بسم الله الرحمن الرحيم
الحمد لله والصلاة والسلام على رسول الله
Imam al-Bukhari dalam kitab Shahihnya menulis tarjamah terkait zakat perdagangan hanya dengan dalil al-Qur`an tanpa menuliskan hadits, sebagai berikut:
بَاب صَدَقَةِ الْكَسْبِ وَالتِّجَارَةِ
لِقَوْلِهِ تَعَالَى {يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ وَمِمَّا أَخْرَجْنَا لَكُمْ مِنْ الْأَرْضِ إِلَى قَوْلِهِ أَنَّ اللَّهَ غَنِيٌّ حَمِيدٌ}
Bab: Shadaqah Usaha dan Perdagangan
Berdasarkan firman-Nya ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu…” sampai firman-Nya: “Sesungguhnya Allah Mahakaya dan Maha Terpuji.”[1]
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan dalam Fathul-Bari:
هَكَذَا أَوْرَدَ هَذِهِ التَّرْجَمَةَ مُقْتَصِرًا عَلَى الْآيَةِ بِغَيْرِ حَدِيثٍ ، وَكَأَنَّهُ أَشَارَ إِلَى مَا رَوَاهُ شُعْبَة عَنْ الْحَكَمِ عَنْ مُجَاهِدٍ فِي هَذِهِ الْآيَةِ ( يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا أَنْفِقُوا مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ ) قَالَ : مِنْ التِّجَارَةِ الْحَلَال أَخْرَجَهُ الطَّبَرِيّ وَابْن أَبِي حَاتِم مِنْ طَرِيقِ آدَم عَنْهُ، وَأَخْرَجَهُ الطَّبَرِيّ مِنْ طَرِيقٍ هُشَيْمٍ عَنْ شُعْبَة وَلَفْظُهُ ( مِنْ طَيِّبَاتِ مَا كَسَبْتُمْ ) قَالَ : مِنْ التِّجَارَةِ ( وَمِمَّا أَخْرَجَنَا لَكُمْ مِنْ الْأَرْضِ ) قَالَ : مِنْ الثِّمَارِ
Demikianlah beliau menuliskan tarjamah ini hanya mengutip ayat tanpa hadits. Seakan-akan beliau memberi isyarat pada riwayat Syu’bah dari al-Hakam dari Mujahid terkait ayat ini: “Hai orang-orang yang beriman, nafkahkanlah (di jalan Allah) sebagian dari hasil usahamu yang baik-baik” ia (Mujahid) berkata: “Dari perdagangan yang halal.” At-Thabari dan Ibn Abi Hatim mriwayatkannya dari jalan Adam, darinya (Syu’bah). At-Thabari meriwayatkan juga dari jalan Husyaim dari Syu’bah yang redaksinya: “Dari hasil usahamu yang baik-baik” Mujahid berkata: “Dari perdagangan.” “dan sebagian dari apa yang kami keluarkan dari bumi untuk kamu” Mujahid berkata: “Dari buah-buahan.”
Dalam bab sebelumnya: al-Mannan bi ma a’tha, Imam al-Bukhari juga menuliskan tarjamah tanpa menuliskan haditsnya, dan hanya menuliskan ayat al-Qur`an surat al-Baqarah [2] : 262. Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan, itu disebabkan tidak ada hadits shahih yang memenuhi persyaratan shahih al-Bukhari.[2] Bisa dipastikan dalam bab zakat perdagangan ini pun tidak ada hadits shahih yang memenuhi persyaratan shahih al-Bukhari, sehingga Imam al-Bukhari tidak menuliskan satu hadits pun.
Hadits Marfu’
Dalam kitab ad-Dirayah fi Takhrij Ahadits al-Hidayah, al-Hafizh Ibn Hajar menyebutkan ada dua hadits marfu’ yang biasa dijadikan dalil syari’at zakat perdagangan, yaitu hadits Samurah ibn Jundub dan Abu Dzar. Tetapi hadits Samurah ibn Jundub menurutnya: fihi dla’fun; terdapat kedla’ifan, sementara hadits Abu Dzar: isnaduhu hasan; sanadnya hasan.
Pertama, hadits Samurah ibn Jundub yang berstatus dla’if.
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ الصَّدَقَةَ مِنَ الَّذِى نُعِدُّ لِلْبَيْعِ
Dari Samurah ibn Jundub, ia berkata: “Amma ba’du, sungguh Rasulullah saw memerintah kami untuk mengeluarkan shadaqah/zakat dari yang kami siapkan untuk dijual.”[3]
Dalam riwayat ad-Daraquthni sendiri diuraikan lebih lengkap matan hadits di atas yang lebih jelas mengungkapkan maksudnya:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ , قَالَ: {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} مِنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ إِلَى بَنِيهِ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ, أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَأْمُرُنَا بِرَقِيقِ الرَّجُلِ أَوِ الْمَرْأَةِ الَّذِينَ هُمْ تِلَادٌ لَهُ وَهُمْ عُمْلَةٌ لَا يُرِيدُ بَيْعَهُمْ, فَكَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ لَا نُخْرِجَ عَنْهُمْ مِنَ الصَّدَقَةِ شَيْئًا وَكَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ مِنَ الرَّقِيقِ الَّذِي يُعَدُّ لِلْبَيْعِ
Dari Samurah ibn Jundub, ia berkata: “Bismil-‘Llahir-Rahmanir-Rahim. Dari Samurah ibn Jundub kepada anak cucunya. Semoga keselamatan tercurah untuk kalian. Amma ba’du, sungguh Rasulullah saw memerintah kita terkait hamba sahaya lelaki atau perempuan yang mereka adalah harta yang dimiliki dan para pekerja yang tidak akan dijual, beliau memerintah kita untuk tidak mengeluarkan zakat sedikit pun dari mereka. Beliau memerintah kita mengeluarkan zakat dari hamba sahaya yang dipersiapkan untuk dijual.”[4]
Al-Hafizh dalam at-Talkhishul-Habir menjelaskan hadits di atas:
