HAMAS kependekan dari Harakah Muqawamah al-Islamiyyah (Gerakan Perlawanan Islam) merupakan organisasi pejuang Palestina yang konsisten berjuang membela hak-hak rakyat Palestina. Pemerintah AS, Inggris, Prancis, Jerman, Italia, Ukraina, dan Negara-negara Barat pada umumnya menyebut mereka sebagai Terrorist (penjahat penebar teror/ketakutan). Tetapi beberapa Negara lainnya objektif menyebut mereka sebagai Fighter (pejuang). Sejatinya HAMAS adalah pejuang hak rakyat Palestina yang tanah air mereka dirampas oleh bangsa Israel dengan penjajahan dan bahkan pembantaian.
Semuanya berawal dari kekalahan Kesultanan Turki Usmani dalam Perang Dunia I dan II yang kemudian menjadikan wilayah kekuasaannya dibagi-bagi berdasarkan kebangsaan (nasionalisme) dan kesewenang-wenangan AS dan Sekutu (Inggris, Prancis, Jerman, Italia) sebagai pemenang Perang Dunia I dan II yang mengatasnamakan PBB. Khusus untuk Palestina, Resolusi PBB No. 181 Tahun 1947 membagi wilayah Palestina menjadi tiga, yaitu: (1) Negara Yahudi mencakup 57 persen dari total wilayah Palestina. (2) Negara Arab Palestina mencakup 42 persen dari total wilayah Palestina. (3) Zona Internasional, yakni Jerusalem. Resolusi ini dinyatakan efektif berlaku pada 15 Mei 1948 dimana Inggris sebagai Pemerintahan sementara di Palestina saat itu harus sudah angkat kaki dari bumi Palestina.
Bangsa Israel yang sejak awal 1900-an massif mengoordinir warganya pindah ke wilayah Palestina aktif juga mempersenjatai diri dan membentuk militer di bawah Pemerintahan Inggris. Tepat satu hari sebelum Pemerintahan Inggris angkat kaki, bangsa Israel memproklamirkan Negara Israel di tanah Palestina. Jika tanggal 14 Mei setiap tahunnya diperingati sebagai hari ulang tahun Negara Israel, maka setiap tanggal 15 Mei bangsa Palestina memperingatinya sebagai Hari Nakbah (hari kemalangan dan bencana). Pasukan Arab dari Mesir, Irak, Lebanon, Suriah, dan Transjordan yang datang 15 Mei 1948 untuk mengamankan wilayah Palestina kemudian bentrok perang dengan Israel. Perang berlangsung selama beberapa bulan sampai 6 Januari 1949 dengan kemenangan berada di pihak Israel. Saat itu, Israel berhasil menguasai 80% wilayah Palestina (dari yang seharusnya berdasarkan Resolusi 181 sebesar 57 persen) dengan hanya menyisakan Tepi Barat, Gaza dan Jerusalem Timur.
Pada 1964, melalui Muktamar Umum Rakyat Palestina didirikan sebuah aliansi perjuangan Palestina bernama PLO (Palestine Liberation Organization/Organisasi Pembebasan Palestina). PLO menggalang dukungan dari negara-negara Arab untuk melancarkan perlawanan bersenjata kepada Israel pada tahun 1967. Mereka kemudian menggempur Israel dalam perang enam hari. Akan tetapi kedigdayaan militer Israel belum bisa dikalahkan oleh bangsa-bangsa Arab. Bahkan setelah perang, wilayah kekuasaan Israel menjadi bertambah. Ketika itu Israel berhasil menguasai seluruh Palestina; Jerusalem, Tepi Barat, dan Jalur Gaza, plus Dataran Tinggi Golan milik Suriah dan Semenanjung Sinai milik Mesir. PBB kemudian mengeluarkan Resolusi No. 242 pada 22 November 1967 yang mengharuskan Israel keluar dari seluruh wilayah yang diduduki dalam perang 1967, yaitu Jerusalem Timur, Tepi Barat, Jalur Gaza, Golan dan Sinai. Padahal Resolusi PBB sebelumnya No. 181 Tahun 1947 hanya memberi 57 persen saja untuk bangsa Israel. Dengan adanya Resolusi 242 ini, maka penjajahan Israel atas 80% bumi Palestina dinyatakan sah. Palestina jadi hanya tinggal menyisakan Tepi Barat dan Jalur Gaza yang terpisah jarak sejauh 115 km, tersekat oleh wilayah pendudukan Israel.
