Ekonomi

PPN 12% Termasuk Maks Haram

Penolakan kenaikan PPN (Pajak Pertambahan Nilai) 12% disuarakan oleh berbagai kalangan. Sebuah pertanda yang jelas bahwa kenaikan pajak tersebut sangat dipaksakan, memberatkan rakyat, dan zhalim. Sementara itu tax amnesty (pengampunan pajak) untuk para pengusaha menengah atas sedang direncanakan kembali. Di samping berbagai kemudahan lainnya yang sudah lama diberikan untuk mempermudah dunia usaha. Seharusnya pajak dibebankan secara berlebih kepada para pengusaha, tetapi malah dibebankan kepada rakyat. Ini jelas termasuk pada maks (pungutan yang memaksa dan memberatkan) yang haram.

Pajak Pertambahan Nilai atau PPN adalah pajak yang dikenakan atas konsumsi barang dan jasa di dalam daerah pabean yang dikenakan secara bertingkat dalam setiap jalur produksi dan distribusi. Adapun yang dimaksud pabean adalah wilayah Republik Indonesia yang meliputi darat, perairan, dan ruang udara di atasnya, serta tempat-tempat tertentu di Zona Ekonomi Eksklusif dan landas kontinen yang di dalamnya berlaku Undang-Undang yang mengatur mengenai kepabeanan.

PPN berdasarkan UU PPN No. 42 Tahun 2009 Pasal 7 ditetapkan sebesar 10%. Kemudian berdasarkan Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan pada Pasal 7 diubah menjadi 11-12% secara bertahap:

(1) Tarif Pajak Pertambahan Nilai yaitu:

  1. sebesar 11% (sebelas persen) yang mulai berlaku pada tanggal 1 April 2022;
  2. sebesar 12% (dua belas persen) yang mulai berlaku paling lambat pada tanggal 1 Januari 2025.

(2) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebesar 0% (nol persen) diterapkan atas:

  1. Ekspor Barang Kena Pajak Berwujud
  2. Ekspor Barang Kena Pajak Tidak Berwujud; dan
  3. Ekspor Jasa Kena Pajak.

(3) Tarif Pajak Pertambahan Nilai sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dapat diubah menjadi paling rendah 5% (lima persen) dan paling tinggi 15% (lima belas persen).

Meski Pemerintah selalu berdalih bahwa kenaikan PPN tidak akan diberlakukan pada semua barang, khususnya barang-barang kebutuhan pokok, tetap saja tidak akan bisa dibendung akan menaikkan semua harga barang dan jasa. Karena meskipun pedagang beras pada awalnya tidak terkena kenaikan PPN, ketika pengeluaran belanja rumah tangganya naik, ia pasti dituntut untuk menaikkan penghasilannya dan itu pasti dengan menaikkan harga jual berasnya. Hal yang sama berlaku juga pada pedagang-pedagang bahan kebutuhan pokok lainnya yang tidak terkena kenaikan PPN.

Rakyat berteriak tentang kenaikan PPN ini karena mereka sudah terlalu banyak dipaksa untuk membayar berbagai jenis pajak. Penghasilan yang mereka dapatkan dengan jerih payah sendiri terkena Pajak Penghasilan (PPh), ditambah potongan iuran Tapera (Tabungan Perumahan), BPJS, dan potongan-potongan lainnya; tanah dan bangunan yang mereka beli sendiri terkena pajak jual beli aset (BPHTB) dan Pajak Bumi Bangunan (PBB); kendaraan bermotor yang mereka beli dengan uang sendiri terkena Pajak Kendaraan Bermotor (PKB) termasuk Bea Balik Nama (BBN); usaha yang mereka rintis dan kembangkan sendiri terkena pajak hotel, restoran, reklame; barang mewah yang dijual karena kebutuhan mendesak terkena Pajak Penjualan Barang Mewah (PPBM); dan setiap transaksi atau perjanjian resmi terkena pajak bea materai. Dari kesemua jenis pajak itu yang paling masif memang Pajak Pertambahan Nilai karena diberlakukan untuk seluruh jenis transaksi dan jasa yang dilakukan masyarakat.

Sementara itu nyatanya pajak yang dibayarkan rakyat itu tidak banyak yang kembali kepada rakyat secara umum, selain kebanyakannya kembali kepada para penguasa dan pengusaha. Rakyat secara umum banyak yang belum hidup sejahtera mendapatkan pelayanan dari Negara. Kalangan menengah pun semakin berkurang karena kehidupan mereka terhimpit. Pajak-pajak itu yang terlihat kasat mata oleh rakyat hanya diperuntukkan anggaran pembiayaan pemerintahan yang gemuk dan mewah; bantuan sosial yang ugal-ugalan untuk memenangkan paslon yang diusung Pemerintah; pembangunan Proyek Strategis Nasional yang kebanyakannya dinikmati kalangan menengah atas dan malah menggusur rakyat kecil; kebocoran pajak yang memperkaya para pejabat dan pengusaha yang terkait pajak; korupsi besar-besaran yang tidak kunjung berhenti atau minimal berkurang. Pajak dari rakyat malah dihambur-hamburkan secara mubadzir. Padahal semua pajak itu diberlakukan untuk rakyat dengan sangat mencekik.

Nabi saw sudah mengingatkan dosa besar bagi para pemungut iuran paksa yang mencekik dan zhalim yang Nabi saw sebutkan dengan istilah maks. Meski konteksnya berlaku pada pungutan liar atau japrem (jatah preman), tetapi bisa dihukumkan sama pada pajak yang mencekik rakyat. Semestinya sebagaimana halnya zakat, pajak itu diberlakukan bagi kalangan tertentu saja yang berkemampuan, tidak dipukul rata untuk semua rakyat dengan sangat memaksa dan mencekik. Jadinya pajak itu sama dengan pungutan liar karena sama-sama memaksa dan menzhalimi.

