Keluarga

Pendidikan Karakter untuk Suami-Istri

Gagalnya pendidikan karakter bangsa selama ini salah satunya karena suami dan istri tidak memerankan sebagai pendidik. Pada umumnya mereka terjebak paham “sekolahisme”, yakni bahwa pendidikan untuk anak adalah dengan cara memilihkan sekolah, pesantren, atau kampus untuk anak-anak. Setelah itu selesai. Suami hanya bertugas mencari nafkah dan istri hanya mengurus rumah tangga atau bahkan ikut bekerja mencari nafkah juga. Suami-istri yang seperti ini harus dididik lagi karakternya agar pendidikan karakter bangsa tidak selamanya terjebak pada kegagalan.

Sekolah, pesantren, atau kampus tidak mungkin diandalkan sepenuhnya untuk pendidikan karakter anak-anak. Sebab waktu belajarnya rata-rata hanya 6 jam. Itu pun 90%-nya diisi dengan pembelajaran pengetahuan saja, tidak sampai pendidikan karakter. Belum lagi jumlah anak didik yang tidak sebanding dengan jumlah pengajar. Satu orang guru mengajar 20-40 orang peserta didik. Itu pun umumnya tidak sampai 6 jam satu hari, kebanyakannya seperti guru mata pelajaran hanya 2 jam di kelas. 2 jam berikutnya pindah ke kelas yang lain. Kalaupun ada guru wali kelas, tidak bertemu anak didiknya setiap hari. Apalagi guru bimbingan dan konseling yang umumnya satu guru menangani sekitar seratusan murid dan tidak bertemu setiap hari dengan seluruh anak didiknya.
Hal yang sama berlaku di pondok pesantren. Pengasuh pondok seringkali tidak maksimal menanamkan pendidikan karakter karena jumlah pengasuh tidak sebanding dengan jumlah santrinya. Belum lagi sang pengasuh pondok yang juga aktif mengisi ta’lim di luar pondok. Di samping itu juga tersibukkan perhatiannya dengan menangani urusan akomodasi, konsumsi, kesehatan, dan hal-hal lainnya yang terkait sarana fisik. Apalagi tidak sedikit yang masuk pondok berlatar belakang anak-anak yang bejat akhlaqnya. Bukannya jadi lebih baik dengan dididik di pondok, malah jadi terbawa jelek oleh santri-santri nakalnya.
Uraian di atas tentu tidak bermaksud sok tahu akan taqdir Allah swt ataupun memukul rata semua sekolah dan pesantren seperti itu. Akan tetapi jika para pembaca setuju, fakta umumnya di sekolah dan pesantren memang seperti itu. Apalagi di kampus perguruan tinggi meski itu yang berlabel Islam sekalipun, nyaris tidak dirasakan adanya pendidikan karakter untuk para mahasiswa. Kebanyakan justru menyepakati “pendidikan instant” yang penting mahasiswa dapat nilai dan dosen tidak tersendat mendapatkan tunjangan.
Maka jika masih ada orangtua yang terjebak pada “sekolahisme” ini jelas merupakan kekeliruan besar. Terlebih al-Qur`an sendiri memberikan tuntunan agar orangtua tidak memerankan diri sebatas suami yang mencari nafkah dan istri yang mengurus rumah tangga atau turut bekerja mencari nafkah. Ada peran yang lebih penting yakni sebagai pendidik untuk membentuk karakter anak-anak. Allah swt menegaskan:

وَلَا تَمُدَّنَّ عَيۡنَيۡكَ إِلَىٰ مَا مَتَّعۡنَا بِهِۦٓ أَزۡوَٰجٗا مِّنۡهُمۡ زَهۡرَةَ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا لِنَفۡتِنَهُمۡ فِيهِۚ وَرِزۡقُ رَبِّكَ خَيۡرٞ وَأَبۡقَىٰ ١٣١ وَأۡمُرۡ أَهۡلَكَ بِٱلصَّلَوٰةِ وَٱصۡطَبِرۡ عَلَيۡهَاۖ لَا نَسۡ‍َٔلُكَ رِزۡقٗاۖ نَّحۡنُ نَرۡزُقُكَۗ وَٱلۡعَٰقِبَةُ لِلتَّقۡوَىٰ ١٣٢

