Penyakit Umum Ramadlan

Penyakit umum yang hinggap di mayoritas umat Islam pada saat masuk Ramadlan adalah penyakit hati berupa ragu; ragu apakah shaum bisa mengurangi nafsu makan, ragu apakah shalat Tarawih sebagaimana standar al-Qur`an dan sunnah mampu diamalkan, ragu apakah mampu mengamalkan tadarus 30 juz, ragu apakah mampu bershadaqah maksimal karena THR pun susah didapat, serta ragu apakah mampu mengamalkan i’tikaf dan ihya`ul-lail untuk meraih lailatul-qadar. Akibatnya terjebak pada amaniy (angan-angan kosong) akan diampuni dosa dengan amal seadanya saja sekalipun.
Penyakit hati kalau didiamkan tanpa ada usaha mengobatinya dengan serius maka akan terus bertambah sakit dan terjebak pada amaniy-nya pun semakin parah. Allah swt memaklumatkan dalam berbagai ayat:
فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ فَزَادَهُمُ ٱللَّهُ مَرَضٗاۖ وَلَهُمۡ عَذَابٌ أَلِيمُۢ بِمَا كَانُواْ يَكۡذِبُونَ ١٠
Dalam hati mereka ada penyakit, lalu ditambah Allah penyakitnya; dan bagi mereka siksa yang pedih, disebabkan mereka berdusta (QS. al-Baqarah [2] : 10).
Kalaupun ayat-ayat al-Qur`an dibacakan dan diperingatkan kepada mereka, tidak sebagaimana halnya orang beriman yang semakin yakin dengannya, orang-orang yang sakit hatinya malah semakin bertambah kotor hatinya.
وَأَمَّا ٱلَّذِينَ فِي قُلُوبِهِم مَّرَضٞ فَزَادَتۡهُمۡ رِجۡسًا إِلَىٰ رِجۡسِهِمۡ وَمَاتُواْ وَهُمۡ كَٰفِرُونَ ١٢٥
Dan adapun orang-orang yang di dalam hati mereka ada penyakit, maka dengan surat itu bertambah kekotoran mereka, di samping kekotorannya (yang telah ada) dan mereka mati dalam keadaan kafir (QS. at-Taubah [9] : 125).
Ketika mereka terjebak selamanya dalam keraguan, maka mereka pun terjebak dalam amaniy (angan-angan kosong) berupa perasaan akan masuk surga dan diampuni dosa meski dengan amal yang sangat jelek sekalipun.
يُنَادُونَهُمۡ أَلَمۡ نَكُن مَّعَكُمۡۖ قَالُواْ بَلَىٰ وَلَٰكِنَّكُمۡ فَتَنتُمۡ أَنفُسَكُمۡ وَتَرَبَّصۡتُمۡ وَٱرۡتَبۡتُمۡ وَغَرَّتۡكُمُ ٱلۡأَمَانِيُّ حَتَّىٰ جَآءَ أَمۡرُ ٱللَّهِ وَغَرَّكُم بِٱللَّهِ ٱلۡغَرُورُ ١٤
Orang-orang munafiq itu memanggil mereka (orang-orang mukmin) seraya berkata: “Bukankah kami dahulu bersama-sama dengan kamu?” Mereka menjawab: “Benar, tetapi kamu mencelakakan dirimu sendiri dan menunggu (kehancuran kami) dan kamu ragu-ragu serta ditipu oleh angan-angan kosong sehingga datanglah ketetapan Allah; dan kamu telah ditipu terhadap Allah oleh (setan) yang amat penipu. (QS. al-Hadid [57] : 14).
Orang-orang yang terjebak amaniy akan selalu mudah mengklaim akan masuk surga dan mendapatkan pahala meski amal-amalnya jelek. Mereka tidak terdorong untuk memperbaiki amal-amalnya karena memang dangkal keimanan dalam hati mereka. Sementara itu amal shalih senyawanya dengan iman yang teguh.