إِنَّ صَاحِبَ الْمَكْسِ فِي النَّارِ

Sesungguhnya penarik maks (iuran liar dan memaksa) akan masuk neraka (Musnad Ahmad bab hadits Ruwaifi’ ibn Tsabit no. 17001).

لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ صَاحِبُ مَكْسٍ

Tidak akan masuk surga penarik maks (iuran liar dan memaksa) (Hadits ‘Uqbah ibn ‘Amir dalam Sunan Abi Dawud bab fis-si’ayah ‘alas-shadaqah no. 2939)

Dalam Shahih Muslim shahib maks ini digambarkan sebagai pelaku dosa besar. Ketika Nabi saw menyinggung taubatnya seorang pezina, beliau menyatakan:

لَقَدْ تَابَتْ تَوْبَةً لَوْ تَابَهَا صَاحِبُ مَكْسٍ لَغُفِرَ لَهُ

Sungguh perempuan itu sudah bertaubat dengan taubat yang seandainya penarik iuran liar bertaubat sepertinya pasti akan diampuni (Hadits Buraidah dalam Shahih Muslim bab man i’tarafa ‘ala nafsihi biz-zina no. 4528).

Imam al-Baghawi (w. 516 H) dalam kitab Syarhus-Sunnah menjelaskan makna maks yang disabdakan Nabi saw dalam hadits-hadits di atas sebagai berikut:

أَرَادَ بِصَاحِبِ الْمَكْس الَّذِي يَأْخُذ مِنْ التُّجَّار إِذَا مَرُّوا مَكْسًا بِاسْمِ الْعُشْر، فَأَمَّا السَّاعِي الَّذِي يَأْخُذ الصَّدَقَة وَمَنْ يَأْخُذ مِنْ أَهْل الذِّمَّة الْعُشْر الَّذِي صُولِحُوا عَلَيْهِ فَهُوَ مُحْتَسِب مَا لَمْ يَتَعَدَّ فَيَأْثَم بِالتَّعَدِّي وَالظُّلْم اِنْتَهَى

Yang dimaksud pemungut maks adalah yang mengambil pungutan dari para pedagang apabila mereka lewat dan dikenal dengan istilah 10%. Adapun petugas pemungut zakat dan yang memungut 10% dari ahli dzimmah yang diikat perdamaian, maka ia akan mendapatkan pahala selama ia tidak melanggar batas. Jika ia melanggar batas maka ia berdosa dengan sebab melanggar batas dan zhalimnya. Demikianlah (Syarhus-Sunnah bab karahiyah thalabil-imarah wal-‘amal bihi no. 2468).

Sementara itu, Imam an-Nawawi (631-676 H) menjelaskan maks dalam hadits Buraidah di atas sebagai berikut:

فِيهِ: أَنَّ الْمَكْس مِنْ أَقْبَح الْمَعَاصِي وَالذُّنُوب الْمُوبِقَات، وَذَلِكَ لِكَثْرَةِ مُطَالَبَات النَّاس لَهُ وَظِلَامَاتهمْ عِنْده، وَتَكَرُّر ذَلِكَ مِنْهُ وَانْتِهَاكه لِلنَّاسِ وَأَخْذ أَمْوَالهمْ بِغَيْرِ حَقّهَا وَصَرْفهَا فِي غَيْر وَجْههَا

Dalam hadits ini: Maks termasuk maksiat yang paling jelek dan dosa besar. Itu dikarenakan maks banyak menuntut manusia untuk membayarnya dan menzhalimi mereka secara berulang-ulang dan memaksakannya kepada orang-orang. Termasuk juga mengambil harta orang dengan tidak benar dan menyalurkannya juga dengan tidak tepat (Syarah Shahih Muslim).

Imam al-Fairuz Abadi (w. 817 H) dalam al-Qamus al-Muhith menjelaskan:

والْمَكْسُ: النَّقْصُ، والظُّلْمُ، ودَراهِمُ كانتْ تُؤْخَذُ من بائِعي السِّلَعِ في الأسْواقِ في الجاهليَّةِ، أو دِرْهَمٌ كانَ يأخذُه المُصَدِّقُ بعدَ فَراغِه من الصَّدَقةِ

Maks: Mengurangi dan menzhalimi. Ia adalah beberapa keping dirham yang diambil dari para pedagang barang di pasar-pasar pada masa jahiliyyah, atau satu keping dirham yang diambil oleh pemungut zakat sesudah tunai dibayarkan zakat.

Terlihat jelas faktor yang menjadikan satu pungutan termasuk maks adalah memaksa dan menzhalimi. Bahkan termasuk jika itu zakat atau jizyah (iuran non-muslim yang dilindungi Negara Islam) jika kemudian memberlakukan kelebihan penarikan secara memaksa.

Pajak dikategorikan memaksa dan menzhalimi ketika nyatanya ditujukan kepada semua rakyat dan terutama rakyat yang tidak mampu. Terlebih manfaat dari pajak itu tidak malah kembali kepada rakyat selain hanya dalam jumlah yang kecil, melainkan malah memperkaya para pejabat dan kalangan menengah atas saja. Bahkan digunakan oleh penguasa untuk melanggengkan kekuasaaanya dengan cara mengklaim bahwa bantuan untuk rakyat yang masih sangat terbatas itu tidak diatasnamakan rakyat, melainkan diatasnamakan pribadi pejabat yang bersangkutan. Ini sama dengan mencuri uang rakyat untuk kepentingan pribadi para penguasa. Mereka semua yang zhalim seperti itu seharusnya takut dengan ancaman Nabi saw dalam hadits di atas.

Wal-‘Llahu a’lam

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button