Beberapa artis yang hijrah kembali meramaikan wacana haramnya musik. Pesohor lainnya membantah dengan nada nyinyir. Bagaimana sikap yang tepat dan tidak terjebak salah satu kubu ekstrem dalam menyikapi hukum musik ini? 08575937xxxx
Tidak bisa dipungkiri memang ada dalil-dalil yang mengarah pada larangan musik/lagu. Akan tetapi sifatnya tidak muthlaq (berlaku umum) melainkan dibatasi oleh beberapa hal seperti memalingkan dari jalan Allah dan dzikrullah. Misalnya QS. as-Syu’ara` [26] : 224-226 menyebut bahwa penyair itu para penggemarnya adalah orang-orang yang sesat. Tetapi dalam ayat 227 sudah dikecualikan jika para penyair itu beriman, beramal shalih, banyak berdzikir, dan menggunakannya untuk membela Islam, maka ini justru dipuji oleh Allah swt. Atau QS. Luqman [31] : 6-7 yang menyebut musik sebagai lahwul-hadits; perkataan yang menghibur. Akan tetapi ayat tersebut mengkritik lahwul-hadits karena menjauhkan dari jalan Allah dan ayat-ayat-Nya. Jika tidak demikian artinya tidak apa-apa. Dalam QS. Yasin [36] : 69 disebutkan juga sya’ir/lagu itu sesuatu yang tidak pantas didengar. Tetapi itu dalam konteks yang menjauhkan dari al-Qur`an dan dzikir. Demikian juga hadits-hadits yang menyebut musik sebagai produk setan, berdekatan dengan judi, zina, dan minuman keras. Itu semua tentunya ditujukan pada musik-musik yang memang arahnya demikian.
Jika seandainya musik/lagu haram secara muthlaq tentunya Nabi saw sendiri tidak akan pernah mendengar atau menganjurkannya. Faktanya tidak demikian.
عَنْ عَائِشَةَ أَنَّهَا زَفَّتْ امْرَأَةً إِلَى رَجُلٍ مِنْ الْأَنْصَارِ فَقَالَ نَبِيُّ اللهِ ﷺ يَا عَائِشَةُ مَا كَانَ مَعَكُمْ لَهْوٌ فَإِنَّ الْأَنْصَارَ يُعْجِبُهُمْ اللَّهْوُ
Dari ‘Aisyah, bahwasanya ia mengantarkan pengantin wanita ke rumah lelaki orang Anshar. Nabi saw bertanya: “Wahai ‘Aisyah kenapa tidak ada hiburan? Orang Anshar itu kan sangat menyenangi hiburan.” (Shahih al-Bukhari kitab an-nikah no. 5162)
Dalam riwayat at-Thabrani, Nabi saw menganjurkan lebih jelas lagi:
فَهَلْ بَعَثْتُمْ مَعَهَا جَارِيَة تَضْرِب بِالدُّفِّ وَتُغَنِّي؟
Kenapa kalian tidak menyertakan wanita-wanita yang memukul alat musik dan bernyanyi? (al-Mu’jamul-Ausath no. 3265)
Hal yang sama pernah terjadi pada hari ‘Id:
عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ دَخَلَ أَبُو بَكْرٍ وَعِنْدِي جَارِيَتَانِ مِنْ جَوَارِي الْأَنْصَارِ تُغَنِّيَانِ بِمَا تَقَاوَلَتْ الْأَنْصَارُ يَوْمَ بُعَاثَ قَالَتْ وَلَيْسَتَا بِمُغَنِّيَتَيْنِ فَقَالَ أَبُو بَكْرٍ أَمَزَامِيرُ الشَّيْطَانِ فِي بَيْتِ رَسُولِ اللهِ ﷺ وَذَلِكَ فِي يَوْمِ عِيدٍ فَقَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَا أَبَا بَكْرٍ إِنَّ لِكُلِّ قَوْمٍ عِيدًا وَهَذَا عِيدُنَا
‘Aisyah berkata: “Abu Bakar masuk ke rumahku sewaktu ada dua orang hamba sahaya Anshar di sisiku sedang menyanyikan lagu-lagu yang biasa dinyanyikan oleh orang-orang Anshar pada hari Bu’ats.” ‘Aisyah menegaskan: “Dan mereka berdua bukanlah penyanyi mahir.” Lalu Abu Bakar datang dan berkata: “Layakkah seruling-seruling setan ditiup di rumah Rasulullah?” Saat itu sedang hari raya. Maka Rasulullah saw pun menjawab: “Wahai Abu Bakar, sesungguhnya setiap kaum itu mempunyai hari raya, dan ini adalah hari raya kita.” (Shahih al-Bukhari bab sunnatil-‘idain li ahlil-Islam no. 952).
Hadits-hadits ini tidak membatasi bahwa musik hanya boleh pada hari raya atau ketika walimah, sebab memang Nabi saw sendiri tidak membatasi demikian. Hadits ini justru menjadi contoh bahwa pada moment-moment bahagia boleh didendangkan musik. Tentunya musik yang tidak menjurus pada larangan-larangan yang sudah disinggung di atas; menjauhkan dari jalan Allah, dzikrullah, mendekatkan pada zina, judi, minuman keras, dan kemaksiatan lainnya. Dan sebagaimana disinggung dalam ayat-ayat di atas, tidak malah menjadi lebih sering bermain/mendengarkan musik daripada membaca dan mengkaji ayat-ayat al-Qur`an.