Tidak Semua Bid’ah Masuk Neraka
Bismillah, Ustadz mau tanya apakah acara tahlilan, muludan, dan lain-lain itu bid’ah? Sedangkan tiap-tiap bid’ah itu sesat dan di neraka. Apakah otomatis yang mengamalkannya sesat dan di neraka? 0813-1329-xxxx
Satu kalimat yang umum dalam dalil tidak otomatis bermakna umum juga. Jika ada pengecualian pada dalil yang lain maka maknanya harus dengan pengecualian juga. Sebagai contoh hadits yang memerintahkan menyebarkan salam kepada yang dikenal atau tidak dikenal, maka tentu dikecualikan untuk orang kafir sebagaimana disinggung dalam hadits lainnya. Perintah Nabi saw untuk menjawab adzan sebagaimana halnya bacaan muadzdzin, maka tentu dikecualikan untuk lafazh hayya ‘alas-shalat/falah yang harus dijawab dengan la haula wa la quwwata illa bil-‘Llah sebagaimana disebutkan dalam dalil lainnya.
Demikian halnya sabda Nabi saw: “Setiap bid’ah adalah sesat”, harus dipahami ada pengecualian untuk bid’ah yang disebabkan perbedaan ijtihad. Makna ijtihad itu sendiri sudah jelas, yakni usaha ilmiah dari seorang atau beberapa ulama. Bid’ah yang dasarnya ijtihad tidak ada ancaman neraka, melainkan hanya pahala, tetapi beda besar dan kecilnya saja. Ini didasarkan pada sabda Nabi saw lainnya:
إِذَا حَكَمَ الْحَاكِمُ فَاجْتَهَدَ فَأَصَابَ فَلَهُ أَجْرَانِ، وَإِذَا حَكَمَ فَأَخْطَأَ فَلَهُ أَجْرٌ وَاحِدٌ
Apabila seorang hakim memutuskan perkara dan ia berijtihad, maka jika ia benar dapat dua pahala, dan jika ia memutuskan keliru maka dapat satu pahala (Sunan at-Tirmidzi kitab al-ahkam bab al-qadli yushibu wa yukhthi`u no. 1326).
Tahlilan dan muludan termasuk ke dalam kategori bid’ah yang disebabkan perbedaan ijtihad. Bagi kami tidak ada dalil dan alasan apapun untuk membenarkan tahlilan dan muludan. Keduanya jelas merupakan bid’ah yang harus dijauhi karena tidak ada tuntunan sunnahnya. Akan tetapi bagi para ulama madzhab Syafi’i muludan itu salah satu ibadah baru yang baik, masuk kategori bid’ah hasanah. Mereka menolak bid’ah jika tidak ada dasar dalilnya sama sekali. Jika seperti muludan ada dasar dalil umumnya, yakni tentang ajaran mencintai Nabi saw, maka ini bagi mereka termasuk bid’ah yang baik. Alasan yang sama tidak jauh berbeda diberlakukan pada tahlilan.
Itu berarti bahwa hadits “semua bid’ah sesat” dan “semua yang sesat masuk neraka” tidak boleh diberlakukan untuk tahlilan, muludan, dan kasus-kasus bid’ah yang ikhtilaf di kalangan ulama berdasarkan ijtihad masing-masingnya. Hadits itu silahkan boleh diberlakukan untuk bid’ah yang diamalkan oleh Syi’ah, Ahmadiyah, dan sekte-sekte sesat lainnya.
Meski demikian, tidak juga berarti bahwa muludan dan tahlilan itu boleh diamalkan dengan alasan siapa tahu mendapatkan satu pahala akibat ijtihad yang keliru. Nabi saw sudah mengajarkan bahwa perkara yang diikhtilafkan antara haram (bid’ah) dan halal (menurut yang bermadzhab bid’ah hasanah) termasuk syubhat. Syubhat wajib dijauhi demi menjaga hati dan keimanan, karena rentan terjerumus pada hal yang haram. Dengan tegas Nabi saw menyatakan bahwa siapa yang bersentuhan dengan perkara syubhat pasti ia bersentuhan dengan yang haram.
إِنَّ الْحَلاَلَ بَيِّنٌ وَ إِنَّ الْحَرَامَ بَيِّنٌ وَبَيْنَهُمَا مُشْتَبِهَاتٌ لاَيَعْلَمُهُنَّ كَثِيْرٌ مِنَ النَّاسِ فَمَنِ اتَّقَى الشُّبُهَاتِ فَقَدِ اسْتَبْرَأَ لِدِيْنِهِ وَ عِرْضِهِ وَ مَنْ وَقَعَ فِي الشُّبُهَاتِ وَقَعَ فِي الْحَرَامِ
Sesungguhnya yang halal itu jelas dan yang haram itu jelas, sedang di antara keduanya adalah yang syubhat (meragukan). Tidak mengetahuinya kebanyakan orang-orang. Maka siapa yang berlindung dari perkara yang syubhat, sesungguhnya ia telah menjaga kesucian agama dan kehormatannya. Tetapi siapa yang kena pada perkara yang syubhat, maka ia telah kena pada perkara yang haram (Shahih al-Bukhari kitab al-iman bab fadli man istabra`a li dinihi no. 52).