أَبُو دَاوُد وَالدَّارَقُطْنِيّ وَالْبَزَّارُ مِنْ حَدِيثِ سُلَيْمَانَ بْنِ سَمُرَةَ عَنْ أَبِيهِ وَفِي إسْنَادِهِ جَهَالَةٌ
Diriwayatkan oleh Abu Dawud, ad-Daraquthni, dan al-Bazzar dari hadits Sulaiman ibn Samurah dari ayahnya. Tetapi dalam sanadnya ada jahalah (ketidakdikenalan).[5]
Imam adz-Dzahabi dalam kitabnya, Mizanul-I’tidal, menjelaskan bahwa yang majhul dalam sanad ini bukan hanya Sulaiman ibn Samurah saja, melainkan juga putranya yang meriwayatkan darinya, Khubaib ibn Sulaiman, dan keponakannya, Ja’far ibn Sa’ad ibn Samurah, yang kesemuanya menjadi rawi dalam hadits kakeknya, Samurah ibn Jundub ini.[6] al-Hafizh Ibn Hajar sendiri menilai Ja’far ibn Sa’ad laisa bil-qawiy; tidak kuat. Sementara rawi Khubaib ibn Sulaiman majhul; tidak dikenal; dan ayahnya, Sulaiman ibn Samurah maqbul; bisa diterima jika ada yang menguatkan.[7]
Akan tetapi Imam an-Nawawi memberikan sedikit pembelaan:
وفى اسناده جماعة لا أعرف حالهم ولكن لم يضعفه أبو داود وقد قدمنا ان ما لم يضعفه فهو حسن عنده
Dalam sanadnya ada sekelompok orang yang saya tidak mengenali keadaan mereka. Tetapi Abu Dawud tidak mendla’ifkannya. Sudah kami singgung di awal bahwa hadits yang tidak didla’ifkan Abu Dawud berarti itu hasan menurutnya.[8]
Pembelaan yang lebih lengkap dikemukakan oleh Ibnul-Mulqan. Membantah semua penlaian dla’if dari para ulama hadits untuk ketiga rawi di atas, Ibnul-Mulqan menolaknya dengan menyatakan bahwa rawi-rawi yang dibantah itu dinyatakan tsiqat oleh Ibn Hibban dalam kitabnya, ats-Tsiqat.[9] Di samping itu Ibn ‘Abdil-Barr menilai hadits ini hasan.[10] Demikian juga dengan Syaikhnya, Fathuddin al-Ya’mari yang menilai sanadnya la ba`sa bihi, dan minimalnya hasan. Ibnul-Mulqan mengutip juga pendapat Imam an-Nawawi dalam al-Majmu’ sebagaimana dikutip di atas.[11]
Memperhatikan qa’idah al-jarh muqaddam ‘alat-ta’dil idza kanal-jarh mufassaran; jarh didahulukan daripada ta’dil apabila jarh-nya jelas,[12] maka yang lebih tepat adalah menilai hadits di atas dla’if mengingat para ulama yang men-jarh mengemukakan sebab jarh-nya dengan jelas. Sementara itu tidak ada bantahan yang jelas dari Ibn Hibban sendiri, demikian juga ulama-ulama lain yang membelanya.
Kedua, hadits Abu Dzar yang berstatus hasan.
فِي الْإِبِلِ صَدَقَتُهَا، وَفِي الْغَنَمِ صَدَقَتُهَا، وَفِي الْبَقَرِ صَدَقَتُهَا، وَفِي الْبَزِّ صَدَقَتُهُ
Pada unta ada kewajiban zakat, pada kambing ada kewajiban zakat, pada sapi ada kewajiban zakat, dan pada pakaian/perkakas yang diperjualbelikan ada kewajiban zakat.[13]
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan bahwa sanad hadits ini ada empat. Dua sanad yang pertama diriwayatkan ad-Daraquthni melalui Musa ibn ‘Ubaidah ar-Rabadzi seorang rawi yang dla’if.[14] Sanad yang ketiga melalui jalan Ibn Juraij dari ‘Imran ibn Abi Anas dimana Ibn Juraij tidak pernah sima’ (belajar langsung) dari ‘Imran sehingga sanadnya munqathi’. Sementara sanad yang keempat melalui Sa’id ibn Salamah ibn Abil-Husam, seorang shaduq shahihul-kitab; jujur dan shahih riwayatnya dari kitabnya, tetapi keliru jika dari hafalannya,[15] sehingga sanadnya la ba`sa bihi; tidak ada cacat padanya.[16]
Al-Bazz itu sendiri maknanya adalah barang-barang yang dijual oleh para pedagang kain, bisa pakaian ataupun perkakas-perkakas lainnya.[17]
Atsar Salaf
Selain hadits marfu’ ada juga atsar-atsar dari generasi salaf yang menjelaskan syari’at zakat perdagangan ini. Beberapa di antaranya atsar dari shahabat yang secara hukum marfu’ dari Nabi saw, sebab dalam masalah syari’at mustahil shahabat membuat syari’at sendiri tanpa ada ajaran dari Nabi saw. Al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab ad-Dirayah menyebutkan tiga atsar salaf terkait zakat perdagangan ini. Imam al-‘Azhim Abadi dalam ‘Aunul-Ma’bud juga menyebutkan atsar lainnya. Sehingga tidak kurang dari empat atsar yang biasa dirujuk oleh para ulama terkait syari’at zakat perdagangan, yaitu:
Pertama, atsar dari ‘Umar ibnul-Khtahthab ra (40 SH-23 H) yang menagih zakat perdagangan dari Himas.
عَنْ أَبِي عَمْرِو بْنِ حِمَاسٍ: أَنَا أَبَاهُ قَالَ: مَرَرْتُ بِعُمَرَ بْنِ الْخَطَّابِ وَعَلَى عُنُقِي آدِمَةٌ أَحْمِلُهَا، فَقَالَ عُمَرُ: أَلا تُؤَدِّي زَكَاتَكَ يَا حِمَاسُ؟ فَقُلْتُ: يَا أَمِيرَ الْمُؤْمِنِينَ، مَالِي غَيْرُ هَذِهِ الَّتِي عَلَى ظَهْرِي وَآهِبَةٌ فِي الْقَرَظِ، فَقَالَ: ذَاكَ مَالٌ فَضَعْ، قَالَ: فَوَضَعْتُهَا بَيْنَ يَدَيْهِ، فَحَسَبَهَا فَوَجَدْتُ قَدْ وَجَبَ فِيهَا الزَّكَاةُ، فَأَخَذَ مِنْهَا الزَّكَاةَ.
