Keluarga

Meminta Calon Suami Menceraikan Istrinya

Bismillah. Ustadz mohon penjelasannya apakah hukum fiqih istri yang menggugat cerai suaminya karena suaminya mau nikah lagi, dan calon istri yang mensyaratkan kalau mau menikahinya harus menceraikan istri pertamanya. 08132069xxxx

Untuk pertanyaan pertama, terkait seorang istri menggugat cerai suaminya karena suaminya akan menikah lagi, sudah dibahas pada istifta edisi 10 April 2015 dan bisa diakses di www.attaubah-institute.com. Intinya, jika memang istri berkeyakinan ia tidak akan bisa berbakti kepada suaminya apabila ia dimadu, ia boleh (tidak ada dosa) menggugat cerai kepada suaminya dengan syarat mengembalikan mahar kepada suaminya. Al-Qur`an menyebutkan: “…maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya…” (QS. al-Baqarah [2] : 229). Pada zaman Nabi saw, khulu’ (istri melepas statusnya sebagai istri suaminya/gugat cerai) yang pertama kali terjadi juga disebabkan seorang istri yang tidak bisa berbakti kepada suaminya karena wajah suaminya yang jelek. Setiap kali melihatnya, ia ingin meludahinya. Daripada ia kufur kepada suaminya maka ia mengajukan permohonan cerai kepada suaminya melalui Nabi saw (Bulughul-Maram no. 1096-1097).

Untuk pertanyaan kedua, terkait calon istri yang meminta calon suami menceraikan istrinya, hukumnya haram. Jangankan masih calon istri, sudah berstatus sebagai istri pun hukumnya haram. Nabi saw bersabda dalam hadits yang diriwayatkan oleh Abu Hurairah ra:

لَا يَحِلُّ لِامْرَأَةٍ تَسْأَلُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَسْتَفْرِغَ صَحْفَتَهَا فَإِنَّمَا لَهَا مَا قُدِّرَ لَهَا

Tidak halal bagi seorang istri meminta (suami) menceraikan saudarinya (sesama istri dari suaminya) agar ia bisa meminta dipenuhi selalu piringnya. Sungguh baginya telah ada apa yang ditaqdirkan baginya (Shahih al-Bukhari kitab an-nikah bab as-syuruthil-lati la tahillu fin-nikah no. 5152).

Dalam sanad yang lain dan dituliskan juga oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Bulughul-Maram no. 829, Nabi saw bersabda sebagai berikut:

…وَلَا يَخْطُبُ عَلَى خِطْبَةِ أَخِيهِ وَلَا تَسْأَلُ الْمَرْأَةُ طَلَاقَ أُخْتِهَا لِتَكْفَأَ مَا فِي إِنَائِهَا

…Tidak boleh seorang muslim mengkhithbah di atas khithbah saudaranya (mengkhithbah perempuan yang sudah dikhithbah oleh orang lain) dan tidak boleh seorang perempuan meminta (suami) menceraikan saudarinya (sesama istri) agar penuh apa yang ada dalam wadahnya (Shahih al-Bukhari kitab al-buyu’ bab la yabi’ ‘ala bai’ akhihi no. 2140).

Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim bab tahrimul-jam’i bainal-mar`ah wa ‘amatiha wa khalatiha no. 2519 menjelaskan bahwa maksud larangan di atas adalah meminta suami menceraikan istri yang lainnya agar nafkahnya, perhatiannya, dan hubungan biologisnya tertuju hanya kepadanya dan tidak lagi terbagi dengan istri lainnya. Ungkapan “agar penuh wadah/piringnya” itu adalah majaz (kiasan) dari kerakusan seorang istri yang tidak mau berbagi dengan istri lainnya.

Imam al-Bukhari sendiri sebagaimana terbaca dalam tarjamah di atas menyatakan: Bab as-syuruthil-lati la tahillu fin-nikah; syarat-syarat yang tidak halal dalam nikah. Ini merupakan isyarat bahwa hal tersebut sudah lumrah terjadi dari sejak zaman dahulu bagi seorang lelaki yang akan poligami. Akan tetapi hukumnya tetap jelas, kalau seorang calon istri mensyaratkan agar calon suami menceraikan istrinya, itu adalah syarat yang haram, tidak boleh diamalkan, dan otomatis menjadi persyaratan yang tidak sah.

Hal yang sama bisa berlaku juga untuk pertanyaan pertama, yakni jika seorang istri mendesak suaminya untuk menceraikan istri keduanya atau kalau tidak ia yang menggugat cerai hanya karena tidak mau berbagi, ini termasuk yang tidak halal juga atau haram. Dibolehkan itu jika niatnya murni takut kufur kepada suami. Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Back to top button