Ragam Syafa’at Nabi saw

Syafa’at Nabi saw adalah pertolongan Allah swt melalui Nabi Muhammad saw untuk umatnya pada hari kiamat nanti. Al-Qadli ‘Iyadl dan Imam an-Nawawi menyebutkan syafa’at Nabi saw yang dijelaskannya dalam hadits itu ada lima macam. Al-Hafizh Ibn Hajar menambahkannya lagi dua, sehingga ada tujuh macam.


Syafa’at makna asalnya “menghimpun sesuatu pada yang sejenisnya” (dlammus-syai`i ila mitslihi), demikian ‘Allamah ar-Raghib al-Ashfahani menjelaskan dalam kitab Mufradat al-Qur`annya. Dari makna ini kemudian ada turunan makna “genap” (as-syaf’) sebagai kebalikan dari “ganjil” (watr/witir) karena genap menunjukkan makna memasukkan sesuatu pada yang sejenis agar genap. Bangsa Arab memakai istilah syafa’at untuk makna mengikutsertakan orang lain yang akan ditolong atau dimintai pertolongannya. Secara umum berasal dari orang yang tinggi derajatnya kepada orang yang lebih rendah derajatnya. Dalam konteks hukum duniawi misalnya seorang tokoh yang memberikan jaminan atau keringanan hukuman kepada seseorang yang berada di bawahnya. Dalam konteks syari’at, syafa’at merupakan hak khusus untuk Nabi Muhammad saw yang tidak dimiliki oleh Nabi atau orang manapun selainnya dalam hal memberikan keringanan hukuman untuk umat manusia. Nabi saw bersabda:

أُعْطِيتُ خَمْسًا لَمْ يُعْطَهُنَّ أَحَدٌ قَبْلِي نُصِرْتُ بِالرُّعْبِ مَسِيرَةَ شَهْرٍ وَجُعِلَتْ لِي الْأَرْضُ مَسْجِدًا وَطَهُورًا فَأَيُّمَا رَجُلٍ مِنْ أُمَّتِي أَدْرَكَتْهُ الصَّلَاةُ فَلْيُصَلِّ وَأُحِلَّتْ لِي الْمَغَانِمُ وَلَمْ تَحِلَّ لِأَحَدٍ قَبْلِي وَأُعْطِيتُ الشَّفَاعَةَ وَكَانَ النَّبِيُّ يُبْعَثُ إِلَى قَوْمِهِ خَاصَّةً وَبُعِثْتُ إِلَى النَّاسِ عَامَّةً

Aku diberi lima hal yang tidak diberikan kepada seorang (nabi) pun sebelumku: Aku ditolong dengan rasa takut (musuh) dalam jarak perjalanan satu bulan. Dijadikan untukku bumi (tanah) sebagai masjid dan alat bersuci. Maka siapa pun yang sampai kepadanya waktu shalat, hendaklah ia shalat. Dihalalkan bagiku ghanimah (harta rampasan perang) dan itu tidak halal bagi seorang pun sebelumku. Aku diberi kewenangan syafa’at. Setiap Nabi diutus untuk kaumnya saja, tetapi aku diutus untuk semua umat manusia (Shahih Muslim kitab al-masajid bab al-muqaddimah no. 1191).
Hadits ini merupakan penjelas dari ayat-ayat al-Qur`an yang menyatakan bahwa tidak ada siapapun yang bisa memberikan syafa’at pada hari kiamat kecuali seseorang yang diridlai Allah swt berdasarkan izin dari-Nya. Maka orang yang dimaksud adalah Nabi Muhammad saw (rujuk misalnya ayat kursi QS. al-Baqarah [2] : 255, Thaha [20] : 109, an-Najm [53] : 26).
Nabi saw dalam hadits menganjurkan umatnya untuk memperoleh syafa’atnya, di antaranya dengan memperbanyak shalawat, dan secara khusus pada saat dzikir ba’da adzan:

إِذَا سَمِعْتُمُ الْمُؤَذِّنَ فَقُولُوا مِثْلَ مَا يَقُولُ ثُمَّ صَلُّوا عَلَىَّ فَإِنَّهُ مَنْ صَلَّى عَلَىَّ صَلاَةً صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ بِهَا عَشْرًا ثُمَّ سَلُوا اللَّهَ لِىَ الْوَسِيلَةَ فَإِنَّهَا مَنْزِلَةٌ فِى الْجَنَّةِ لاَ تَنْبَغِى إِلاَّ لِعَبْدٍ مِنْ عِبَادِ اللَّهِ وَأَرْجُو أَنْ أَكُونَ أَنَا هُوَ فَمَنْ سَأَلَ لِىَ الْوَسِيلَةَ حَلَّتْ لَهُ الشَّفَاعَةُ