Dari Abu ‘Amr ibn Himas, sesungguhnya ayahnya berkata: ‘Umar ibn al-Khaththab ra lewat ketika aku memikul kulit-kulit di atas pundakku. ‘Umar lalu berkata: “Sudahkah kamu menunaikan zakatmu wahai Himas?” Aku menjawab: “Wahai amirul-mu`minin, tidak ada padaku kecuali yang ada di punggungku ini dan beberapa kulit yang masih disamak.” ‘Umar berkata: “Itu adalah harta. Taruhlah.” Kata ayahku: “Aku pun menaruhnya di hadapannya, lalu ia menghitungnya. Lalu aku tahu bahwa zakat telah wajib padanya. ‘Umar pun mengambil zakat darinya.”[18]
Imam ad-Daraquthni memberikan tarjamah untuk hadits di atas: ta’jilis-shadaqah qablal-haul; mendahulukan zakat sebelum datang haul. Imam al-Qazwini (w. 623 H) penulis Syarah Musnad as-Syafi’i menjelaskan:
وقوله: “فحسبها فوجدها قد وجبت فيها الزكاة” يريد أنها قد بلغت نصابًا، ثم الكناية يجوز أن تعود إلى الآدمة التي كان يحملها ويجوز أن ترجع إليها وإلى الآهبة جميعًا
Pernyataan “ia menghitungnya, lalu menemukannya sudah wajib zakat” yang dimaksud adalah sudah sampai nishab. Kemudian ukurannya bisa tertuju pada kulit-kulit yang saat itu dibawa, bisa juga seluruhnya dengan kulit-kulit yang belum dibawa.[19]
Lebih lanjut Imam al-Qazwini menjelaskan:
وأما عدم التعرض للحول والبحث عنه فيحتمل أنه عرف أن حوله قد تم؛ ولذلك قال: “ألا تؤدي زكاتك” ويحتمل أن يقال: قوله: “فحسبها” أي: قدرًا ووقتًا، ويحتمل أنه تعجل الزكاة
Adapun dalam hal tidak mempertanyakan dan mempertimbangkan haul, bisa jadi ‘Umar sudah tahu bahwa haulnya sudah terpenuhi, oleh sebab itu ia bertanya: “Mengapa kamu tidak menunaikan zakatmu?” Mungkin juga ketika dinyatakan: “Ia menghitungnya” yang dimaksud volume barang dan waktunya. Mungkin juga zakatnya diawalkan (sebelum haul).[20]
Kedua, atsar ‘Abdullah ibn ‘Umar ra (10 SH-73 H).
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: لَيْسَ فِي الْعُرُوضِ زَكَاةٌ إِلَّا مَا كَانَ لِلتِّجَارَةِ
Dari Ibn ‘Umar, ia berkata: “Tidak ada kewajiban zakat pada barang-barang kecuali yang diperjualbelikan.”[21]
عَنِ ابْنِ عُمَرَ قَالَ: كَانَ فِيمَا كَانَ مِنْ مَالٍ فِي رَقِيقٍ، أَوْ فِي دَوَابَّ، أَوْ بَزٍّ يُدَارُ لِتِجَارَةٍ الزَّكَاةُ كُلَّ عَامٍ
Dari Ibn ‘Umar, ia berkata: “Harta berupa hamba sahaya, hewan, atau barang-barang lainnya yang diputarkan dalam jual beli terdapat kewajiban zakat setiap tahun.”[22]
Ketiga, atsar ‘Umar ibn ‘Abdul-‘Aziz (61-101 H).
عَنْ رُزَيْقِ بْنِ حَيَّانَ أَنَّ عُمَرَ بْنَ عَبْدِ الْعَزِيزِ كَتَبَ إِلَيْهِ: أَنِ انْظُرْ مَنْ مَرَّ بِكَ مِنَ الْمُسْلِمِينَ، فَخُذْ مِمَّا ظَهَرَ مِنْ أَمْوَالِهِمْ مِمَّا يُدِيرُونَ مِنَ التِّجَارَاتِ مِنْ كُلِّ أَرْبَعِينَ دِينَارًا دِينَارًا، فَمَا نَقَصَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ حَتَّى يبْلُغَ عِشْرِينَ دِينَارًا، وإِنْ نَقَصَتْ ثُلُثَ دِينَارٍ فَدَعْهَا وَلاَ تَأْخُذْ مِنْهَا شَيْئًا
Dari Ruzaiq ibn Hayyan, bahwasanya ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz menulis surat kepadanya: “Perhatikan siapa saja orang Islam yang lewat di hadapanmu. Ambillah zakat dari harta mereka yang diputarkan dalam perdagangan, dari setiap 40 dinar : 1 dinar. Jika kurang dari itu maka disesuaikan dengan itu. Hingga batas 20 dinar. Jika kurang 1/3 dinar saja darinya maka biarkan, jangan diambil zakat sedikit pun darinya.”[23]
Keempat, atsar ‘Urwah ibnuz-Zubair, Sa’id ibnul-Musayyib, dan al-Qasim rahimahumul-‘Llah:
فِي الْعُرُوضِ تُدَارُ الزَّكَاةُ كُلَّ عَامٍ، لَا يُؤْخَذْ مِنْهَا الزَّكَاةُ حَتَّى يَأْتِيَ ذَلِكَ الشَّهْرُ مِنْ عَامٍ قَابِلٍ
Barang-barang yang diputarkan (dalam perdagangan) diambil zakatnya setiap tahun. Tidak boleh diambil zakat darinya sehingga datang bulan yang sama pada tahun berikutnya.[24]
Qaul Ulama
Imam Ibnul-Mundzir (242-319 H), sebagaimana dikutip Ibn Qudamah (541-620 H) dalam al-Mughni, menegaskan ijma’ jumhur ulama terkait zakat tijarah sebagai berikut:
أَجْمَعَ أَهْلُ الْعِلْمِ عَلَى أَنَّ فِي الْعُرُوضِ الَّتِي يُرَادُ بِهَا التِّجَارَةُ الزَّكَاةَ إذَا حَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ. رُوِيَ ذَلِكَ عَنْ عُمَرَ وَابْنِهِ وَابْنِ عَبَّاسٍ .وَبِهِ قَالَ الْفُقَهَاءُ السَّبْعَةُ وَالْحَسَنُ وَجَابِرُ بْنُ زَيْدٍ وَمَيْمُونُ بْنُ مِهْرَانَ وَطَاوُسٌ وَالنَّخَعِيُّ وَالثَّوْرِيُّ وَالْأَوْزَاعِيُّ وَالشَّافِعِيُّ وَأَبُو عُبَيْدٍ وَإِسْحَاقُ وَأَصْحَابُ الرَّأْيِ
