Sabar Tiada Batas
Seringkali terdengar ketus dari orang-orang yang tidak sabar bahwa sabar juga ada batasnya. Atau keluhan dari mereka yang tidak kuat sabar; harus sampai kapan mereka sabar. Allah swt mengajarkan bahwa batas sabar sampai meninggal dunia, dan itu artinya tidak ada batas. Nabi saw dan para shahabat sekalipun banyak yang wafat dalam keadaan miskin. Para pejuang kemerdekaan Indonesia pun banyak yang gugur tanpa pernah merasakan kemerdekaan yang mereka perjuangkan. Dalam hal inilah justru sabar menjadi alat ukur keimanan.
أَتَيْتُ النَّبِيَّ ﷺ وَهُوَ مُتَوَسِّدٌ بُرْدَةً وَهُوَ فِي ظِلِّ الْكَعْبَةِ وَقَدْ لَقِينَا مِنْ الْمُشْرِكِينَ شِدَّةً فَقُلْتُ يَا رَسُولَ اللَّهِ أَلَا تَدْعُو اللَّهَ فَقَعَدَ وَهُوَ مُحْمَرٌّ وَجْهُهُ فَقَالَ لَقَدْ كَانَ مَنْ قَبْلَكُمْ لَيُمْشَطُ بِمِشَاطِ الْحَدِيدِ مَا دُونَ عِظَامِهِ مِنْ لَحْمٍ أَوْ عَصَبٍ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَيُوضَعُ الْمِنْشَارُ عَلَى مَفْرِقِ رَأْسِهِ فَيُشَقُّ بِاثْنَيْنِ مَا يَصْرِفُهُ ذَلِكَ عَنْ دِينِهِ وَلَيُتِمَّنَّ اللَّهُ هَذَا الْأَمْرَ حَتَّى يَسِيرَ الرَّاكِبُ مِنْ صَنْعَاءَ إِلَى حَضْرَمَوْتَ مَا يَخَافُ إِلَّا اللَّهَ
Aku datang menemui Nabi saw ketika beliau berbantalkan kain selendang di balik bayang-bayang Ka’bah. Saat itu kami sudah benar-benar menderita akibat penyiksaan orang-orang Musyrik. Aku berkata: “Wahai Rasulullah, tidakkah anda berdo’a kepada Allah!?” Beliau langsung duduk dan memerah wajahnya, lalu bersabda: “Sungguh orang-orang sebelum kalian ada yang ditusuk oleh garpu tala besi sampai menembus daging dan urat hingga tulang, tetapi hal itu tidak memalingkannya dari agamanya. Ada juga yang ditaruh gergaji di atas belahan rambut kepalanya lalu dipotong menjadi dua, tetapi hal itu tidak memalingkannya dari agamanya. Sungguh Allah pasti akan menyempurnakan agama ini sehingga seseorang yang menempuh perjalanan dari Shan’a ke Hadlramaut (jarak perjalanan 5 hari pada masa Nabi saw) tidak ada yang ia takuti kecuali Allah.” (Shahih al-Bukhari bab ma laqiyan-Nabiy saw wa ashhabuhu minal-Musyrikin bi Makkah no. 3852).
Janji Nabi saw tersebut kebetulan dirasakan sendiri oleh Khabbab ra di masa sesudah Nabi saw, tetapi tidak dirasakan oleh shahabat-shahabat yang wafat di masa Nabi saw, karena secara umum masyarakat saat itu masih hidup dalam kesulitan. Khabbab ra menceritakan:
قَالَ أَبو وَائِلٍ عُدْنَا خَبَّابًا فَقَالَ هَاجَرْنَا مَعَ النَّبِيِّ ﷺ نُرِيدُ وَجْهَ اللهِ فَوَقَعَ أَجْرُنَا عَلَى اللهِ فَمِنَّا مَنْ مَضَى لَمْ يَأْخُذْ مِنْ أَجْرِهِ مِنْهُمْ مُصْعَبُ بْنُ عُمَيْرٍ قُتِلَ يَوْمَ أُحُدٍ وَتَرَكَ نَمِرَةً فَإِذَا غَطَّيْنَا رَأْسَهُ بَدَتْ رِجْلَاهُ وَإِذَا غَطَّيْنَا رِجْلَيْهِ بَدَا رَأْسُهُ فَأَمَرَنَا النَّبِيُّ ﷺ أَنْ نُغَطِّيَ رَأْسَهُ وَنَجْعَلَ عَلَى رِجْلَيْهِ شَيْئًا مِنْ الْإِذْخِرِ وَمِنَّا مَنْ أَيْنَعَتْ لَهُ ثَمَرَتُهُ فَهُوَ يَهْدِبُهَا
Abu Wa`il berkata: Kami menjenguk Khabbab (ketika ia sakit), lalu ia bercerita: “Kami dahulu hijrah bersama Nabi saw meniatkan keridlaan Allah. Maka pahala kami terserah kepada Allah. Di antara kami ada yang meninggal dunia tanpa pernah mengambil pahalanya, di antaranya Mush’ab ibn ‘Umair. Ia terbunuh pada perang Uhud dan hanya meninggalkan satu helai pakaian dari kulit binatang yang dijahit. Jika kami menutup kepalanya, kedua kakinya tidak tertutup. Jika kami menutup kedua kakinya, kepalanya tidak tertutup. Maka Nabi saw memerintahkan kami untuk menutup kepalanya dan menutup kedua kakinya dengan dedaunan. Ada juga di antara kami yang matang buahnya lalu ia memetiknya.” (Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab fadllil-faqri no. 6448).