Dan janganlah kamu tujukan kedua matamu kepada apa yang telah Kami berikan kepada golongan-golongan dari mereka, sebagai bunga kehidupan dunia untuk Kami cobai mereka dengannya. Dan karunia Tuhan kamu adalah lebih baik dan lebih kekal. Dan perintahkanlah kepada keluargamu mendirikan shalat dan bersabarlah kamu dalam mengerjakannya. Kami tidak meminta rezki kepadamu. Kamilah yang memberi rezki kepadamu. Dan akibat (yang baik) itu adalah bagi orang yang bertaqwa (QS. Thaha [20] : 131-132).
Al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan bahwa ayat ini dengan tegas memerintahkan Nabi saw—dan semua kaum suami—untuk tidak terlalu fokus pada urusan dunia dengan melupakan rizki yang lebih kekal. Rizki tersebut pasti akan diberikan oleh Allah swt baik di dunia dan akhirat dengan modal ketaqwaan. Agar terwujud taqwa maka jangan terlena dengan kesibukan mencari penghidupan, perhatikan juga shalat istri dan anak-anak.
Parahnya, hari ini yang fokus mencari nafkah ternyata bukan hanya suami, melainkan juga istrinya. Ketika seorang suami hanya terfokus mencari nafkah dan mengabaikan pendidikan shalat untuk anak-anaknya saja sudah salah, apalagi jika istrinya juga turut fokus mencari nafkah dan mengabaikan juga pendidikan shalat untuk anak-anaknya.  Rizki duniawi mungkin mereka dapatkan, tetapi rizki yang sifatnya kekal berupa keberkahan, kemanfaatan, dan keselamatan dunia akhirat mustahil didapatkan jika pendidikan shalat yang menjadi korban.
Pendidikan shalat itu dasar pendidikan karakter. Karakter mulia seorang anak akan terbentuk jika ia dibiasakan shalat tepat pada waktunya. Untuk yang laki-laki, dari mulai shalat shubuh sampai isya dididik untuk selalu shalat berjama’ah di masjid. Mendidikkan shalat berarti mendidikkan al-Qur`an; bacaannya, hafalannya, dan makna-maknanya. Anak-anak dituntut untuk selalu dekat dengan al-Qur`an dan nilai-nilai mulia yang dikandungnya. Mendidikkan shalat kepada anak berarti juga menanamkan kedekatan seorang ayah/ibu sebagai pendidik bagi anak-anaknya. Banyaknya ayah/ibu yang tidak berwibawa di hadapan anaknya, karena mereka tidak dekat dan tidak dirasakan sebagai pendidik oleh anak-anaknya sendiri. Itu semua bermuara pada pendidikan shalat.
Bagi kaum istri, Allah swt sudah memberikan teladan dalam al-Qur`an melalui ahlul-bait; istri-istri dan atau keluarga Nabi saw. Dalam QS. al-Ahzab [33] : 28-34, Allah swt memberikan tuntunan kepada kaum istri agar memiliki karakter mulia sehingga mampu mewujudkan keluarga yang mulia laksana ahlul-bait. Karakter mulia yang dimaksud adalah:
Pertama, jangan terobsesi kesenangan dunia, melainkan harus terobsesi pahala besar dunia dan akhirat. Sebab kesenangan dunia tidak akan ada puasnya dan akan selalu mengorbankan pahala besar dunia akhirat. Seorang istri yang memilih terjun mengejar dunia, tidak akan ada kepuasannya. Yang terjadi malah suami dan anak-anaknya yang menjadi korban karena tidak mendapatkan pendidikan shalat yang maksimal. Terlepas dari apakah mengejar dunia itu dengan bekerja atau tidak, harta dunia diperoleh atau tidak, yang jelas jika pendidikan karakter untuk keluarga dikorbankan, maka kehidupan keluarga akan menjadi korban tumbalnya. Pahala yang besar pun luput dari hadapan.
Hai Nabi, katakanlah kepada istri-istrimu: “Jika kamu sekalian mengingini kehidupan dunia dan perhiasannya, maka marilah supaya kuberikan kepadamu mut`ah dan aku ceraikan kamu dengan cara yang baik. Dan jika kamu sekalian menghendaki (keridaan) Allah dan Rasul-Nya serta (kesenangan) di negeri akhirat, maka sesungguhnya Allah menyediakan bagi siapa yang berbuat baik di antaramu pahala yang besar.” (QS. al-Ahzab [33] : 28-29)
Kedua, jangan salah bergaul sehingga terjebak pada pergaulan dengan orang-orang yang sakit hatinya. Apalagi saat ini zamannya sosialita, media sosial, media televisi, dan sebagainya.
Hai istri-istri Nabi, kamu sekalian tidaklah seperti wanita yang lain, jika kamu bertakwa. Maka janganlah kamu tunduk dalam berbicara sehingga berkeinginanlah orang yang ada penyakit dalam hatinya, dan ucapkanlah perkataan yang baik (QS. al-Ahzab [33] : 32)
Ketiga, prioritaskan urusan rumah tangga dan jangan berlebihan dalam berdandan. Di antara bentuk berlebihan itu memperlihatkan aurat atau seperti disabdakan Nabi saw: Berpakaian tetapi telanjang. Berpakaian menutup aurat tetapi telanjang karena lekukan tubuh auratnya tetap terlihat. Itu semua disebabkan terlalu mementingkan penampilan di dunia luar.
Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu (QS. al-Ahzab [33] : 33).
Keempat, perbanyak ibadah seperti shalat, zakat, menaati Allah dan Rasul-Nya, membaca ayat-ayat al-Qur`an dan hikmah, yakni ilmu lainnya yang bermanfaat di rumah. Bukan sebatas di masjid atau majelis ta’lim, tetapi yang terpenting mempraktikkan semua itu di rumah, sehingga menjadi teladan bagi suami dan anak-anak.
Dan dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan taatilah Allah dan Rasul-Nya. Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu, hai ahlul bait dan membersihkan kamu sebersih-bersihnya. Dan ingatlah apa yang dibacakan di rumahmu dari ayat-ayat Allah dan hikmah (sunnah Nabimu). Sesungguhnya Allah adalah Maha Lembut lagi Maha Mengetahui (QS. al-Ahzab [33] : 33-34).
Fakta hari ini umumnya kaum istri lebih mementingkan menonton film india, korea, sinetron, infotainment, bersosialita di medsos, ngerumpi di halaman rumah, dan semacamnya, daripada memperbanyak membaca al-Qur`an, hadits, buku, majalah atau bulletin Islam, memperbanyak shalat dan berderma. Makanya jangan heran jika pendidikan karakter untuk bangsa ini selalu terjebak pada kegagalan, karena suami-istrinya sendiri sudah gagal memerankan suami-istri yang berkarakter mulia. Na’udzu bil-‘Llah min dzalik.

Related Articles

Back to top button