Apabila kalian mendengar muadzdzin adzan maka ucapkanlah seperti apa yang diucapkan muadzdzin. Kemudian bershalawatlah untukku, karena siapa yang bershalawat untukku satu kali niscaya Allah akan bershalawat untuknya sepuluh kali. Kemudian mintakanlah untukku wasilah, karena dia merupakan satu tempat di surga yang tidak layak diberikan kecuali kepada seorang hamba yang istimewa, dan aku berharap akulah hamba itu. Maka siapa yang memintakan wasilah untukku ia pasti akan mendapatkan syafa’at (Shahih Muslim bab istihbabil-qaul mitsla qaulil-mu`adzdzin no. 875).
Demikian juga dengan memantapkan keyakinan la ilaha illal-‘Llah dalam hati sebagaimana disinggung dalam hadits Abu Hurairah ra ketika ia bertanya: “Siapakah orang yang paling berbahagia dengan syafa’at anda?”

أَسْعَدُ النَّاسِ بِشَفَاعَتِي يَوْمَ الْقِيَامَةِ مَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ خَالِصًا مِنْ قِبَلِ نَفْسِهِ

Manusia yang paling berbahagia dengan syafa’atku pada hari kiamat adalah yang mengucapkan la ilaha illal-‘Llah dengan ikhlash dari lubuk hatinya (Shahih al-Bukhari bab shifatil-jannah wan-nar no. 6570).
Hadits-hadits di atas jelas menganjurkan setiap muslim secara umum untuk berusaha meraih syafa’at Nabi saw.
Dalam hal ini Imam al-Qadli ‘Iyadl memberikan penegasan, jangan sampai ada pemahaman tidak dianjurkan memohon syafa’at karena syafa’at khusus bagi orang-orang yang berdosa besar. al-Qadli ‘Iyadl sebagaimana dikutip oleh Imam an-Nawawi membantah bahwa jika demikian logikanya berarti jangan juga memohon ampunan dari Allah swt karena itu khusus bagi mereka yang berdosa juga. Yang benar, siapapun orangnya harus merasa takut dengan siksa Allah swt dan jangan merasa pasti akan selamat dari siksa Allah swt, sebab memang merasa aman dari siksa Allah swt itu dikategorikan dosa besar. Kaum salaf shalih juga banyak diriwayatkan memohon khusus syafa’at Nabi saw dan sangat berharap besar bisa memperolehnya. Terlebih lagi syafa’at itu sendiri dijelaskan dalam hadits ada banyak ragamnya. Bukan hanya diperuntukkan bagi mereka yang melakukan dosa besar, tetapi juga orang-orang beriman yang imannya sempurna. Imam an-Nawawi, sependapat dengan al-Qadli ‘Iyadl, menyebutkan ada lima macam syafa’at, yaitu:

أَوَّلهَا: مُخْتَصَّة بِنَبِيِّنَا وَهِيَ الْإِرَاحَة مِنْ هَوْل الْمَوْقِف وَتَعْجِيل الْحِسَاب.

Pertama, khusus bagi Nabi kita saw, yaitu keselamatan dari bahaya di tempat wukuf (ketika dibangkitkan sebelum dihisab—pen) dan disegerakan hisab.

الثَّانِيَة: فِي إِدْخَال قَوْم الْجَنَّة بِغَيْرِ حِسَاب وَهَذِهِ وَرَدَتْ أَيْضًا لِنَبِيِّنَا ﷺ

Kedua, memasukkan sekelompok kaum ke dalam surga tanpa hisab. Ini juga dalam dalil hanya khusus untuk Nabi kita saw.

الثَّالِثَة: الشَّفَاعَة لِقَوْمٍ اِسْتَوْجَبُوا النَّار فَيَشْفَع فِيهِمْ نَبِيّنَا ﷺ وَمَنْ شَاءَ اللَّه تَعَالَى.

Ketiga, syafa’at untuk satu kaum yang pasti masuk neraka tetapi kemudian Nabi kita saw dan orang lainnya yang dikehendaki Allah ta’ala memberikan syafa’at kepada mereka.