PLO merupakan himpunan sembilan faksi perjuangan rakyat Palestina yang kesemuanya berideologi nasionalisme; menghendaki negara untuk bangsa Palestina karena dasar kebangsaan saja dan siap mengakui kedudukan Negara Israel, bukan karena semangat perjuangan Islam untuk merebut tanah warisan leluhur umat Islam dari bangsa Israel. Faksi terbesarnya adalah Fatah yang dipimpin oleh Mahmoud Abbas dan saat ini menjadi Presiden Palestina meski belum kunjung mendapat pengakuan dari PBB.
Ideologi yang dianut oleh Fatah dan faksi-faksi lainnya di PLO ini tentu berbeda secara diametral dengan ideologi kelompok pejuang Islam Palestina yang menghendaki jihad melawan Israel. Kelompok-kelompok pejuang Islam itu di antaranya adalah Ikhwanul Muslimin (cabang dari Ikhwanul Muslimin Mesir), Jihad Islam (1980), dan Mujahidun Filisthiniyyun (1982).
Selepas perang 1967 para pemimpin Palestina di PLO sudah tidak memiliki lagi semangat jihad melawan Israel dan merelakan diri menjadi bangsa yang kalah perang. Mereka malah terlibat konflik internal memperebutkan kekuasaan dan terjerat korupsi. Kekecewaan terhadap para pemimpin Palestina di PLO dan kemarahan terhadap penjajah Israel itu pun akhirnya memuncak pada tahun 1987 dan melahirkan Intifadlah (perlawanan); sebuah gerakan rakyat yang spontan dan hanya mengandalkan senjata batu dan parang melawan tentara Israel yang dipersenjatai dengan canggih. Intifadlah ini muncul dipicu oleh pembunuhan enam orang anak-anak Palestina secara biadab oleh tentara Israel.
Para pemuda yang bergerak dalam Intifadlah tersebut kemudian mengorganisasikan diri dalam sebuah gerakan baru yang dideklarasikan oleh Syaikh Ahmad Yasin pada 14 Desember 1987 dengan nama HAMAS (Harakah Muqawamah al-Islamiyyah/Gerakan Perlawanan Islam). HAMAS terlibat aktif dalam gerakan Intifadlah yang berlangsung selama enam tahun; 1987-1993. Intifadlah berhenti seiring Kesepakatan Oslo (The Oslo Accord) yang ditandatangani oleh Yaser Arafat dan Yitsak Rabin pada 13 September 1993 di Washington DC, AS. Inti kesepakatan itu adalah rakyat Palestina menghentikan perlawanan terhadap Israel, Israel menarik pasukannya dari wilayah Tepi Barat dan Gaza, dan PLO membentuk Otorita Palestina (Palestinian Authority) guna menyiapkan pemerintahan resmi di Palestina melalui Pemilihan Umum.
Kesepakatan Oslo memancing reaksi umat Islam di dunia. Selain HAMAS di Palestina yang menolak kesepakatan tersebut, para ulama internasional pun mengutuk keras langkah PLO tersebut. Sebut misalnya Syaikh al-Utsaimin dan Aidl al-Qarni, yang bersama-sama dengan ulama lainnya menandatangani petisi yang berisi protes keras kepada PLO, sebab itu berarti sebuah pengakuan akan keberadaan Israel yang tidak punya hak sedikit pun untuk menguasai tanah Palestina.
Selang beberapa tahun kemudian, tepatnya pada tahun 2000, Perdana Menteri Israel, Ariel Sharon, memprovokasi kemarahan umat Islam. Tentaranya menembaki jama’ah shalat di masjid Yerussalem Lama pada 27 September 2000. Sehari berikutnya ia datang ke Masjidil-Aqsha dengan tentara Israel. Umat Islam Palestina spontan melancarkan lagi perlawanan Intifadlah yang kemudian dikenal dengan Intifadlah II. HAMAS kali ini pun terlibat aktif melakukan perlawanan bersenjata melalui sayap militernya, termasuk bom bunuh diri. Gerakan Intifadlah ini terus berlangsung sampai 2004, di saat Israel menarik pasukannya dari Tepi Barat dan Gaza, sesudah mereka membunuh secara membabi buta dua tokoh HAMAS, Syaikh Ahmad Yassin dan Abdul Aziz Rantisi.
