Apa hukumnya jika seorang istri menggugat cerai karena tidak ingin dimadu? Dan apakah ada masa ‘iddah bagi perempuan tersebut untuk menikah lagi? 08965611xxxx
Hukumnya mubah/halal/boleh jika istri merasa tidak bisa lagi berbakti kepada suaminya. Ini sesuai dengan firman Allah swt dalam QS. al-Baqarah [2] : 229 yang mensyaratkan: “Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami istri) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Firman Allah swt: “tidak ada dosa” berarti mubah/halal/boleh. Syaratnya istri membayar tebusan (‘iwadl) kepada suami. ‘Iwadl yang dimaksud bisa mas kawin atau pemberian lainnya dari suami kepada istri. Bisa lebih besar, bisa juga lebih kecil daripada yang sudah diberikan oleh suaminya. Berdasarkan keumuman firman Allah swt: “bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya.”
Pada zaman Nabi saw, khulu’ (istri melepas statusnya sebagai istri suaminya/gugat cerai) yang pertama kali terjadi juga disebabkan seorang istri yang tidak bisa berbakti kepada suaminya karena wajah suaminya yang jelek. Setiap kali melihatnya, ia ingin meludahinya (Bulughul-Maram no. 1096-1097). Daripada ia kufur kepada suaminya maka ia mengajukan permohonan cerai kepada suaminya melalui Nabi saw.
عَنْ اِبْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ اِمْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ أَتَتْ اَلنَّبِيَّ ﷺ فَقَالَتْ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ثَابِتُ بْنُ قَيْسٍ مَا أَعِيبُ عَلَيْهِ فِي خُلُقٍ وَلَا دِينٍ وَلَكِنِّي أَكْرَهُ اَلْكُفْرَ فِي الْإِسْلَامِ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ أَتَرُدِّينَ عَلَيْهِ حَدِيقَتَهُ? قَالَتْ: نَعَمْ قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ اِقْبَلِ اَلْحَدِيقَةَ وَطَلِّقْهَا تَطْلِيقَةً) رَوَاهُ اَلْبُخَارِيُّ وَفِي رِوَايَةٍ لَهُ : (وَأَمَرَهُ بِطَلَاقِهَا)
Dari Ibn ‘Abbas ra bahwasanya istri Tsabit ibn Qais menghadap Nabi saw dan berkata: “Wahai Rasulullah, aku tidak menemukan ‘aib pada Tsabit ibn Qais baik dalam akhlaq atau agama, namun aku takut kufur dalam Islam (tidak berbakti kepada suami).” Lalu Rasulullah saw bersabda: “Apakah engkau mau mengembalikan kebunnya kepadanya?” Ia menjawab: “Ya.” Maka Rasulullah saw bersabda (kepada Tsabit Ibnu Qais): “Terimalah kebun itu dan ceraikanlah ia sekali talak.” Riwayat Bukhari. Dalam riwayatnya yang lain: “Beliau menyuruhnya untuk menceraikannya.” (Bulughul-Maram no. 1094).
Perintah Nabi saw untuk menceraikannya “satu thalaq” tidak berarti statusnya sama dengan thalaq satu, sebab dalam riwayat lain disebutkan:
أَنَّ امْرَأَةَ ثَابِتِ بْنِ قَيْسٍ اِخْتَلَعَتْ مِنْهُ فَجَعَلَ النَّبِيُّ ﷺ عِدَّتَهَا حَيْضَةً
“Istri Tsabit ibn Qais meminta cerai kepada beliau, lalu beliau menetapkan masa iddahnya satu kali masa haidl.” (Bulughul-Maram no. 1095).
Berdasarkan hadits ini maka masa ‘iddah istri yang khulu’ adalah satu kali haidl. Oleh karena itu para ulama mengategorikan khulu’ sebagai fasakh (pembatalan pernikahan), bukan thalaq. Kalaupun mantan istri ingin kembali kepada suaminya berarti tinggal melakukan aqad nikah baru. Wal-‘Llahu a’lam bis-shawab.