لَّيۡسَ بِأَمَانِيِّكُمۡ وَلَآ أَمَانِيِّ أَهۡلِ ٱلۡكِتَٰبِۗ مَن يَعۡمَلۡ سُوٓءٗا يُجۡزَ بِهِۦ وَلَا يَجِدۡ لَهُۥ مِن دُونِ ٱللَّهِ وَلِيّٗا وَلَا نَصِيرٗا
(Pahala dari Allah) itu bukanlah menurut angan-anganmu yang kosong dan tidak (pula) menurut angan-angan Ahli Kitab. Barang siapa yang mengerjakan kejahatan, niscaya akan diberi pembalasan dengan kejahatan itu dan ia tidak mendapat pelindung dan tidak (pula) penolong baginya selain dari Allah (QS. an-Nisa` [4] : 123).
وَقَالُواْ لَن يَدۡخُلَ ٱلۡجَنَّةَ إِلَّا مَن كَانَ هُودًا أَوۡ نَصَٰرَىٰۗ تِلۡكَ أَمَانِيُّهُمۡۗ قُلۡ هَاتُواْ بُرۡهَٰنَكُمۡ إِن كُنتُمۡ صَٰدِقِينَ ١١١
Dan mereka (Yahudi dan Nasrani) berkata: “Sekali-kali tidak akan masuk surga kecuali orang-orang (yang beragama) Yahudi atau Nasrani”. Demikian itu (hanya) angan-angan mereka yang kosong belaka. Katakanlah: “Tunjukkanlah bukti kebenaranmu jika kamu adalah orang yang benar” (QS. al-Baqarah [2] : 111).
Penyebabnya karena mereka tidak memahami kitab Allah swt. Itu disebabkan hati mereka yang terkunci mati dari menyimak dan memperhatikan peringatannya.
وَمِنۡهُمۡ أُمِّيُّونَ لَا يَعۡلَمُونَ ٱلۡكِتَٰبَ إِلَّآ أَمَانِيَّ وَإِنۡ هُمۡ إِلَّا يَظُنُّونَ ٧٨
Dan diantara mereka ada yang buta huruf, tidak mengetahui Al Kitab (Taurat), kecuali angan-angan kosong belaka dan mereka hanya menduga-duga (QS. al-Baqarah [2] : 78).
Di sinilah urgensinya sabda Nabi saw yang diulang-ulang untuk semua ibadah Ramadlan yang harus didasarkan pada iman dan ihtisab. Jangan didasarkan pada keraguan dan angan-angan kosong belaka.
مَنْ صَامَ رَمَضَانَ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ وَمَنْ قَامَ لَيْلَةَ الْقَدْرِ إِيْمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa yang shaum Ramadlan karena iman dan mengharap ridla Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu. Siapa yang qiyam (bangun malam untuk ibadah) pada lailatul-qadar karena iman dan mengharap ridla Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu (Shahih al-Bukhari bab fadlli lailatil-qadri no. 2014; Shahih Muslim bab at-targhib fi qiyam Ramadlan no. 1817).
مَنْ قَامَ رَمَضَانَ إِيمَانًا وَاحْتِسَابًا غُفِرَ لَهُ مَا تَقَدَّمَ مِنْ ذَنْبِهِ
Siapa yang qiyam (berdiri untuk shalat malam) Ramadlan karena iman dan mengharap ridla Allah, niscaya diampuni dosanya yang telah lalu (Shahih al-Bukhari bab tathawwu’ qiyam Ramadlan minal-iman no. 37; Shahih Muslim bab at-targhib fi qiyam Ramadlan no. 1815).
Iman artinya tashdiq; meyakini, sementara ihtisab artinya i’tidad; memperhitungkan, menganggap. Imam an-Nawawi menjelaskan maksud iman dan ihtisab sebagai berikut:
مَعْنَى (إِيمَانًا) تَصْدِيقًا بِأَنَّهُ حَقّ مُقْتَصِد فَضِيلَته، وَمَعْنَى (اِحْتِسَابًا) أَنْ يُرِيد اللَّه تَعَالَى وَحْده لَا يَقْصِد رُؤْيَة النَّاس وَلَا غَيْر ذَلِكَ مِمَّا يُخَالِف الْإِخْلَاص
Makna (iman) adalah meyakini bahwasanya itu benar dan meniatkan keutamaannya, sementara makna (ihtisab) adalah meniatkan Allah ta’ala saja, tidak meniatkan penilaian/pandangan orang lain atau selain itu yang akan menyalahi ikhlash (Syarah Shahih Muslim bab at-targhib fi qiyam Ramadlan wa huwat-Tarawih).
Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan sama:
قَوْله: (إِيمَانًا) أَيْ تَصْدِيقًا بِوَعْدِ اللَّه بِالثَّوَابِ عَلَيْهِ (وَاحْتِسَابًا) أَيْ طَلَبًا لِلْأَجْرِ لَا لِقَصْدٍ آخَر مِنْ رِيَاء أَوْ نَحْوه
Sabdanya (iman) yaitu meyakini janji Allah terkait pahala atasnya. Sementara (ihtisab) yaitu mencari pahala bukan niat lain seperti riya (formalitas) atau semacamnya (Fathul-Bari bab fadlli man qama Ramadlan).
Jika hati masih memendam ragu dan angan-angan kosong sampai kapan pun shaum tidak akan mampu mengantarkan pada taqwa jika nyatanya bukan malah mengurangi nafsu makan, melainkan menambah nafsu makan. Nafsu makan ini akan berkontribusi besar dalam menambah nafsu dunia sehingga semakin menjadi-jadi di bulan Ramadlan dan bertambah lagi sampai menjelang lebaran. Bukannya semangat berbagi yang diutamakan, melainkan semangat individualisme dan hedonisme. Bukannya memperbanyak amal shalih dan menyesuaikan dengan standar Nabi saw, malah menumpuk harta untuk menyambut hari raya dengan kemewahan.
Jika hati masih memendam ragu dan angan-angan kosong sampai kapan pun tidak akan pernah terlintas dalam hati niatan ingin shalat Tarawih sebagaimana Nabi saw ajarkan. Shalat Tarawih yang syari’at ajarkan harus panjang dan al-Qur`an dibaca dalam shalat dengan tartil; perlahan dan jelas (QS. al-Insan [76] : 26 dan al-Muzzammil [73] : 2-4). ‘Aisyah ra sendiri ketika ditanya bagaimana shalat malam Rasulullah saw pada bulan Ramadlan, jawabannya: “Tidak perlu ditanyakan lagi bagus dan panjangnya.” (Shahih al-Bukhari bab qiyamin-Nabiy saw bil-lail fi Ramadlan wa ghairihi no. 1147).
Shahabat Ibn Mas’ud ra menjelaskan bahwa rata-rata shalat malam Rasulullah saw itu membaca 20 surat dalam 10 raka’at, atau setiap satu raka’at dua surat, yaitu: (1) ar-Rahman dan an-Najm; (2) Iqtarabat (al-Qamar) dan al-Haqqah; (3) at-Thur dan adz-Dzariyat; (4) Idza waqa’at (al-Waqi’ah) dan Nun (al-Qalam); (5) Sa`ala sa`ilun (al-Ma’arij) dan an-Nazi’at; (6) Wailul-lil-muthaffifin dan ‘Abasa; (7) al-Muddatstsir dan al-Muzzammil; (8) Hal ata (al-Insan) dan La uqsimu bi yaumil-qiyamah (al-Qiyamah); (9) ‘Amma yatasa`alun (an-Naba`) dan al-Mursalat; (10) ad-Dukhan dan Idzas-syamsu kuwwwirat (at-Takwir). (Sunan Abi Dawud kitab syahri Ramadlan bab tahzibil-qur`an no. 1398). Kalau dirata-ratakan ke dalam juz, berarti setiap malam Rasulullah saw kurang lebih membaca dua juz al-Qur`an. Akan tetapi dalam hadits ‘Abdullah ibn ‘Amr ra, Nabi saw sendiri menganjurkan cukup satu juz setiap malam.
Kalaupun benar-benar belum mampu mengamalkannya maka minimalnya jangan lagi mengharuskan shalat Tarawih harus pendek dan membaca al-Qur`annya harus cepat.
Di sepuluh hari terakhir Ramadlan, orang-orang yang ragu akan selalu terjebak dalam keraguan apakah akan i’tikaf atau minimalnya ihya`ul-lail (bangun dan terjaga sepanjang malam, meski dibolehkan tidur dahulu) sebagaimana istri-istri Nabi saw yang tidak i’tikaf, atau malah sibuk memperbanyak job—termasuk job da’wah—agar memperbanyak harta demi mengejar hari raya.
Harus sampai kapan terjebak terus dalam keraguan tanpa ada iman dan ihtisab? Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.