الرَّابِعَة: فِيمَنْ دَخَلَ النَّار مِنْ الْمُذْنِبِينَ فَقَدْ جَاءَتْ هَذِهِ الْأَحَادِيث بِإِخْرَاجِهِمْ مِنْ النَّار بِشَفَاعَةِ نَبِيّنَا ﷺ وَالْمَلَائِكَة وَإِخْوَانهمْ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ ، ثُمَّ يُخْرِج اللَّه تَعَالَى كُلّ مَنْ قَالَ لَا إِلَه إِلاَّ الله كَمَا جَاءَ فِي الْحَدِيث “لَا يَبْقَى فِيهَا إِلَّا الْكَافِرُونَ”.

Keempat, untuk para penghuni neraka yang merupakan pelaku dosa besar. Maka sungguh telah ada hadits-hadits yang menyatakan mereka akan keluar dari neraka dengan syafa’at Nabi kita saw, para malaikat, dan saudara-saudara mereka yang beriman. Kemudian Allah ta’ala akan mengeluarkan setiap orang yang mengucapkan la ilaha illal-‘Llah sebagaimana ada dalam hadits “tidak tersisa di dalamnya kecuali orang-orang kafir”.

الْخَامِسَة: فِي زِيَادَة الدَّرَجَات فِي الْجَنَّة لِأَهْلِهَا

Kelima, meninggikan derajat penghuni surga di surganya (Syarah Shahih Muslim bab itsbatis-syafa’at).
Al-Hafizh Ibn Hajar terkait hal ini memberikan catatan tambahan:

وَظَهَرَ لِي بِالتَّتَبُّعِ شَفَاعَة أُخْرَى وَهِيَ الشَّفَاعَة فِيمَنْ اِسْتَوَتْ حَسَنَاتُهُ وَسَيِّئَاتُهُ أَنْ يُدْخَل الْجَنَّة، وَمُسْتَنَدهَا مَا أَخْرَجَهُ الطَّبَرَانِيُّ عَنْ اِبْنِ عَبَّاس قَالَ: السَّابِق يَدْخُل الْجَنَّة بِغَيْرِ حِسَابٍ، وَالْمُقْتَصِد يَرْحَمُهُ اللهُ، وَالظَّالِمُ لِنَفْسِهِ وَأَصْحَابُ الْأَعْرَافِ يَدْخُلُونَهَا بِشَفَاعَةِ النَّبِيِّ ﷺ. وَقَدْ تَقَدَّمَ قَرِيبًا أَنَّ أَرْجَحَ الْأَقْوَالِ فِي أَصْحَاب الْأَعْرَاف أَنَّهُمْ قَوْم اِسْتَوَتْ حَسَنَاتُهُمْ وَسَيِّئَاتُهُمْ

Tampak jelas bagiku setelah menelusuri (riwayat-riwayat lain) adanya syafa’at lain (keenam) bagi orang yang seimbang amal baik dan amal jeleknya untuk masuk surga. Dasarnya adalah apa yang diriwayatkan oleh at-Thabrani dari Ibn ‘Abbas, ia berkata (terkait penafsiran QS. Fathir [35] : 32): Orang yang lebih dahulu akan masuk surga tanpa dihisab, orang yang pertengahan akan dirahmati Allah, dan orang yang zhalim terhadap dirinya juga penghuni al-A’raf akan masuk surga dengan syafa’at Nabi saw. Sungguh telah dibahas tidak jauh dari ini bahwa pendapat yang paling kuat tentang penghuni al-A’raf adalah orang-orang yang seimbang amal baik mereka dengan amal jeleknya.

وَشَفَاعَةٌ أُخْرَى وَهِيَ شَفَاعَتُهُ فِيمَنْ قَالَ لَا إِلَهَ إِلاَّ اللهُ وَلَمْ يَعْمَل خَيْرًا قَطُّ، وَمُسْتَنَدهَا رِوَايَة الْحَسَنِ عَنْ أَنَسٍ كَمَا سَيَأْتِي بَيَانه فِي شَرْح الْبَاب الَّذِي يَلِيهِ

Syafa’at lain (keenam) adalah syafa’at beliau bagi orang yang mengucapkan la ilaha illal-‘Llah meski ia belum beramal baik sedikit pun. Dasarnya adalah riwayat al-Hasan dari Anas, sebagaimana akan datang penjelasannya dalam syarah bab berikutnya (Fathul-Bari bab shifatil-jannah wan-nar).
Bersambung, in sya`a-‘Llah…