Para ulama sepakat bahwasanya dalam barang-barang yang diputarkan dalam perdagangan ada kewajiban zakat apabila sudah lewat satu tahun (haul). Ini diriwayatkan dari ‘Umar, putranya, dan Ibn ‘Abbas. Seperti ini juga pernyataan tujuh fuqaha, al-Hasan, Jabir ibn Zaid, Maimun ibn Mihran, Thawus, an-Nakha’i, ats-Tsauri, al-Auza’i, as-Syafi’i, Abu ‘Ubaid, Ishaq, dan ulama-ulama yang memprioritaskan nalar.[25]
Imam Malik (w. 179 H) dalam al-Muwaththa` menjelaskan:
الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِيمَا يُدَارُ مِنَ الْعُرُوضِ لِلتِّجَارَاتِ، أَنَّ الرَّجُلَ إِذَا صَدَّقَ مَالَهُ، ثُمَّ اشْتَرَى بِهِ عَرْضاً، بَزّاً أَوْ رَقِيقاً أَوْ مَا أَشْبَهَ ذلِكَ، ثُمَّ بَاعَهُ قَبْلَ أَنْ يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ مِنْ يَوْمِ أَخْرَجَ زَكَاتَهُ؛ فَإِنَّهُ لاَ يُؤَدِّي مِنْ ذلِكَ الْمَالِ زَكَاةً، حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ مِنْ يَوْمَ صَدَّقَهُ. وَأَنَّهُ إِنْ لَمْ يَبِعْ ذلِكَ الْعَرْضَ سِنِينَ، لَمْ يَجِبْ عَلَيْهِ فِي شَيْءٍ مِنْ ذلِكَ الْعَرْضِ زَكَاةٌ، وَإِنْ طَالَ زَمَانُهُ. فَإِذَا بَاعَهُ، فَلَيْسَ عَلَيْهِ إِلاَّ زَكَاةٌ وَاحِدَةٌ
Urusan ini menurut kami, yakni barang-barang yang diputarkan dalam perdagangan, jika ada seseorang yang mengeluarkan hartanya lalu ia membeli barang; perkakas, hamba sahaya, atau semisalnya, kemudian ia menjualnya sebelum lewat haul dari sejak ia mengeluarkan zakat (terakhirnya), maka sesungguhnya ia tidak perlu mengeluarkan zakat dari harta tersebut sampai lewat satu haul dari sejak ia membelanjakannya. Jika ia tidak menjual barang-baran yang dimaksud selama beberapa tahun, tidak wajib zakat pada satu pun barang-barang tersebut, meski waktunya telah berlangsung lama. Tetapi jika ia menjualnya, maka tidak ada kewajiban padanya melainkan satu kali zakat saja (tidak perlu dihitung dari setiap tahun yang sudah terlewat—pen).[26]
الْأَمْرُ عِنْدَنَا فِي الرَّجُلِ يَشْتَرِي بِالذَّهَبِ أَوِ الْوَرِقِ، حِنْطَةً أَوْ تَمْراً لِلتِّجَارَةِ. ثُمَّ يُمْسِكُهَا حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ. ثُمَّ يَبِيعُهَا: أَنَّ عَلَيْهِ فِيهَا الزَّكَاةَ حِينَ يَبِيعُهَا، إِذَا بَلَغَ ثَمَنُهَا مَا تَجِبُ فِيهِ الزَّكَاةُ
Urusan ini menurut kami, yakni dalam hal seseorang yang membeli dengan emas atau perak, gandum atau kurma untuk diperdagangkan, kemudian ia menahannya sampai lewat satu haul, baru kemudian menjualnya, maka ia wajib zakat ketika menjualnya saja, itu pun jika nilainya sampai pada batasan minimal wajib zakat.[27]
Imam an-Nawawi (631-676 H) dalam Raudlatut-Thalibin menjelaskan:
الْحَوْلُ مُعْتَبَرٌ فِي زَكَاةِ التِّجَارَةِ بِلَا خِلَافٍ، وَالنِّصَابُ مُعْتَبَرٌ أَيْضًا بِلَا خِلَافٍ. لَكِنْ فِي وَقْتِ اعْتِبَارِهِ، ثَلَاثَةُ أَوْجُهٍ… الْأَوَّلُ مِنْهَا مَنْصُوصٌ، وَالْآخَرَانِ مُخَرَّجَانِ، فَالْأَوَّلُ: الْأَصَحُّ أَنَّهُ يُعْتَبَرُ فِي آخِرِ الْحَوْلِ فَقَطْ، وَالثَّانِي: يُعْتَبَرُ فِي أَوَّلِهِ وَآخِرِهِ دُونَ وَسَطِهِ، وَالثَّالِثُ: يُعْتَبَرُ فِي جَمِيعِ الْحَوْلِ، حَتَّى لَوْ نَقَصَتْ قِيمَتُهُ عَنِ النِّصَابِ فِي لَحْظَةٍ، انْقَطَعَ الْحَوْلُ، فَإِنْ كَمُلَ بَعْدَ ذَلِكَ، ابْتَدَأَ الْحَوْلُ مِنْ يَوْمِئِذٍ. فَإِذَا قُلْنَا بِالْأَصَحِّ، فَاشْتَرَى عَرَضًا لِلتِّجَارَةِ بِشَيْءٍ يَسِيرٍ، انْعَقَدَ الْحَوْلُ عَلَيْهِ، وَوَجَبَتْ فِيهِ الزَّكَاةُ إِذَا بَلَغَتْ قِيمَتُهُ نِصَابًا آخِرَ الْحَوْلِ
Haul itu diperhitungkan dalam zakat tijarah, tidak ada perselisihan. Nishab juga diperhitungkan tanpa ada perselisihan. Akan tetapi dalam hal awal waktu mengukurnya, ada tiga pendapat… Yang pertama jelas nash (dari Imam as-Syafi’i)-nya, sedang yang dua lagi pendapat turunannya. Pertama, ini yang paing tepat, dihitung di akhir haul saja. Kedua, dihitung di awal dan akhirnya, sementara tengahnya tidak. Ketiga, dihitung di sepanjang tahunnya, sehingga seandainya nilai transaksinya berkurang dari nishab dalam satu waktu, maka terputuslah haulnya. Jika kemudian sampai lagi nishab, maka haul dimulai lagi sejak saat itu. Jika pendapat yang paling tepat yang dipilih, maka seseorang yang membeli barang untuk diperjualbelikan meski sedikit, haulnya sudah diperhitungkan dari sejak itu, dan wajib padanya zakat jika nilainya sampai nishab pada akhir haul.[28]
Penjelasan yang tidak jauh beda dikemukakan juga oleh Imam Abu Bakar ibn Mas’ud al-Kasani (w. 587 H) dari madzhab Hanafi dalam kitabnya, Bada`i’us-Shana`i’ fi Tartibis-Syara`i’ sebagai berikut:
فَكَمَالُ النِّصَابِ شَرْطُ وُجُوبِ الزَّكَاةِ فَلَا تَجِبُ الزَّكَاةُ فِيمَا دُونَ النِّصَابِ ؛ لِأَنَّهَا لَا تَجِبُ إلَّا عَلَى الْغَنِيِّ وَالْغِنَى لَا يَحْصُلُ إلَّا بِالْمَالِ الْفَاضِلِ عَنْ الْحَاجَةِ الْأَصْلِيَّةِ وَمَا دُونَ النِّصَابِ لَا يَفْضُلُ عَنْ الْحَاجَةِ الْأَصْلِيَّةِ فَلَا يَصِيرُ الشَّخْصُ غَنِيًّا بِهِ… وَلَكِنَّ هَذَا الشَّرْطَ يُعْتَبَرُ فِي أَوَّلِ الْحَوْلِ وَفِي آخِرِهِ لَا فِي خِلَالِهِ حَتَّى لَوْ انْتَقَصَ النِّصَابُ فِي أَثْنَاءِ الْحَوْلِ ثُمَّ كَمُلَ فِي آخِرِهِ تَجِبُ الزَّكَاةُ سَوَاءٌ كَانَ مِنْ السَّوَائِمِ أَوْ مِنْ الذَّهَبِ وَالْفِضَّةِ أَوْ مَالِ التِّجَارَةِ
Sempurnanya nishab adalah syarat wajib zakat. Maka zakat tidak wajib jika masih di bawah nishab. Sebab zakat diwajibkan bagi orang kaya. Orang kaya itu yang mempunyai harta berlebih dari kebutuhannya yang pokok. Yang masih di bawah nishab artinya tidak ada kelebihan dari kebutuhan pokoknya, sehingga orang tersebut tidak termasuk kaya… Akan tetapi syarat ini dihitung di awal tahun dan akhirnya, tidak di pertengahannya. Sehingga andaikan berkurang nishab tersebut di pertengahan tahun, tetapi sempurna lagi di akhirnya, maka zakat sudah wajib, sama saja dalam hal hewan ternak, emas, perak, atau harta perdagangan.[29]
Dalam hal ini, Imam al-Baghawi menyimpulkan:
ذهب عامة أهل العلم إلى أن التجارة تجب الزكاة في قيمتها إذا كانت نصابا عند تمام الحول، فيخرج منها ربع العشر.
Mayoritas ulama menyimpulkan bahwa perdagangan itu wajib zakat dalam nilai barangnya apabila sudah sampai nishab ketika sempurna haulnya. Maka dikeluarkan zakatnya 2,5%.[30]
Demikian halnya, Syaikh Wahbah az-Zuhaili dalam kitab al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu menjelaskan:
اشترط الفقهاء لوجوب زكاة عروض التجارة شروطاً، أربعة عند الحنفية، وخمسة عند المالكية، وستة عند الشافعية، وشرطين فقط عند الحنابلة، منها ثلاثة شروط متفق عليها وهي بلوغ النصاب، وحولان الحول، ونية التجارة، ومنها شروط زوائد في بعض المذاهب
Para ahli fiqih telah menetapkan beberapa syarat wajibnya zakat barang-barang perdagangan. Empat menurut madzhab Hanafi, lima menurut madzhab Maliki, enam menurut madzhab Syafi’i, dan dua syarat saja menurut madzhab Hanbali. Dari kesemuanya itu ada tiga syarat yang disepakati, yaitu: (1) sampai nishab, (2) lewat haul, dan (3) niat jual beli. Selebihnya syarat-syarat tambahan yang berbeda di masing-masing madzhabnya.[31]
Tahqiq dan Tarjih
Dalil-dalil dan qaul para ulama yang dikutip di atas mengarah pada satu kesimpulan yang sama bahwa zakat tijarah itu hukumnya wajib. Zakat tijarah ini termasuk zakat mal yang berlaku padanya haul dan nishab. Dalam atsar ‘Umar ibn ‘Abdul-Aziz jelas disebutkan bahwa nishab zakat perdagangan ini 20 dinar atau 85 gram emas. Jika harga 1 gram emas murni Rp. 600.000,- berarti nishabnya senilai Rp. 51.000.000,-. Dari atsar para shahabat di atas juga diketahui wajibnya zakat tijarah ini jika sudah lewat satu tahun.
Ketentuan Nishab
Standar nishab 20 dinar yang ditetapkan oleh Khalifah ‘Umar ibn ‘Abdul-‘Aziz merujuk pada nishab zakat harta secara umum sebagaimana disabdakan Nabi saw dalam hadits marfu’ dari ‘Ali ibn Abi Thalib ra:
فَإِذَا كَانَتْ لَكَ مِائَتَا دِرْهَمٍ وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا خَمْسَةُ دَرَاهِمَ وَلَيْسَ عَلَيْكَ شَىْءٌ – يَعْنِى فِى الذَّهَبِ – حَتَّى يَكُونَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا فَإِذَا كَانَ لَكَ عِشْرُونَ دِينَارًا وَحَالَ عَلَيْهَا الْحَوْلُ فَفِيهَا نِصْفُ دِينَارٍ فَمَا زَادَ فَبِحِسَابِ ذَلِكَ
Apabila engkau memiliki dua ratus dirham (uang perak), dan telah mencapai haul maka padanya terdapat zakat lima dirham. Dan engkau tidak berkewajiban apapun yaitu pada emas hingga engkau memiliki dua puluh dinar. Maka apabila engkau memiliki uang dua puluh dinar dan telah mencapai haul maka padanya zakat setengah dinar, kemudian selebihnya sesuai dengan perhitungan tersebut.[32]
Dalam Risalah Zakat, A. Hassan menjelaskan bahwa 1 dirham = 1 drachm atau 1/8 ounce. 1 ounce = 24 gram. Jadi 1 dirham itu beratnya 1/8 x 24 gram = 3 gram. 200 dirham berarti 200 x 3 gram = 600 gram. Sementara 1 dinar = 1,5 drachm, atau 3/16 ounce, atau 3/16 x 24 gram = 4,5 gram. 20 dinar berarti 20 x 4,5 gram = 90 gram.[33] Artinya, dari hadits di atas diketahui bahwa nishab perak adalah 600 gram dan nishab emas 90 gram.