Di antara yang memetik buahnya itu adalah Khabbab sendiri dan kaum muslimin di masa akhir hidupnya. Sebagaimana dinyatakan Abu Wa`il dalam riwayat lain, Khabbab ra sedih karena hartanya terlalu banyak menjelang wafatnya. Ia takut kenikmatannya kelak di akhirat berkurang akibat kekayaannya yang banyak, maka dari itu ia iri kepada shahabat yang wafat dalam kemiskinan karena kenikmatannya di akhirat pasti akan sempurna. Padahal Khabbab tidak pernah berhenti bershadaqah dan memberi orang yang meminta, tetapi memang saat itu kaum muslimin sudah menjadi orang-orang kaya. Khabbab sendiri sampai punya simpanan uang 80.000 dirham (+ 25,2 miliar) menjelang wafatnya (Hilyatul-Auliya bab Khabbab ibn al-Arat 1 : 145). Tetapi memang itu bagi shahabat yang kebetulan masih hidup sesudah masa Nabi saw. Adapun para shahabat yang wafat di masa Nabi saw, mayoritas mereka wafat dalam keadaan sulit. Jadi untuk mereka sabar itu sampai meninggal dunia.
Tentang hidup Nabi saw sendiri dijelaskan oleh ‘Aisyah ra dan Abu Hurairah ra sangat sederhana. Jika hendak diukurkan pada zaman sekarang, Nabi saw hidup dalam keadaan sulit sampai wafatnya, tetapi itu tidak mengurangi sedikit pun keyakinannya kepada Allah swt:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ مَا شَبِعَ آلُ مُحَمَّدٍ ﷺ مُنْذُ قَدِمَ الْمَدِينَةَ مِنْ طَعَامِ الْبُرِّ ثَلَاثَ لَيَالٍ تِبَاعًا حَتَّى قُبِضَ
Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: “Keluarga Muhammad saw tidak pernah kenyang dari gandum halus selama tiga malam berturut-turut sejak tiba di Madinah hingga beliau wafat.” (Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab kaifa kana ‘aisyun-Nabiy saw wa ashhabuhu no. 6454).
عَنْ سَعِيدٍ الْمَقْبُرِيِّ عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّهُ مَرَّ بِقَوْمٍ بَيْنَ أَيْدِيهِمْ شَاةٌ مَصْلِيَّةٌ فَدَعَوْهُ فَأَبَى أَنْ يَأْكُلَ وَقَالَ خَرَجَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ مِنْ الدُّنْيَا وَلَمْ يَشْبَعْ مِنْ خُبْزِ الشَّعِيرِ
Dari Sa’id al-Maqburi, dari Abu Hurairah ra, bahwasanya ia pernah lewat ke sekumpulan orang-orang yang hendak makan kambing bakar. Mereka pun mengajak Abu Hurairah untuk ikut makan, tetapi ia tidak mau dan malah berkata: “Rasulullah saw meninggalkan dunia dalam keadaan tidak pernah kenyang meski dari makan roti gandum sekalipun.” (Shahih al-Bukhari kitab al-ath’imah bab ma kanan-Nabiy saw wa ashhabuhu ya`kulun no. 5414).
