Apakah Sudah Sah Thalaq atau Khulu’?
Bagaimana jika ada seorang istri menantang cerai kepada suami lalu dijawab oleh suaminya: “Terserah kamu saja,” apakah sudah sah cerai? Soalnya saya mendengar dari sebuah pengajian bahwa cerai itu bisa sah meski tidak dengan menyatakan “cerai”. 08138772xxxx
Hemat kami, jika baru sebatas menyatakan “terserah kamu saja” itu belum jatuh thalaq, sebab kalimat tersebut dalam ‘urfi (pemahaman umum) kita belum merupakan ikrar thalaq. Memang ada diriwayatkan bahwa Nabi saw pernah menceraikan salah seorang istrinya dengan menyatakan: “kembalilah kepada keluargamu.” (riwayat al-Bukhari. Bulughul-Maram bab at-thalaq no. 1116). Tetapi kalimat tersebut dalam ‘urfi masyarakat Arab memang bermakna menceraikan. Jadi kalimat-kalimat di luar pernyataan “thalaq/cerai” bisa dibenarkan jatuh thalaq jika maknanya memang menceraikan. Jika masih syubhat sebaiknya dikonfirmasi kepada yang bersangkutan, apakah maksudnya menceraikan atau tidak.
Kasus yang anda tanyakan hemat kami termasuk kepada khulu’, yaitu seorang perempuan yang melepaskan ikatan pernikahan dari suaminya. Akan tetapi ada dua syarat yang harus terpenuhi agar khulu’ ini sah: (1) Istri mengembalikan pemberian suaminya (mahar/’iwadl) kepada suaminya, dan (2) hakim memutuskan hukuman bahwa khulu’ itu sah. Ini didasarkan pada hadits istri Tsabit ibn Qais, perempuan pertama yang mengajukan khulu’ dalam Islam, sebagai berikut:
يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعِيبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ اَلْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ? قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ ﷺ اِقْبَلِ اَلْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً
“Wahai Rasulullah, aku tidak menemukan ‘aib pada Tsabit ibn Qais baik dalam akhlaq atau agama, namun aku takut kufur dalam Islam (tidak hormat kepada suami).” Lalu Rasulullah saw bersabda: “Apakah engkau mau mengembalikan kebun kepadanya?” Ia menjawab: “Ya.” Maka Rasulullah saw bersabda (kepada Tsabit ibn Qais): “Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia sekali thalaq.” (Shahih al-Bukhari bab al-khul’ no. 5273)
Terlihat jelas dalam hadits di atas bahwa Nabi saw meminta istri Tsabit ibn Qais untuk mengembalikan pemberian kebun dari Tsabit kepada Tsabit kembali. Dan meski Tsabit tampak enggan menceraikan istrinya, Tsabit diputuskan oleh Nabi saw harus menerima khulu’ dari istrinya tersebut. Di sini terlihat jelas bahwa yang memutuskan sah khulu’ itu adalah hakim, meski kemudian suami yang mengikrarkan thalaqnya.
Tentunya sebelum diajukan ke Pengadilan Agama, kedua pihak suami istri harus menempuh terlebih dahulu ishlah dengan melibatkan keluarga dari kedua belah pihak sebagaimana diajarkan QS. an-Nisa` [4] : 35. Ini sebagai bagian dari ajaran Islam yang diabadikan dalam al-Qur`an. Maka dari itu pihak Pengadilan Agama di Indonesia pun pasti akan menempuh proses tersebut terlebih dahulu. Jika memang tidak mungkin diishlahkan, maka perceraian boleh ditempuh dan disahkan oleh hakim.
Nabi saw sendiri tentunya tidak berarti langsung menerima khulu’ istri Tsabit begitu saja. Dalam riwayat hadits yang lengkapnya, Nabi saw terlebih dahulu menginterogasi istri Tsabit tentang alasan khulu’-nya dan mencoba mendamaikannya. Akan tetapi karena alasannya sudah tidak bisa hormat lagi kepada suaminya disebabkan keterbatasan jasmani Tsabit, dan itu tidak bisa diupayakan untuk diperbaiki karena sifatnya kodrati, maka Nabi saw pun memutuskan untuk mengesahkan khulu’ tersebut. wal-‘Llahu a’lam