Sementara itu, Syaikh Yusuf al-Qaradlawi menilai bahwa 1 dinar itu 4,25 gram emas. Jadi nishab 20 dinar berarti 85 gram emas. Syaikh Yusuf al-Qaradlawi juga menilai bahwa 1 dirham itu 2,975 gram perak. Jadi nishab 200 dirham berarti 595 gram perak.[34]
Terdapat sedikit perbedaan dalam hal menentukan kadar nilai barang dagangan, apakah dirujukkan pada perak atau emas. Bagi madzhab Hanafi dan Hanbali standar rujukannya bisa dipertukarkan seukuran yang lebih dekat pada kewajiban mengeluarkan zakat. Jika lebih dekat ke perak, maka standar nishabnya perak. Tetapi jika lebih dekat ke emas, maka standar nishabnya emas. Sementara madzhab Syafi’i mengukurkannya pada awal pembelian barang, apakah menggunakan dinar atau dirham. Jika membelinya dengan dinar, maka diukurkan pada dinar. Tetapi jika membelinya dengan dirham, maka diukurkan pada dirham.[35]
Akan tetapi mengingat standar harga hari ini ukurannya emas, bukan perak, maka yang lebih tepat adalah diukurkan pada standar nishab emas. Sebagaimana dijelaskan Syaikh Yusuf al-Qaradlawi, selepas zaman salaf, ada perubahan drastis pada standar harga emas dan perak. Harga emas lebih mapan sehingga dijadikan rujukan nilai barang, jauh berbeda dengan harga perak yang turun drastis. Maka dari itu lebih tepat mengukurkannya pada standar nishab emas. Pertimbangan dari sebagian ulama harus dirujukkan pada standar nishab yang lebih dekat pada kewajiban mengeluarkan zakat, itu berlaku di zaman harga emas dan perak standarnya seperti standar di era salaf. Untuk zaman sekarang, karena yang mapan dan dijadikan rujukan nilai adalah emas, maka standar nishabnya adalah emas.[36]
Ketentuan Haul
Berkaitan dengan haul dalam zakat mal, di samping hadits ‘Ali tentang zakat harta emas dan perak di atas, disinggung juga dalam hadits Nabi saw lainnya, yaitu:
لَيْسَ فِى مَالٍ زَكَاةٌ حَتَّى يَحُولَ عَلَيْهِ الْحَوْلُ
Tidak ada kewajiban zakat pada harta sehingga berlalu satu tahun.[37]
مَنِ اِسْتَفَادَ مَالًا, فَلَا زَكَاةَ عَلَيْهِ حَتَّى يَحُولَ اَلْحَوْلُ عِنْدَ رَبِّهِ
Siapa yang mengambil manfaat dari harta, tidak wajib zakat atasnya kecuali setelah mencapai masa setahun berada di pemiliknya.[38]
Ikhtilaf kemudian ada dalam hal bagaimana menentukan awal dan akhir haulnya. Dari penjelasan para ulama di atas diketahui ada yang menentukan awal haul di awal nishab. Jadi meski memulai usaha perdagangan dari bulan Muharram, misalnya, jika belum sampai nishab belum dihitung awal haul. Jika sepanjang tahun transaksinya tidak pernah mencapai nishab, maka ketika masuk bulan Muharram tahun berikutnya tidak wajib zakat. Tetapi jika pada bulan Rabi’ul-Awwal nilai perdagangannya mencapai nishab, maka awal haul diberlakukan pada saat itu. Dan seandainya di bulan Syawwal tidak mencapai nishab lagi, maka haul pun gugur. Ketika memasuki bulan Dzulhijjah nilai perdagangan mencapai nishab lagi maka di sana mulai dihitung awal haul lagi. Pendapat ini dianut oleh salah satu qaul ulama madzhab Syafi’i, tetapi sebagaimana dikemukakan Imam an-Nawawi di atas, ini adalah qaul yang lemah.
Demikian halnya yang menghitung dari awal dan akhir dengan mengabaikan pertengahan haul. Jadi jika contohnya kasus di atas, awal haul dihitung dari bulan Rabi’ul-Awwal, dan zakat wajib dibayarkan pada bulan Rabi’ul-Awwal tahun berikutnya jika pada bulan tersebut nilai perdagangan juga mencapai nishab seperti di awal haulnya. Pendapat ini juga salah satu qaul di madzhab Syafi’i dan yang dianut oleh madzhab Hanafi, sebagaimana diuraikan di atas. Tetapi qaul ini pun termasuk qaul yang lemah sebagaimana dituturkan Imam an-Nawawi di atas.
Pendapat yang kuat, dan ini dianut oleh madzhab Maliki, Syafi’i, dan Hanbali adalah menghitung haul dari sejak awal melakukan perdagangan meskipun saat itu belum mencapai nishab. Nishabnya baru diperhitungkan sesudah lewat satu tahun. Jika sesudah satu tahun berdagang nilai perdagangan mencapai nishab maka berarti sudah wajib zakat. Jika setelah berlangsung satu tahun nilai perdagangan tidak mencapai nishab (senilai Rp. 51.000.000,-) maka berarti tidak wajib zakat. Pendapat ini lebih selamat untuk dipegang karena lebih ihtiyathi (hati-hati) dibanding dua pendapat sebelumnya. Di samping itu lebih sesuai dengan dua hadits mauquf shahih Ibn ‘Umar terakhir yang menyebutkan menghitung zakat harta itu di akhir haul.
Dari semua penjelasan atsar salaf di atas juga berulang-ulang disebutkan jenis perdagangannya tudaru; beredar dan berjalan sepanjang tahun. Maka dari itu fatwa Imam Malik di atas harus dijadikan pertimbangan juga jika misalnya ada seorang pedagang yang sudah membelanjakan hartanya untuk memberi barang dagangan, tetapi setelah lewat haul barang-barangnya belum didagangkan, maka ini belum wajib zakat, sebab memang belum berjalan perdagangannya. Kalaupun sudah diperjualbelikan sebagiannya, tetapi nilai perdagangannya belum mencapai nishab setelah lewat haul, tetap belum wajib zakat. Sebab dalam kasus barang-barang dagangannya tidak laku terjual, bisa jadi pedagang membatalkan perdagangannya dan menjadikan barang-barang tersebut hak miliknya, atau dihibahkan, atau dijual murah sehingga tidak sampai nishab.
Persoalan apakah boleh zakat perdagangan dibayarkan setiap minggu atau bulan, hal ini kembali pada hukum umum bolehnya zakat dibayarkan di awal, sebagaimana halnya zakat fithri. Meskipun wajibnya zakat fithri itu setelah selesai shaum Ramadlan, pada faktanya para shahabat menunaikannya dari sejak pertengahan bulan Ramadlan. Sebagaimana ditegaskan juga dalam atsar ‘Umar ibn al-Khaththab di atas oleh Imam ad-Daraquthni, bahwa itu adalah di antara praktik zakat perdagangan dibayarkan sebelum lewat satu haul.
