Kontemporer

Setia NKRI dan Pancasila Haram?

Presiden Jokowi yang semula sudah bulat akan membebaskan Ustadz Abu Bakar Ba’asyir karena pertimbangan kemanusiaan, akhirnya mempertimbangkan ulang. Pasalnya syarat siap setia NKRI dan Pancasila ditolak Ustadz Ba’asyir. Ia lebih memilih tetap hidup di penjara bahkan sampai mati di sana jika harus berikrar setia kepada NKRI dan Pancasila. Bagi Pemerintah sendiri ikrar setia NKRI dan Pancasila ini sesuatu yang prinsip, basic, dan tidak bisa ditawar-tawar. Apakah memang setia NKRI dan Pancasila hukumnya haram?

Dari sejak era salaf, pemikiran bahwa Negara dan Pemerintahan yang tidak menegakkan hukum Islam adalah Negara kafir dan haram berbai’at kepada Pemerintahnya sudah muncul. Pencetusnya adalah kelompok Khawarij/Haruriyyah yang sampai berani menilai Khalifah ‘Ali ibn Abi Thalib ra sudah tidak menegakkan hukum Allah dan memvonisnya kafir. Mereka pun tidak segan untuk kemudian membunuh ‘Ali ra karena menilainya sudah menjadi pemimpin kafir.
Akan tetapi dari sejak era salaf juga, pemikiran Khawarij yang ekstrem seperti itu sudah dibantah oleh para shahabat. Hal pertama yang diingatkan ‘Ali ra dan kemudian mengutus Ibn ‘Abbas ra untuk mengajak Khawarij kembali kepada Negara adalah jangan sampai pemikiran takfir (menilai kafir) itu disebabkan pemahaman yang keliru terhadap ayat-ayat Allah swt. Dalam konteks Khawarij saat itu mereka menilai ‘Ali ra dan semua shahabat yang menyetujui tahkim (perjanjian damai antara kelompok ‘Ali dan Mu’awiyah) radliyal-‘Llah ‘anhum sudah tidak menetapkan hukum Allah karena menyerahkan urusan hukum kepada manusia, yakni kepada para shahabat yang terlibat dalam perundingan tersebut. Jargon Khawarij yang mengutip ayat al-Qur`an: Inil-hukmu illa lil-‘Llah (hukum itu hanya milik Allah) dibantah oleh ‘Ali ra dengan pernyataan yang terkenalnya: Kalimah haq urida biha bathil (kalimat yang benar tetapi maksudnya bathil). Sebab ‘Ali ra menegaskan, al-Qur`an justru mengajarkan untuk menetapkan hukum melalui perwakilan manusia (QS. An-Nisa` [4] : 35). Al-Hafizh Ibn Hajar menguraikan dengan cukup panjang persoalan ini dalam kitabnya Fathul-Bari (kitab istitabah al-murtaddin bab qatlil-khawarij wal-mulhidin ba’da iqamah al-hujjah ‘alaihim).
Kedua, tuduhan tidak menetapkan hukum Allah swt sebagai sebuah kekafiran sudah dibantah juga oleh para shahabat, seperti Ibn ‘Umar yang diriwayatkan dalam Shahih al-Bukhari, sebagai tuduhan salah alamat (bab qatlil-khawarij wal-mulhidin). Perbuatan tidak menetapkan hukum Allah swt itu kafir jika memang dilakukan oleh orang-orang kafir, sebab mereka memang kafir terhadap Allah swt dan hukumnya. Jika orang Islam yang melakukannya maka itu baru sebatas “perbuatan kafir”, yakni fasiq atau zhalim. Sebabnya orang Islam pasti masih menjalankan hukum-hukum Allah swt meski tidak secara kaffah. Ayat al-Qur`an sendiri sudah memilah-milahnya, bahwa tidak semua yang tidak berhukum dengan hukum Allah swt kafir, ada juga yang baru sebatas fasiq dan zhalim (QS. al-Ma`idah [5] : 44, 45, 47. Tafsir Ibn Katsir menyajikan tafsir lengkap dari shahabat dan tabi’in terkait maksud ayat-ayat tersebut).
Ketiga, kekufuran itu wujudnya jelas, yakni keluar dari Islam atau terang-terangan menolak syahadat, shalat, dan zakat. Selama seseorang meyakini dirinya sebagai pemeluk Islam, ia juga tidak ragu untuk bersyahadat, masih mengamalkan shalat dan zakat, maka orang ini harus diperlakukan sebagai muslim (QS. at-Taubah [9] : 11). Haram disamakan statusnya dengan orang kafir yang halal darahnya dalam kondisi perang (Hadits Ibn ‘Abbas dalam Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab fa in tabu wa aqamus-shalat wa atauz-zakat fa khallu sabilahum no. 25).
Keempat, mengikuti ajaran Nabi saw, para shahabat yang kemudian diikuti oleh para ulama salaf dan kaum muslimin secara keseluruhan selalu berbai’at kepada khalifah (Negara/Pemerintah) selama ia seorang muslim dan tidak menjajah kaum muslimin. Dalam sunnah ajaran ini disebut dengan al-jama’ah, sehingga Ibn ‘Abbas ra mempopulerkan istilah untuk kaum muslimin yang hidup dengan manhaj ini sebagai Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Sementara kaum muslimin yang menolak bai’at kepada khalifah disebut oleh Ibn ‘Abbas ra Ahlul-Bid’ah wal-Furqah (kelompok bid’ah dan separatis). Istilah ini dikemukakan oleh Ibn ‘Abbas ra ketika menafsirkan firman Allah swt dalam QS. Ali ‘Imran [3] : 106 (Tafsir Ibn Katsir).
Hadits-hadits yang mengajarkan sunnah ini banyak diriwayatkan oleh para shahabat. Hudzaifah ibn al-Yaman ra di antaranya menyampaikan ajaran Nabi saw:

تَلْزَمُ جَمَاعَةَ الْمُسْلِمِيْنَ وَإِمَامَهُمْ. قُلْتُ: فَإِنْ لَمْ يَكُنْ لَهُمْ جَمَاعَةٌ وَلاَ إِمَامٌ؟ قَالَ: فَاعْتَزِلْ تِلْكَ الْفِرَقَ كُلَّهَا وَلَوْ أَنْ تَعَضَّ بِأَصْلِ شَجَرَةٍ، حَتَّى يُدْرِكَكَ الْمَوْتُ وَأَنْتَ عَلَى ذَلِكَ.

