Kebangsaan

Jangan Lupakan Kekejaman Komunis

Ideologi ini belum sepenuhnya hilang. Di kalangan anak-anak muda yang bodoh sejarah mereka menilai bahwa komunisme itu adalah ideologi pembebasan dan keadilan, sehingga mereka tidak malu untuk mempelajari dan menyebarkannya meski di kalangan terbatas. Di kalangan politisi pengagum gagasan Nasakom (nasionalis, agama, komunis) yang pernah digaungkan sebelum masa Soeharto, dalih kebebasan berpendapat dan hak hidup seringkali diutarakan untuk membela para penganjur komunis.

Taufiq Ismail, seorang budayawan ternama di Indonesia, menulis beberapa buku kecil untuk mengingatkan bahaya komunisme ketika dilupakan oleh sejarah. Buku-buku yang diterbitkan dalam satu bunga rampai oleh penerbit Republika tersebut berjudul: Sesudah 50 Tahun Gagalnya Kudeta PKI (1965-2015); Dimulai dengan Api Semoga Berakhir dengan Air dan Matine Gusti Allah; Riwayat Palu Arit Sedunia Menajiskan Tuhan dan Agama.
Ideologi komunisme merujuk Manifesto Komunis (1848) yang ditulis oleh dua anak muda pada masanya, Karl Marx (30 tahun) dan Friedrich Engels (28). Gagasan mereka kemudian dilanjutkan dalam aksi oleh Vladimir Lenin (1870-1924) dan Josef Stalin (1879-1953) di Uni Soviet (sekarang Rusia); Mao Tse Tung (1893-1976) di Cina; Josip Bronz Tito (1892-1980) di Yugoslavia; Ho Chi Minh (1890-1969) di Vietnam; Fidel Castro (1926) di Kuba; Moeso (1897-1948) dan D.N. Aidit (1923-1965) di Indonesia; Pol Pot (1925-1998) di Kamboja; dan satu batalion komandan partai yang tersebar di 90 negara seluruh dunia.
Tujuan utama Komunisme adalah merebut kekuasaan dengan kekerasan dan berdarah. Itu tercantum jelas dalam Manifesto Komunis yang sering ditutup-tutupi oleh para pengagumnya. Sebelum melakukan kudeta, barang dagangan yang dijajakan Komunis adalah mendukung demokrasi, memperjuangkan nasib buruh dan petani, menghormati kebebasan berpendapat, sama rata sama rasa, tidak anti agama, dan pembela Hak Asasi Manusia. Khusus untuk PKI (Partai Komunis Indonesia) mereka bersandiwara mendukung Soekarno dan gagasan Nasakom. Akan tetapi fakta sejarahnya mereka kemudian melakukan kekejaman yang sadis setelah mendapatkan kepercayaan dari pengikutnya.
Klaim mereka mendukung demokrasi, nyatanya tidak ada pemilihan umum bebas rahasia di negara sosialis-komunis. Memang betul ada pemilu, tapi hanya diikuti satu partai yaitu Partai Komunis secara tunggal. Kalaupun ada partai lainnya hanya sebagai pelengkap dan tidak boleh memiliki suara mayoritas.
Di negeri sosialis-komunis buruh dilarang mogok. Mereka lebih kejam daripada kapitalisme karena menindas buruh dan melarang mogok. Sebelum kudeta petani dijanjikan akan diberi tanah. Di Rusia, tanah petani kulak malah dirampas. Enam juta petani kulak dibantai oleh Stalin karena dianggap borjuis.
Menghormati kebebasan hanya berlaku jika mereka belum merebut kekuasaan. Di negara-negara non-komunis, partai komunis dengan seluruh onderbouw-nya menjadi kampiun kebebasan berpendapat dan berteriak setinggi awan bila mereka dibatasi. Tetapi bila kudeta sukses, hak kebebasan berpendapat bagi lawan-lawannya dicabut. Di negeri sosialis-komunis, partai lain boleh ada, tetapi mereka bermukim di penjara.
Semboyan sama rata sama rasa yang selalu didengung-dengungkan sebelum mereka berkuasa ternyata dusta besar pula. Faktanya rakyat kecil yang kurang pangan antri panjang memegang mangkuk sup panas di musim salju, sementara pimpinan partai berbelanja leluasa bisa membeli segala macam barang konsumsi di toko khusus. Ketika rakyat kecil berdesak-desakan tinggal di flat sempit, tokoh-tokoh partai mendapatkan villa dan bungalow ekstra untuk liburan di luar kota.
Klaim tidak anti-agama adalah dusta terbesar Komunis. Lenin sendiri menginstruksikan: “Kita harus memerangi agama.” Lenin membunuh 28 Uskup, 1.200 pendeta, dan 800.000 kaum muslimin. Mereka meruntuhkan 9.000 gereja dan 30.000 masjid. Di Uni Soviet gereja habis 90%-nya sementara masjid 99%.
Pengakuan mereka bahwa mereka kampiun HAM sungguh tidak bermalu. Selama 74 tahun (1917-1991) untuk mencapai tujuannya Komunis membantai 120.000.000,- manusia di 76 negara, hampir tiga kali lipat korban perang selama dunia ada. Marxis-Leninis adalah penginjak HAM terbengis dalam sejarah umat manusia.
