Hukum Obat dari Ekstrak Cacing

Ustadz bagaimana hukum mengkonsumsi obat yang terbuat dari ekstrak cacing? Ada Ustadz yang menjelaskan hukumnya haram karena termasuk yang kotor. 0856-5988-xxxx
Sepanjang pembacaan kami terhadap dalil-dalil fiqih seputar cacing tidak ditemukan satu pun dalil yang memastikan kedudukan hukumnya. Jika merujuk penjelasan para ulama fiqih, pada umumnya mendudukkan cacing pada hewan hasyarat (hewan melata yang dinilai jijik atau kotor). Tetapi ini pun tidak berdasar dalil sharih, melainkan sebatas fiqih menggunakan metode qiyas (mempersamakan/analogi). Fiqih qiyas tersebut bisa dinilai tepat jika memang ada kesesuaian, dan sebaliknya bisa dinilai tidak tepat jika ada ketidaksesuaian. Dalam konteks perkembangan dunia medis seperti saat ini fiqih qiyas tersebut tidak bisa berlaku umum. Jika itu dimakan langsung tentu bisa saja masuk kategori menjijikkan dan kotor. Tetapi jika dijadikan ekstrak lalu dibungkus kapsul atau dilarutkan ke dalam minuman yang sudah dicampur jamu dan madu, maka sudah tidak jijik dan kotor lagi. Terlebih jika secara medis terbukti memiliki berbagai manfaat. Penemuan tersebut malah bisa membalikkan fiqih qiyas-nya bukan masuk kategori kotor dan jijik malah masuk kategori thayyib (makanan yang baik).
Syaikh al-Bassam dalam kitab Taudlihul-Ahkam min Bulughil-Maram 7 : 4 menjelaskan bahwa makanan/minuman dikategorikan haram itu karena: (1) Syâri’ (Allah dan Rasul) menyatakannya kotor/khabits seperti keledai jinak. (2) Syâri’ menjelaskan batasannya, seperti: Setiap hewan buas yang bertaring dan setiap burung yang berkuku penerkam. (3) Hewan yang status khabits-nya sudah dikenal, seperti tikus, ular, kutu busuk. (4) Ada perintah membunuhnya, seperti tikus, atau larangan membunuhnya seperti burung hud-hud dan bentet. (5) Hewan pemakan bangkai seperti burung elang, rajawali, nasar/hering mesir. (6) Keturunan dari yang halal dan haram, sehingga ada unsur haramnya, seperti bighal (peranakan kuda dan keledai). (7) Hewan yang status khabits-nya dari unsur luar seperti jallalah; hewan pemakan najis atau yang hidup di perairan yang najis. (8) Madlarat bagi tubuh seperti racun, atau bagi akal seperti khamr dan narkoba. (9) Yang tidak disembelih secara syar’i.
Dari kesembilan kriteria di atas, cacing tidak masuk kepada salah satunya. Kalaupun hendak dimasukkan ke nomor tiga tetap tidak masuk jika pada faktanya sudah tidak ada unsur khaba`its-nya. Maka dari itu kembali lagi pada kaidah umum seputar makanan; jika thayyib, maka halal, dan jika tidak thayyib, hukumnya haram. Ketika fakta di dunia pengobatan menilainya sebagai sesuatu yang thayyib, maka jelaslah hukumnya halal.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلنَّاسُ كُلُواْ مِمَّا فِي ٱلۡأَرۡضِ حَلَٰلٗا طَيِّبٗا
Hai sekalian manusia, makanlah yang halal lagi baik dari apa yang terdapat di bumi (QS. al-Baqarah [2] : 168).
وَيُحِلُّ لَهُمُ ٱلطَّيِّبَٰتِ وَيُحَرِّمُ عَلَيۡهِمُ ٱلۡخَبَٰٓئِثَ
Menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk (QS. al-A’raf [7] : 157).
Standar untuk menentukan kotor dan jijik tersebut tentu saja secara ilmiah syar’iyyah atau medis, tidak bisa berdasarkan subjektifitas pribadi. Nabi saw sendiri yang secara pribadi tidak mau makan biawak karena merasa jijik, tidak berani mengharamkannya ketika faktanya masyarakat Arab lainnya ada yang biasa memakannya. Itu menunjukkan bahwa jika cacing dinilai jijik secara subjektif, tetapi secara objektif pengobatan bernilai baik, dan di kalangan masyarakat tertentu ada yang biasa mengonsumsinya, maka hukumnya tidak jadi haram. Tentunya sepanjang tidak ada dalil tegas yang menyatakannya sebagai khabits. Ketika Nabi saw disuguhi daging biawak lalu beliau enggan memakannya, Khalid ibn al-Walid yang saat itu bersama beliau bertanya apakah karena hukumnya haram? Nabi saw menjawab:
لاَ وَلَكِنَّهُ لَمْ يَكُنْ بِأَرْضِ قَوْمِى فَأَجِدُنِى أَعَافُهُ
Tidak haram, hanya saja tidak ada di daerah kaumku (yang menghidangkan ini), sehingga aku merasa jijik (Shahih Muslim bab ibahatid-dlabb no. 5147)
Khalid pun kemudian mengambilnya dan memakannya, sementara Nabi saw tidak melarangnya.