Kamu harus senantiasa bergabung dengan jama’ah kaum muslimin dan imamnya.” Aku bertanya: “Kalau tidak ada jamaah dan imamnya?” Beliau menjawab: “Tinggalkan semua kelompok yang sesat itu, walau kamu harus menggigit akar pohon sampai datangnya kematian kepadamu, kamu tetap dalam keadaan seperti itu.” (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab kaifa al-amru idza lam takun jamaah wala imam no. 7084).
Dalam riwayat at-Thabrani, ajaran Nabi saw tersebut redaksinya:

فَإِنْ رَأَيْت خَلِيفَة فَالْزَمْهُ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرك فَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَلِيفَة فَالْهَرَب

Jika kamu menemukan khalifah, maka bergabunglah bersamanya, meski khalifah itu memukul punggungmu (zhalim). Tetapi jika tidak ada khalifah, maka larilah (Fathul-Bari kitab al-fitan bab kaifa al-amru idza lam takun jamaah wala imam).
Kesabaran berbai’at kepada Pemerintah yang zhalim ini juga ajaran yang jelas dalam sunnah. Jika dilanggar berarti sudah hidup dan mati seperti kaum jahiliyyah:

مَنْ كَرِهَ مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئاً فَلْيَصْبِرْ فَإِنَّهُ مَنْ خَرَجَ مِنَ السُّلْطَانِ شِبْراً مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً

Siapa yang tidak menyukai dari pemimpinnya sesuatu hal, maka bersabarlah. Karena sesungguhnya orang yang memisahkan diri dari sulthan (pemerintah) meski sejengkal saja, lalu ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyyah (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab satarauna badi umuran tunkirunaha no. 7053).
Kesabaran itu tentu tidak berarti diam, melainkan tetap menjalankan amar ma’ruf nahyi munkar. Batasannya asal tidak memisahkan diri dan atau memerangi Pemerintah yang faktanya masih menjalankan shalat.

سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا

“Akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian kenal tapi kalian mengingkari mereka. Siapa yang mengenali (dan tidak terbawa arus), maka ia terbebas dari dosa. Siapa yang mengingkari (amar ma’ruf nahyi munkar), maka ia selamat. Akan tetapi siapa yang simpati dan mengikuti, maka ia tidak selamat.” Para shahabat bertanya: “Apakah kita harus memerangi mereka?” Rasul saw menjawab: “Tidak, selama mereka shalat.” (Shahih Muslim kitab al-imarah bab wujubil-inkar ‘alal-umara` fima yukhalifus-syar’a no. 3445-3446).
NKRI dengan falsafah Pancasila tidak bertentangan dan menentang Islam, malah justru dirumuskan oleh tokoh-tokoh Islam dengan berlandaskan nilai-nilai Islam. Pemerintah NKRI juga masih menjalankan beberapa hukum Islam dalam konteks kenegaraan meski belum kaffah. Di Negara ini ada pengadilan agama yang menjalankan syari’at Islam meski lingkupnya masih terbatas, ada ekonomi syari’ah yang aturannya didasarkan pada syari’at Islam, lembaga-lembaga pendidikan Islam yang dibiayai oleh Negara, rumah sakit Islam, hotel syari’ah, dan lain sebagainya.
Pemilu dan sistem parlemen bukan sistem thaghut karena Islam mengajarkan musyawarah dengan sistem perwakilan. Parlemen di Indonesia pun sudah digariskan oleh para pendiri Negara ini tidak boleh melawan Pancasila dimana ajaran agama Islam termasuk di dalamnya.
Sunnah Nabi saw sudah mengajarkan agar umat Islam senantiasa berbai’at (sumpah setia) kepada Pemerintah yang terbukti masih muslim, shalat, dan zakat, meski belum menjalankan Islam secara kaffah. Sisanya yang belum kaffah itu adalah tugas umat Islam melalui da’wah, amar ma’ruf, dan nahyi munkar. Ini adalah ajaran Islam yang sudah dipraktikkan oleh umat Islam secara turun temurun, yakni Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Memilih berbeda dari jalannya umat Islam ini sama saja dengan sadar memilih untuk menjadi Ahlul-Bid’ah wal-Furqah.
Hadits Hudzaifah ibn al-Yaman di atas salah jika dijadikan dalil harusnya memisahkan diri dari semua kelompok/Negara/Pemerintah yang ada, sebab faktanya jama’ah yang diajarkan Nabi saw tersebut masih ada dan memang tidak harus ideal. Yang penting jama’ah (Negara) tersebut dipimpin oleh seorang pemimpin muslim, terlepas dari kualitas keislamannya yang belum kaffah.
Meski demikian, ijtihad keliru dari umat Islam yang tidak memilih sunnah dan jama’ah tidak menyebabkan mereka kafir. Mereka masih tetap saudara seislam yang berhak mendapatkan hak Islam dari sesama umat Islam sebagaimana diajarkan hadits-hadits Nabi saw. wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Back to top button