Pada 7 Oktober 2023, HAMAS kembali melakukan perlawanan dengan menembakkan ribuan roket ke wilayah Israel terdekat secara mendadak. Israel kemudian membalasnya dengan melakukan penyerangan ke wilayah Gaza sehingga menimbulkan korban meninggal 1600 jiwa (sampai tanggal 10/10/2023) dari kedua belah pihak. Kementerian Luar Negeri Indonesia dalam siaran resminya menyatakan bahwa perlawanan HAMAS itu akan selalu muncul akibat kesewenang-wenangan Israel dalam menjajah bangsa Palestina. Khususnya pada beberapa tahun terakhir di mana warga Israelnya sekalipun, bukan hanya militernya, seringkali berani merampas rumah dan tanah rakyat Palestina secara membabi buta. Beberapa kali juga Masjidil-Aqsha diserang oleh tantara Israel dengan dalih mencari teroris tetapi dengan menimbulkan korban kaum muslimin yang beribadah di Masjidil-Aqsha. Belum lagi penduduk di Jalur Gaza dan Tepi Barat yang diblokade oleh Israel. Mereka tidak bebas bergerak karena selalu dibatasi dan bahkan dihalang-halangi oleh penjagaan ketat tantara Israel. Palestina sampai saat ini belum diakui sebagai Negara oleh PBB. Palestina juga tidak diizinkan memiliki polisi dan militer. Kekuasaan polisi dan militer sepenuhnya dikendalikan oleh Israel. Inilah penjajahan nyata yang masih tersisa di abad modern ini. Kalau kemudian para pejuangnya melawan penjajahan ini pantaskah mereka disebut teroris?
Mantan Wakil Presiden RI ke-10 dan 12, Jusuf Kalla, sebagaimana dilaporkan tvOneNews, mengatakan bahwa serangan roket yang diluncurkan kepada Israel merupakan wujud kebebasan dan kemerdekaan. Menurutnya, serangan kelompok HAMAS meluncurkan roket di Jalur Gaza merupakan bagian dari perjuangan merebut kemerdekaan. Lebih lanjut, Jusuf Kalla menilai serangan yang dilakukan oleh HAMAS ke Israel adalah serangan mendadak dan jarang terjadi. “Ini adalah suatu serangan yang dilakukan kerahasiaan, perencanaan luar biasa, dan jarang terjadi”.
Ketua MUI Bidang Hubungan Luar Negeri dan Kerjasama Internasional, Sudarnoto Abdul Hakim mengatakan bahwa serangan balasan HAMAS terhadap Israel bisa menjadi momentum untuk meraih kemerdekaan bangsa Palestina yang dijajah dalam kurun waktu yang cukup lama. “Kami berharap betul setiap momentum untuk kedaulatan dan kemerdekaan Palestina bisa dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh setiap faksi Palestina. Dengan cara ini, maka Israel akan semakin kehabisan waktu dan kekuatannya,” ujar Sudartono (tvOneNews).
Uskup Yerusalem, Atallah Hanna, keturunan asli Arab Palestina menyuarakan dengan lantang: “Umat Kristen dan Muslim Palestina yang tinggal di Yerusalem mengalami penderitaan akibat penjajahan, penindasan, tirani dan kezaliman. Penjajahan terhadap Yerusalem memperlakukan kami seolah-olah kami ini tamu dan orang asing di kota kami sendiri. Ini adalah wujud nyata dari kebijakan apartheid dan tindakan-tindakan yang menentang kami di Yerusalem secara khusus dan di Palestina secara umum. Walau bagaimana pun juga, kami akan tetap bertahan di Yerusalem mempertahankan tempat suci dan warisan kami. Kami menolak mentah-mentah tindakan penjajahan dan kami tidak akan menyerah. Motto kami selalu: Kemerdekaan dan kemuliaan bagi rakyat Palestina. Tempat suci agama kami akan tempat menjadi milik kami. Yerusalem akan tetap menjadi milik kami. Kami menolak kejahatan penjajahan”.
Wal-‘Llahul-Musta’an