Perempuan Berhak Menolak Poligami

Isu poligami akan selalu hangat di sepanjang masanya. Hal itu karena dua kubu pro dan kontra seringkali terjebak ke kutub ekstrem. Akibat dalih sunnah, kaum istri sering dituduh oleh kubu pro-poligami sebagai zhalim, fasiq, bahkan kafir karena menolak hukum Allah swt. Akibat dalih keadilan kubu kontra juga berani menilai syari’at poligami harus dihapuskan karena pasti tidak adil.


Sejatinya poligami adalah syari’at Islam yang statusnya mubah. Tidak jatuh pada sunat ataupun wajib. Tidak ada dalil yang menyatakan bahwa yang poligami lebih baik daripada yang tidak poligami, apalagi sampai memerintahkan poligami untuk diamalkan, tidak ada sama sekali. Ayat al-Qur`an yang membolehkannya sebatas memberikan pilihan antara poligami atau monogami; kedua-duanya dipersilahkan, tidak ada yang diistimewakan. Poligami pun dipersilahkan jika memang dibutuhkan daripada menikahi anak yatim perempuan yang rentan dengan perbuatan tidak adilnya. Pada umumnya di zaman ayat al-Qur`an turun, poligami kepada anak yatim perempuan itu agar tidak memberikan mahar dan atau bisa menikmati harta warisnya dengan leluasa. Maka dari itu dianjurkan untuk poligami kepada selain anak yatim.

وَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تُقۡسِطُواْ فِي ٱلۡيَتَٰمَىٰ فَٱنكِحُواْ مَا طَابَ لَكُم مِّنَ ٱلنِّسَآءِ مَثۡنَىٰ وَثُلَٰثَ وَرُبَٰعَۖ فَإِنۡ خِفۡتُمۡ أَلَّا تَعۡدِلُواْ فَوَٰحِدَةً أَوۡ مَا مَلَكَتۡ أَيۡمَٰنُكُمۡۚ ذَٰلِكَ أَدۡنَىٰٓ أَلَّا تَعُولُواْ

Dan jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yang yatim (bilamana kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berlaku adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya (QS. An-Nisa` [4] : 3).
Dalam ayat-ayat berikutnya masih di surat an-Nisa`, Allah swt menggugah kaum perempuan dan lelaki untuk sama-sama mengedepankan adab dalam menyikapi poligami. Perempuan harus rela duduk bersama dengan suami dan melakukan perundingan dengan damai tanpa gaduh ketika mulai melihat gelagat puber kedua dari suami. Hal yang sama juga berlaku bagi suami. Masing-masing suami dan istri harus rela menanggalkan sifat pelit dan rakusnya agar perundingan menghasilkan kesepakatan yang baik.

وَإِنِ ٱمۡرَأَةٌ خَافَتۡ مِنۢ بَعۡلِهَا نُشُوزًا أَوۡ إِعۡرَاضٗا فَلَا جُنَاحَ عَلَيۡهِمَآ أَن يُصۡلِحَا بَيۡنَهُمَا صُلۡحٗاۚ وَٱلصُّلۡحُ خَيۡرٞۗ وَأُحۡضِرَتِ ٱلۡأَنفُسُ ٱلشُّحَّۚ وَإِن تُحۡسِنُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ بِمَا تَعۡمَلُونَ خَبِيرٗا  ١٢٨

Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (QS. an-Nisa` [4] : 128).
Jika keputusannya poligami tetap akan dijalankan, maka suami harus benar-benar mampu adil secara lahir, meski secara batin mustahil diwujudkan. Tidak boleh berat sebelah kepada salah satunya sehingga mengabaikan istri lainnya.

وَلَن تَسۡتَطِيعُوٓاْ أَن تَعۡدِلُواْ بَيۡنَ ٱلنِّسَآءِ وَلَوۡ حَرَصۡتُمۡۖ فَلَا تَمِيلُواْ كُلَّ ٱلۡمَيۡلِ فَتَذَرُوهَا كَٱلۡمُعَلَّقَةِۚ وَإِن تُصۡلِحُواْ وَتَتَّقُواْ فَإِنَّ ٱللَّهَ كَانَ غَفُورٗا رَّحِيمٗا  ١٢٩

Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (QS. an-Nisa` [4] : 129).
Kalaupun keputusannya suami istri memilih jalan bercerai, maka jika semuanya ditempuh dengan baik, Allah swt pasti akan memberikan anugerah-Nya kepada masing-masing pihak karena telah menempuh proses dengan baik.

وَإِن يَتَفَرَّقَا يُغۡنِ ٱللَّهُ كُلّٗا مِّن سَعَتِهِۦۚ وَكَانَ ٱللَّهُ وَٰسِعًا حَكِيمٗا  ١٣٠

Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana (QS. an-Nisa` [4] : 130).
Ayat-ayat di atas sama sekali tidak memaksa agar perempuan menerima keinginan suaminya poligami. Jika memang tidak berkenan dan buntu, perempuan berhak untuk memilih cerai. Ini menguatkan kedudukan hukum poligami sebagai mubah. Boleh diterima, boleh juga ditolak.
Fathimah ra dan Nabi saw sendiri pun dalam hadits diriwayatkan pernah menolak rencana ‘Ali ibn Abi Thalib ra untuk poligami. Artinya perempuan berhak menolak rencana poligami suaminya, demikian juga ayah istri berhak untuk menolak rencana poligami menantunya. Yang seperti ini tidak dikategorikan menolak syari’at Allah swt atau mengharamkan yang halal, karena sesuatu yang mubah boleh diterima dan boleh juga ditolak. Jika kedua pihak tetap dalam pendiriannya berarti secara sadar memilih perceraian, dan itu dibenarkan oleh Allah swt sebagaimana disinggung dalam ayat 130 surat an-Nisa` di atas. Demikian juga dalam pilihan yang Nabi saw ajukan kepada ‘Ali; memilih tetap dengan Fathimah atau ceraikan Fathimah dan silahkan menikahi putri Abu Jahal.