Harta Yang Dihitung Zakatnya
Dalil dan qaul ulama yang dikutip di atas sama menjelaskan bahwa harta perdagangan yang dihitung zakatnya adalah semua harta yang diperdagangkan. Dalam hal ini memang ada pendapat yang menyatakan bahwa harta perdagangan yang dihitung zakatnya adalah dari harga beli/modal barang yang diperdagangkan. Dalilnya adalah hadits Samurah ibn Jundub tentang mengeluarkan zakat dari barang yang dipersiapkan untuk dijual dan atsar ‘Umar ibn al-Khathtab yang menarik zakat perdagangan dari Himas sebelum ia menjualnya.[39]
Akan tetapi hadits Samurah ibn Jundab itu pada faktanya dla’if. Di samping itu tidak sedang menjelaskan harta perdagangan yang dizakati adalah harga beli/modal barang yang didagangkan. Hadits tersebut sebatas menjelaskan harta yang dizakati itu harta yang diperdagangkan, sementara harta yang tidak diperdagangkan tidak perlu dizakati. Jika hendak dipaksakan bahwa maksud hadits tersebut adalah zakat diambil dari harga beli/modal barang yang didagangkan, maka ini jelas ihtimal (tidak jelas). Kaidah fiqih menyatakan: Ma’al-ihtimal yasquthul-istidlal; selama masih ihtimal (tidak jelas) maka tidak bisa dijadikan dalil. Maka dari itu kami tidak berhasil menemukan adanya fatwa ulama salaf dan khalaf yang menyatakan bahwa zakat perdagangan diambil dari modal barang dagangan saja tanpa keuntungan. Seandainya hadits di atas bermakna demikian, tentu akan banyak ulama salaf dan khalaf yang juga menjelaskan demikian.
Demikian halnya dengan atsar ‘Umar ibn al-Khaththab yang menagih zakat perdagangan dari Himas, seorang penjual kulit sebelum ia menjual kulitnya. Tidak disebutkan jelas di sana bahwa ‘Umar hanya mengambil dari modal barang dagangannya saja. Yang disebutkan jelas hanya ‘Umar ra menghitungnya dan kemudian memungut zakatnya. Sangat mungkin ‘Umar menghitung dengan keuntungannya, lalu memungut zakatnya.
Zakat perdagangan kembali lagi pada ketentuan zakat harta secara umum, yakni bahwa yang dizakati itu adalah harta yang dimiliki, tentunya dalam konteks zakat tijarah adalah dari hasil perdagangan. Maka dari itu dihitung dari nilai barang yang akan dijual, kas keuangan yang dimiliki, dan piutang dari pihak luar, sesudah dipotong utang, sebab utang adalah harta yang tidak dimiliki, melainkan milik orang lain. Jadi jika seorang penjual semen memiliki stok semen 200 sak di tokonya, tetapi statusnya masih utang kepada pihak lain, maka itu belum terkena kewajiban zakat, sebab semen itu belum jadi miliknya. Kalau kemudian terjual semuanya Rp. 10.000.000,- dan ia hanya mendapatkan 20%: Rp. 2.000.000,- sebab yang Rp. 8.000.000,-nya dibayarkan kepada pabrik/agen, maka yang dizakati itu yang Rp. 2.000.000,-. Lain halnya kalau semen yang 200 sak itu sudah ia beli lunas dengan uang miliknya (bukan dari pinjaman), maka itu sudah menjadi hak miliknya. Maka harta yang dimiliki (modal dan keuntungan) dari kegiatan penjualan semen itu dikeluarkan zakatnya 2,5%.
Dalam kasus perdagangan yang rugi, misalkan modal awal yang dimiliki (bukan pinjaman) Rp. 100.000.000,- tetapi sesudah menjalankan usaha perdagangan selama satu tahun nilainya menyusut menjadi Rp. 55.000.000,-, maka yang dihitung zakatnya itu yang Rp. 55.000.000,- tersebut. Demikian halnya jika perdagangannya untung, misalkan modal awal yang dimiliki Rp. 100.000.000,- lalu berkembang menjadi Rp. 150.000.000,-, maka yang dihitung zakatnya yang Rp. 150.000.000,-.
Kaum muslimin tentu berhak memilih ijtihad ulama yang ada. Akan tetapi hemat kami ijtihad ulama jumhur lebih selamat karena lebih ihtiyathi dan menjamin semua harta yang dimiliki dikeluarkan zakatnya.
والله أعلم بالصواب
سبحان الله بحمده سبحان الله العظيم
[1] QS Al-Baqarah [2] : 267
[2] Fathul-Bari bab al-mannan bi ma a’tha. Al-Hafizh menulis:
وَلَمَّا لَمْ يَكُنْ عَلَى شَرْطِهِ اِقْتَصَرَ عَلَى الْإِشَارَةِ إِلَيْهِ
Karena tidak ada hadits yang memenuhi persyaratannya, maka ia membatasi dengan isyarat pada tema tersebut.
[3] Sunan Abi Dawud kitab az-zakat bab al-‘urudl idza kanat lit-tijarah hal fiha min zakat no. 1564; Sunan ad-Daraquthni bab zakat malit-tijarah no. 2027; as-Sunanul-Kubra lil-Baihaqi bab zakatit-tijarah no. 7597
[4] Sunan ad-Daraquthni bab zakat malit-tijarah no. 2027.
[5] At-Talkhishul-Habir bab zakatit-tijarah no. 861
[6] Mizanul-I’tidal no. rawi 1504: Ja’far ibn Sa’ad ibn Samurah
[7] Taqribut-Tahdzib
[8] Al-Majmu’ Syarhul-Muhadzdzab bab zakatit-tijarah.
[9] Standar rawi tsiqat menurut Ibn Hibban dalam kitabnya ini harus bebas dari lima faktor dla’if, yaitu: (1) Tidak meriwayatkan dari rawi dla’if di atasnya, (2) tidak meriwayatkan dari rawi dla’if di bawahnya, (3) khabar yang diriwayatkan tidak mursal, (4) khabar yang diriwayatkan tidak munqathi’, dan (5) tidak meriwayatkan dari rawi mudallis.
Ketiga rawi yang dikritik dalam hadits Samurah ibn Jundub di atas, ketiga-tiganya dikategorikan tsiqat oleh Ibn Hibban dalam kitabnya ini: Ja’far ibn Sa’ad ibn Samurah no. 7063, Khubaib ibn Sulaiman no. 7706, dan Sulaiman ibn Samurah no. 3076.
[10] Al-Istidzkar bab zakatil-‘arudl.
[11] Al-Badrul-Munir bab zakatit-tijarah no. 2
[12] Nuzhatun-Nazhar bab maratibul-jarh wat-ta’dil, hlm. 46.