Anas ibn Malik juga menceritakan hal yang tidak jauh berbeda, sebagaimana diriwayatkan oleh Qatadah:
عَنْ قَتَادَةَ قَالَ كُنَّا نَأْتِي أَنَسَ بْنَ مَالِكٍ وَخَبَّازُهُ قَائِمٌ وَقَالَ كُلُوا فَمَا أَعْلَمُ النَّبِيَّ ﷺ رَأَى رَغِيفًا مُرَقَّقًا حَتَّى لَحِقَ بِاللَّهِ وَلَا رَأَى شَاةً سَمِيطًا بِعَيْنِهِ قَطُّ
Dari Qatadah, ia berkata: Kami pernah bertamu ke rumah Anas dan saat itu pembantunya tukang pembuat roti dari tepung halus sedang berdiri. Anas berkata: “Silahkan makan. Aku tidak tahu Nabi saw pernah melihat roti dari tepung gandum yang dihaluskan (terigu) sampai beliau bertemu Allah/wafat. Dan beliau tidak pernah melihat daging kambing muda sekalipun.” (Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab kaifa kana ‘aisyun-Nabi saw wa ashhabihi no. 6457).
Potret kesabaran para shahabat hidup dalam keterbatasan juga tercermin dari pembelaan diri Sa’ad ibn Abi Waqqash ra ketika ia difitnah:
إِنِّي لَأَوَّلُ الْعَرَبِ رَمَى بِسَهْمٍ فِي سَبِيلِ اللَّهِ وَرَأَيْتُنَا نَغْزُو وَمَا لَنَا طَعَامٌ إِلَّا وَرَقُ الْحُبْلَةِ وَهَذَا السَّمُرُ وَإِنَّ أَحَدَنَا لَيَضَعُ كَمَا تَضَعُ الشَّاةُ مَا لَهُ خِلْطٌ ثُمَّ أَصْبَحَتْ بَنُو أَسَدٍ تُعَزِّرُنِي عَلَى الْإِسْلَامِ خِبْتُ إِذًا وَضَلَّ سَعْيِي
Sungguh aku adalah orang Arab pertama yang menembak panah fi sabilillah. Kami dulu pernah berperang dengan tidak membawa makanan kecuali dedaunan pohon anggur dan pohon samur ini. Sampai sungguh salah seorang di antara kami membuang kotoran seperti kambing, tidak ada campuran airnya. Kemudian Bani Asad mengkritikku dalam hal Islam. Sungguh rugi diriku jika memang demikian dan sia-sialah usahaku (Shahih al-Bukhari bab manaqib Sa’ad ibn Abi Waqqash no. 3728).
Kesabaran Nabi saw dan para shahabat itu menjadi nilai plus tersendiri, karena artinya pahala mereka akan sempurna kelak di akhirat (QS. az-Zumar [39] : 10), tidak terkurangi oleh kenikmatan hidup dunia. Terlepas apakah mereka wafat dalam kemiskinan ataukah di masa kemudiannya mereka ikut juga merasakan kenikmatan. Inilah yang dimaksud ungkapan ‘Umar ibn al-Khaththab ra:
وَجَدْنَا خَيْرَ عَيْشِنَا بِالصَّبْر
Kami (para shahabat) merasakan bahwa sebaik-baiknya kehidupan kami adalah sabar (Shahih al-Bukhari bab as-shabr ‘an maharimil-‘Llah).
Dalam hadits tentang Ashhabul-Ukhdud (penguasa kafir yang membakar kaum mukminin hidup-hidup di parit-parit besar/ukhdud) diceritakan bahwa saat itu ada seorang ibu yang menangis karena tidak tega membawa serta putranya yang masih kecil ikut dihukum bakar.
حَتَّى جَاءَتِ امْرَأَةٌ وَمَعَهَا صَبِىٌّ لَهَا فَتَقَاعَسَتْ أَنْ تَقَعَ فِيهَا فَقَالَ لَهَا الْغُلاَمُ يَا أُمَّهِ اصْبِرِى فَإِنَّكِ عَلَى الْحَقِّ
Sehingga ketika ada seorang ibu bersama putra kecilnya ia terhenti karena enggan masuk ke kobaran api itu. Tetapi putra kecilnya itu berkata: “Wahai Ibu, sabarlah, karena ibu ada dalam kebenaran.” (Hadits Shuhaib dalam Shahih Muslim bab qishshah Ahhabil-Ukhdud was-sahir no. 7703).
Hadits ini juga mengajarkan bahwa batas sabar itu sampai nyawa berpisah dari badan, dan itu artinya sabar tiada batas. Wal-‘Llahul-Musta’an.