عن الْمِسْوَرِ بْنِ مَخْرَمَةَ قَالَ إِنَّ عَلِيًّا خَطَبَ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ فَسَمِعَتْ بِذَلِكَ فَاطِمَةُ فَأَتَتْ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ فَقَالَتْ يَزْعُمُ قَوْمُكَ أَنَّكَ لَا تَغْضَبُ لِبَنَاتِكَ وَهَذَا عَلِيٌّ نَاكِحٌ بِنْتَ أَبِي جَهْلٍ فَقَامَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ فَسَمِعْتُهُ حِينَ تَشَهَّدَ يَقُولُ أَمَّا بَعْدُ أَنْكَحْتُ أَبَا الْعَاصِ بْنَ الرَّبِيعِ فَحَدَّثَنِي وَصَدَقَنِي وَإِنَّ فَاطِمَةَ بَضْعَةٌ مِنِّي وَإِنِّي أَكْرَهُ أَنْ يَسُوءَهَا وَاللَّهِ لَا تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ عِنْدَ رَجُلٍ وَاحِدٍ فَتَرَكَ عَلِيٌّ الْخِطْبَةَ

Dari al-Miswar ibn Makhramah ra ia berkata: Sungguh ‘Ali pernah mengkhithbah putri Abu Jahal. Fathimah kemudian mendengar hal tersebut. Ia lalu datang kepada Rasulullah saw dan berkata: “Kaum anda mengira bahwa anda tidak akan marah karena urusan putri-putri anda. Ini ‘Ali akan menikahi putri Abu Jahal.” Rasulullah saw lalu berdiri dan aku mendengarnya setelah syahadat (khutbah) bersabda: “Amma ba’du. Aku dulu memang menikahkan Abul-‘Ash ibn as-Rabi’ (kepada putrinya, Zainab). Ia berjanji kepadaku dan menepati janjinya (untuk mengirimkan Zainab ke Madinah dari Makkah, ketika Abul-‘Ash masih kafir dan sebagai persyaratan bebas dari statusnya sebagai tawanan perang Badar. Demikian juga setelah masuk Islam dan kemudian berumah tangga dengan baik bersama Zainab). Sungguh Fathimah bagian dariku. Aku benci hal yang akan menyusahkannya. Demi Allah tidak boleh bersatu putri Rasulullah saw dan putri musuh Allah pada seorang lelaki.” ‘Ali kemudian membatalkan khithbahnya (Shahih al-Bukhari bab dzikr ashharin-Nabi saw no. 3729)
Dalam riwayat lain Nabi saw bersabda:

إِنَّ بَنِى هِشَامِ بْنِ الْمُغِيرَةِ اسْتَأْذَنُونِى أَنْ يُنْكِحُوا ابْنَتَهُمْ عَلِىَّ بْنَ أَبِى طَالِبٍ فَلاَ آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لاَ آذَنُ لَهُمْ ثُمَّ لاَ آذَنُ لَهُمْ إِلاَّ أَنْ يُحِبَّ ابْنُ أَبِى طَالِبٍ أَنْ يُطَلِّقَ ابْنَتِى وَيَنْكِحَ ابْنَتَهُمْ فَإِنَّمَا ابْنَتِى بَضْعَةٌ مِنِّى يَرِيبُنِى مَا رَابَهَا وَيُؤْذِينِى مَا آذَاهَا

Sesungguhnya Bani Hisyam ibn al-Mughirah (keluarga Abu Jahal) meminta izin kepadaku untuk menikahkan putri mereka dengan ‘Ali ibn Abi Thalib. Aku tidak akan mengizinkan. Aku tidak akan mengizinkan. Aku tidak akan mengizinkan. Kecuali jika putra Abu Thalib (‘Ali) menceraikan putriku dan menikah dengan putri mereka. Sungguh putriku adalah bagian dariku. Akan membuatku gelisah apa yang membuatnya gelisah. Dan akan menyakitiku apa yang menyakitinya (Shahih Muslim bab fadla`il Fathimah bintin-Nabi saw no. 6460).

إِنَّ فَاطِمَةَ مِنِّى وَإِنِّى أَتَخَوَّفُ أَنْ تُفْتَنَ فِى دِينِهَا

Sesungguhnya Fathimah bagian dariku. Aku takut ia terkena fitnah dalam agamanya (Shahih Muslim bab fadla`il Fathimah bintin-Nabi saw no. 6462).

وَإِنِّى لَسْتُ أُحَرِّمُ حَلاَلاً وَلاَ أُحِلُّ حَرَامًا وَلَكِنْ وَاللَّهِ لاَ تَجْتَمِعُ بِنْتُ رَسُولِ اللَّهِ وَبِنْتُ عَدُوِّ اللَّهِ مَكَانًا وَاحِدًا أَبَدًا

Aku tidak mengahramkan yang halal dan tidak juga menghalalkan yang haram. Tetapi demi Allah, tidak boleh bersatu putri Rasulullah dengan putri musuh Allah dalam satu tempat selama-lamanya (Shahih Muslim bab fadla`il Fathimah bintin-Nabi saw no. 6462).