Prof. R.J. Rummel dari Universitas Hawaii yang meneliti selama 8 tahun memberikan perincian korban kebiadaban komunis. Rezim komunis telah berani melakukan democide; pembantaian rakyat sendiri. Uni Soviet telah membantai 61.000.000,- orang. 43.000.000 di antaranya dibantai di masa Stalin. Terbanyak dari korban tersebut, sekitar 39.000.000,- karena kerja paksa. Rezim Cina dari 1949 sampai 1987 telah membunuh lebih dari 1.000.000 warganya. Di antara yang terkenal adalah demonstran mahasiswa sebanyak 3.000 orang yang dibantai langsung di lapangan Tiananmen. Pol Pot di Kamboja telah membantai 2.000.000 rakyatnya sejak April 1975 sampai 1978.
Ingatan serupa tidak bisa dihilangkan dari memori rakyat Indonesia akan kekejaman PKI. Baik pada kudeta tahun 1948 di Madiun-Magetan ataupun 30 September 1965 di Jakarta, PKI berani membantai para ulama dan bahkan jendral-jendral TNI demi memuluskan kudeta kekuasaan melalui kekerasan.
Selebihnya dari itu korban puluhan juta rakyat tak berdosa diakibatkan wabah kelaparan yang menimpa negara-negara komunis, seperti di Uni Soviet sebanyak 12.000.000 antara tahun 1921-1923 dan 1932-1933 dan di Cina sebanyak 27.000.000,- antara 1959-1961.
Kegagalan komunisme sebagai ideologi diumumkan sendiri oleh Boris Yeltsin, Presiden Uni Soviet pada tanggal 26 Desember 1991. Ia membubarkan sendiri Partai Komunis Rusia. Ia tidak bisa menutupi kegagalan komunisme yang tidak sanggup memenuhi janji-janji muluknya, tidak mampu menyelesaikan masalah politik, ekonomi, pendidikan, social, dan budaya di seluruh dunia.
Tetapi Partai Komunis Cina cerdik banting stir mengambil jalan kapitalisme. Partai Komunis Cina secara politik masih mencengkeramkan kekuasannya dan tidak mau berbagi dengan partai lain, meski secara ekonomi sudah beralih menjadi kapitalisme. Walaupun ideologinya sudah rusak, namun papan nama merk negara komunis tetap mereka pakai. Mulai dari itu Cina menjadi negara yang makmur.
Di belakangnya mengikut Vietnam. Setelah dibombardir oleh Amerika yang membunuh 2,6 juta rakyat Vietnam, penguasanya berbelot dari Marxisme-Leninisme mengambil jalan tol kapitalisme.
Sementara itu komunis Kuba dan Korea Utara tetap setia dengan ideologi mereka, akibatnya rakyat mereka tetap merangkak, merayap, melarat, sengsara, dan terlunta-lunta.
Dalam analisa Anthony Budiawan (Managing Director Political Economy and Policy Studies/PEPS) sebagaimana dilansir Republika, 2/10/2020, kegagalan komunisme berawal dari antitesa ekstrim terhadap kapitalisme. Ketika kapitalisme menguntungkan kaum pemilik modal (kapitalis) dan menyengsarakan kaum buruh (proletar) maka Karl Marx menggagas satu ide masyarakat tanpa kelas. Menurut Marx, kaum buruh lambat laun akan melawan ketidakadilan ini dan memenangkan perjuangannya. Ketika itu terjadi maka tatanan masyarakat di dunia hanya terdiri dari satu (strata) kelas saja. Ini yang dimaksud oleh Marx dengan komunisme yang dituangkan dalam karyanya The Communist Manifesto (1848).
Untuk mencapai tujuan ini Karl Marx menganjurkan untuk tidak segan menyingkirkan semua pihak yang akan menghalangi ide masyarakat satu kelas ini. Maka dari itu sejarah perjuangan komunis selalu berdarah-darah. Tujuan komunisme tersebut hanya bisa berhasil melalui pemaksaaan dan kekuasaan mutlak yang akhirnya menuju tirani. Pihak yang tidak setuju akan disingkirkan secara permanen. Tidak ada demokrasi. Tidak ada perbedaan pendapat. Sebagai contoh, konversi kepemilikan lahan pertanian menjadi milik kolektif (negara) di berbagai negara komunis harus dilakukan melalui tangan besi, yang mengorbankan puluhan juta jiwa rakyat karena menentang.
Sejarah menunjukkan ideologi komunisme gagal membangun ekonomi, dan gagal mencapai negara sosialis yang sejahtera tanpa kelas. Ekonomi Uni Soviet dan Cina terpuruk. RRC (Republik Rakyat Cina) melakukan reformasi ekonomi pada 1978 dengan mengadopsi sistem kapitalisme pasar. Uni Soviet runtuh. Rusia meninggalkan sistem ekonomi komunisme, dan juga mengadopsi sistem kapitalisme pasar. Artinya, ideologi komunisme gagal total menciptakan masyarakat tanpa kelas. Meski demikian, partai komunis tetap dipertahankan sebagai penguasa tunggal. Bukan lagi untuk kepentingan masyarakat, tapi demi kepentingan pemerintahan tirani.
Islam mengajarkan bahwa kepemilikan rakyat atas hartanya adalah hak yang harus dilindungi. Orang kaya dengan kekayaannya dan orang miskin dengan keterbatasannya. Negara tidak perlu mengambil alih pengelolaan kekayaan secara tirani, melainkan cukup dengan menjalankan fungsi zakat, infaq, shadaqah, wakaf, termasuk pajak yang adil agar kesenjangan tidak semakin besar. Wal-‘Llahu a’lam

Related Articles

Check Also
Close
Back to top button