1945, Latuharhari, seorang Protestan dan anggota Badan Penyelidik, menyatakan keberatannya atas kata-kata “dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Ia mengatakan: “Akibatnya mungkin besar. Terutama terhadap agama lain,” katanya. Soekarno yang memimpin sidang mengingatkan bahwa preambule itu adalah kesepakatan yang didapat dengan jerih payah. “Kalau kalimat ini tidak dimasukkan, tidak bisa diterima oleh kaum Islam.”
Wongsonegoro dan Hoesein Djajadiningrat juga menyampaikan keberatan. Menurut mereka, anak kalimat tersebut mungkin dapat menimbulkan fanatisme karena seolah-olah memaksa menjalankan syariat Islam bagi orang-orang Islam. Kali ini Abdul Wahid Hasjim menimpali: “Bila ada orang yang menganggap kalimat ini tajam, ada juga yang menganggap kurang tajam.” Soekarno sekali lagi menekankan bahwa anak kalimat tersebut merupakan kompromi antara golongan Islam dan golongan kebangsaan, yang hanya didapat dengan susah payah.
Akan tetapi kemudian “permainan sulap” sebagaimana dibahasakan K.H.M. Isa Anshari kemudian terjadi. Soekarno dan Hatta pada tanggal 18 Agustus 1945 memutuskan untuk mengubah sila pertama “Ketuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi “Ketuhanan Yang Maha Esa”. Dalam sidang yang digelar sehari setelah proklamasi kemerdekaan tersebut, Soekarno menjelaskan: “Nanti kalau kita telah bernegara di dalam suasana yang lebih tenteram, kita tentu akan mengumpulkan kembali Majelis Perwakilan Rakyat yang dapat membuat Undang-Undang yang lebih lengkap dan sempurna.”
Janji tersebut kemudian dipenuhi Soekarno 10 tahun berikutnya dengan membentuk Majelis Konstituante hasil dari Pemilu 1955. Majelis yang bersidang sampai empat tahun lamanya ini menemui jalan buntu, karena dua kubu besar yang bersidang tidak menemui kesepakatan apakah Pancasila yang hendak dijadikan dasar negara adalah Pancasila yang dirumuskan pada Piagam Jakarta 22 Juni 1945 atau rumusan Pancasila tanggal 18 Agustus 1945. Pancasila versi Piagam Jakarta (rumusan I) didukung oleh fraksi-fraksi Islam (Masyumi, Nahdlatul Ulama, PSII, Perti, Akui, Gerpis dan Penyaluran). Sementara Pancasila 18 Agustus 1945 (rumusan II) didukung oleh fraksi lain selain Islam (PNI, PKI, Parkindo, Partai Katolik, PSI, IPKI, dan beberapa partai kecil lainnya). Konstituante menemui jalan buntu, karena untuk mengegolkan suatu hal yang prinsipil seperti dasar Negara harus memperoleh dukungan ⅔ jumlah suara yang hadir. Rasio perimbangan antara pendukung rumusan I dan II adalah 4 : 5 (atau dengan angka konkret 204 : 264). Tidak ada yang sampai ⅔.
Menghadapi kenyataan ini, maka Presiden Soekarno dalam kedudukannya sebagai Panglima Tertinggi Angkatan Perang mengeluarkan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 yang menyatakan: (1) Pembubaran Konstituante, (2) pemberlakuan kembali UUD 1945 dan (3) pembentukan MPRS. Dalam konsiderannya, Dekrit tersebut menyatakan: “berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”.
Meski demikian, Soekarno tetap saja kukuh dengan ideologi Pancasila Nasakomnya. Pada Tahun 1960 di hadapan Sidang Umum PBB di New York, Soekarno menegaskan bahwa Pancasila Nasakomnya sudah seharusnya diterapkan bagi perdamaian dunia yang saat itu sedang terpecah antara blok Barat (kapitalisme) dan blok Timur (komunisme). Bahkan di masa-masa berikutnya Soekarno tampak lebih dekat ke PKI (Partai Komunis Indonesia). Mulai dari susunan Kabinet sampai petinggi militer, dipilih oleh Soekarno orang yang mempunyai kedekatan dengan PKI. PKI sendiri memanfaatkannya sebagai angin segar. Di masa-masa ini, PKI juga gencar mengampanyekan agar gagasan Soekarno tentang Pancasila yang bisa diringkas menjadi Ekasila benar-benar diwujudkan. PKI tentu sangat berkepentingan dengan Ekasila ini, karena otomatis sila tentang Ketuhanan tidak lagi dijadikan dasar negara.
Ketika PKI bertindak sewenang-wenang dan puncaknya kudeta militer pada 30 September-1 Oktober 1965, Soekarno tidak memperlihatkan ketegasannya, melainkan hanya sebatas menyatakan mengutuk. Padahal kepada kelompok-kelompok Islam yang baru mengkritisi kepemimpinan otoriternya saja, Soekarno sudah langsung membubarkannya; Partai Masyumi salah satunya. Rakyat pun kemudian bergerak melakukan demonstrasi massa dalam jumlah yang banyak untuk menentang Soekarno dan mendesak pembubaran PKI. Tuntutan rakyat tersebut kemudian direspon oleh MPRS (Majelis Permusyawatan Rakyat Sementara) dengan mengeluarkan Ketetapan MPRS (Tap MPRS) No. 25 Tahun 1966 tentang Pembubaran Partai Komunis Indonesia, Pernyataan sebagai Organisasi Terlarang di Seluruh Wilayah Negara, dan Larangan Setiap Kegiatan untuk Menyebarkan atau Mengembangkan Faham atau Ajaran Komunis/Marxisme-Leninisme. Tidak puas sampai di sana rakyat kemudian meminta pertanggung jawaban Soekarno atas kudeta militer PKI. MPRS kemudian meresponnya juga dengan memanggil Soekarno dalam beberapa kali masa persidangan untuk meminta pertanggung jawaban. Sampai akhirnya pada 7 Maret 1967, MPRS mengeluarkan Ketetapan No. 33/MPRS/1967 yang mencabut kekuasaan Pemerintah dari Presiden Soekarno dan mengangkat Soeharto sebagai pejabat Presiden hingga dilaksanakannya Pemilu.
Meski Soekarno sudah dinyatakan bersalah dengan haluan ideologi Nasakomnya, hari ini dengan senyap-senyap, DPR hendak mengesahkan RUU Haluan Ideologi Pancasila dengan berdasar pada ideologi yang diajarkan Soekarno tersebut. Dalam konsideran RUU tersebut tidak dicantumkan Tap MPRS 25/MPRS/1966 yang melarang ideologi komunisme. Sementara itu dalam salah satu pasalnya dicantumkan gagasan Trisila dan Ekasila dari Soekarno yang sering dikampanyekan oleh PKI. Ketuhanan Yang Maha Esa dipaksakan menjadi Ketuhanan Yang Berkebudayaan, agar agama ditundukkan pada budaya atau bahkan dihilangkan dan digantikan dengan kebudayaan. DPR tampak hendak menguak luka lama rakyat Indonesia dan rakyat tentu saja tidak akan diam. Rakyat akan bangkit dan berusaha keras menolak segala upaya yang hendak mengarahkan Pancasila seperti diajarkan Soekarno, sebab komunisme tidak memiliki tempat di bumi Indonesia, dan sila Ketuhanan Yang Maha Esa juga sudah tidak bisa ditawar-tawar lagi.