[13] Musnad Ahmad bab hadits Abi Dzar no. 21557; Sunan ad-Daraquthni bab laisa fil-khadlrawat shadaqah no. no. 1932-1934; as-Sunanul-Kubra lil-Baihaqi bab zakatit-tijarah no. 7598-7602.
[14] Taqribut-Tahdzib.
[15] Ibid.
[16] At-Talkhishul-Habir bab zakatit-tijarah no. 860
[17] Subulus-Salam kitab az-zakat dan Mirqatul-Mafatih Syarh Misykatul-Mashabih no. 1811.
[18] Musnad as-Syafi’i bab zakatil-‘arudl no. 710, Mushannaf ‘Abdurrazzaq bab az-zakat minal-‘arudl no. 7099, Sunan ad-Daraquthni bab ta’jilis-shadaqah qablal-haul no. 2018. Al-Hafizh Ibn Hajar menguraikan panjang lebar sanad atsar ini dalam at-Talkhshul-Habir bab zakatit-tijarah tanpa memberikan kritik. Syu’aib al-Arnauth menilai sanad atsar ini hasan dalam ta’liq Sunan Abi Dawud.
[19] Syarah Musnad as-Syafi’i
[20] Ibid.
[21] As-Sunanul-Kubra lil-Baihaqi bab zakatit-tijarah no. 7605. Al-Hafizh Ibn Hajar menilai sanad atsar ini shahih dalam ad-Dirayah.
[22] Mushannaf ‘Abdurrazzaq bab az-zakat minal-‘arudl no. 7103. Al-Hafizh Ibn Hajar menilai sanad atsar ini shahih dalam ad-Dirayah.
[23] Muwaththa` Malik (tahqiq ‘Abdul-Baqi) bab zakatil-‘arudl no. 20.
[24] Mushannaf ‘Abdurrazzaq bab az-zakat minal-‘arudl no. 7104. Syu’aib al-Arnauth menilainya bisa dijadikan hujjah dalam Ta’liq Sunan Abi Dawud.
[25] Ibn Qudamah, Al-Mughni, bab zakatit-tijarah (kitab madzhab Hanbali).
[26] Muwaththa` Malik bab zakatil-‘arudl.
[27] Ibid.
[28] An-Nawawi, Raudlatut-Thalibin wa ‘Umdatul-Muftin, bab zakatit-tijarah (kitab madzhab Syafi’i).
[29] al-Kasani, Bada`i’us-Shana`i’ fi Tartibis-Syarai’, fasal as-syara`ithul-lati tarji’u ilal-mal (kitab ini merupakan kitab kompilasi dan sitematisasi dari kitab-kitab fiqih madzhab Hanafi).
[30] Syarhus-Sunnah bab zakatit-tijarah syarah hadits no. 1584.
[31] Wahbah az-Zuhaili, al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu, jilid 3, hlm. 223
[32] Sunan Abi Dawud kitab az-zakat bab fiz-zakat as-sa`imah no. 1575.
[33] Ahmad Hassan, Kumpulan Risalah A. Hassan, Bangil: Pustaka Elbina, 2005, hlm. 198-199.
[34] Yusuf al-Qaradlawi, Fiqhuz-Zakat, al-Maktabah as-Syamilah, jilid 1, hlm. 223.
[35] Kementerian Wakaf dan Agama Islam Kuwait, al-Mausu’atul-Fiqhiyyah al-Kuwaitiyyah, al-Maktabah as-Syamilah, juz 23, hlm. 272.
[36] Yusuf al-Qaradlawi, Fiqhuz-Zakat, al-Maktabah as-Syamilah, jilid 1, hlm. 226-227.
Sampai tulisan ini dibuat, harga 1 gram perak murni hanya Rp. 9.000,-, sementara 1 gram emas murni Rp. 600.000,-. Jika nishab perak hendak dipakai berarti ketika nilai barang dagangan dalam satu tahun Rp. 5.355.000,- (nishab 595 gram perak), sudah wajib zakat. Ini jelas masih di bawah standar upah minimun regional yang rata-rata sudah Rp. 3.000.000,- per bulan atau Rp. 36.000.000,- per tahun.
[37] Sunan Abi Dawud bab fiz-zakatis-sa`imah no. 157.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam at-Talkhishul-Habir menjelaskan bahwa sanad hadits ini tidak luput dari dla’if. Yang shahihnya hanya yang mauquf dari shahabat Ibn ‘Umar. Sementara Syaikh al-Albani dalam Irwa`il-Ghalil menguraikan panjang lebar sanad-sanadnya yang marfu’ dan mauquf, sehingga dla’ifnya sebagian sanad terbantu oleh sanad lainnya. Kesimpulannya hadits ini shahih. Adapun Syaikh Syu’aib al-Arnauth dalam Ta’liq Sunan Abi Dawud menguraikan hal yang sama, hanya kesimpulannya hadits ini hasan.
[38] Sunan at-Tirmidzi kitab az-zakat bab ma ja`a la zakata ‘alal-malil-mustafad no. 631-632.
Hadits ini diriwayatkan oleh Imam at-Tirmidzi dari Ibn ‘Umar secara marfu’ (dinyatakan sebagai sabda Nabi saw) dan mauquf (sebatas pernyataan Ibn ‘Umar). Hadits yang marfu’ dla’if karena ada rawi ‘Abdurrahman ibn Zaid ibn Aslam. Sementara yang mauquf shahih. Dikuatkan juga oleh atsar-atsar dari shahabat lainnya. Sehingga Imam Malik, as-Syafi’i, Ahmad ibn Hanbal, Ishaq ibn Rahawaih, dan lainnya menyatakan bahwa hadits ini bisa dijadikan hujjah.
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam kitab Talkhish menjelaskan bahwa atsar shahabat yang menguatkan hadits Ibn ‘Umar di atas adalah atsar Abu Bakar, ‘Aisyah dan ‘Ali radliyal-‘Llahu ‘anhum yang diriwayatkan al-Baihaqi. Sehingga beliau menyatakan: “Wal-atsar tu’adldliduhu fa yashluhu lil-hujjah; atsar-atsar tersebut menguatkannya sehingga bisa dijadikan hujjah.” (at-Talkhishul-Habir bab shadaqah al-khulatha` no. 821).
Imam as-Shan’ani menjelaskan, sebab memang pernyataan para shahabat terkait satu hukum syari’at tidak mungkin berasal dari ijtihad pribadi, melainkan pasti berdasarkan petunjuk Nabi saw (Subulus-Salam).
[39] Wawan Shofwan Shalehuddin, Risalah Zakat, Infak, dan Sedekah, Bandung: Tafakur, 2011, hlm. 58-60.