Bagaimana sikap yang harus dilakukan seorang istri jika suaminya jarang pulang ke rumah. Ketika ditanya, suaminya memastikan ia tidak berbuat maksiat di luar. Ia pulang hanya untuk memberikan kewajiban nafkah. Sesudah itu pergi lagi dan jarang pulang? 0857-1866-xxxx
Kondisi rumah tangga yang anda tanyakan sudah diberikan tuntunannya oleh Allah swt dalam QS. An-Nisa` [4] : 128-130: Dan jika seorang wanita khawatir akan nusyuz atau sikap tidak acuh dari suaminya, maka tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya, dan perdamaian itu lebih baik (bagi mereka) walaupun manusia itu menurut tabiatnya kikir. Dan jika kamu bergaul dengan isterimu secara baik dan memelihara dirimu (dari nusyuz dan sikap tak acuh), maka sesungguhnya Allah adalah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan (128). Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara isteri-isteri(mu), walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian, karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang (129). Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya. Dan adalah Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Bijaksana (130).
Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab Tafsirnya menjelaskan:
يَقُولُ تَعَالَى مُخْبِرًا وَمُشَرِّعًا عَنْ حَالِ الزَّوْجَيْنِ: تَارَةً فِي حَالِ نُفُورِ الرَّجُلِ عَنِ الْمَرْأَةِ، وَتَارَةً فِي حَالِ اتِّفَاقِهِ مَعَهَا، وَتَارَةً فِي حَالِ فِرَاقِهِ لَهَا
Allah Ta’ala berfirman memberitahukan dan memberi tuntunan syari’at tentang keadaan suami istri: (1) Suami sering meninggalkan istri, (2) suami bersepakat dengan istri, dan (3) suami bercerai dari istri.
Dalam kondisi pertama ketika suami mulai acuh dari istrinya maka: “tidak mengapa bagi keduanya mengadakan perdamaian yang sebenar-benarnya”, maksudnya sebagaimana dijelaskan al-Hafizh Ibn Katsir:
فَلَهَا أَنْ تُسْقِطَ حَقَّهَا أَوْ بَعْضَهُ، مِنْ نَفَقَةٍ أَوْ كُسْوَةٍ، أَوْ مَبِيتٍ، أَوْ غَيْرِ ذَلِكَ مِنَ الْحُقُوقِ عَلَيْهِ، وَلَهُ أَنْ يَقْبَلَ ذَلِكَ مِنْهَا فَلَا جَنَاحَ عَلَيْهَا فِي بَذْلِهَا ذَلِكَ لَهُ، وَلَا عَلَيْهِ فِي قَبُولِهِ مِنْهَا
Istri diperbolehkan menghilangkan haknya atau mengurangi sebagiannya, baik itu nafkah, pakaian, bermalam, atau selain itu dari hak-hak yang wajib ditunaikan suami. Suami juga boleh menerimanya. Tidak menjadi dosa bagi istri dalam hal apa yang ia korbankan untuk suaminya, demikian juga untuk suami dengan menerima apa yang ditawarkan oleh istrinya.
Dengan cara itu maka akan diperoleh kondisi yang kedua “(2) suami bersepakat dengan istri”. Maka seorang suami harus berbakti maksimal kepada istrinya dan jangan menelantarkannya hingga terkatung-katung.
Tetapi jika kesepakatan tidak kunjung tercapai, maka otomatis yang terjadi adalah perceraian. Allah swt memberikan tuntunan agar masing-masing pihak berbesar hati: “Jika keduanya bercerai, maka Allah akan memberi kecukupan kepada masing-masingnya dari limpahan karunia-Nya.”Al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan:
إِذَا تَفَرَّقَا فَإِنَّ اللَّهَ يُغْنِيهِ عَنْهَا وَيُغْنِيهَا عَنْهُ، بِأَنْ يُعَوِّضَهُ بِهَا مَنْ هُوَ خَيْرٌ لَهُ مِنْهَا، وَيُعَوِّضَهَا عَنْهُ بِمَنْ هُوَ خَيْرٌ لَهَا مِنْهُ
“Jika mereka bercerai, Allah akan memberinya kecukupan atas apa yang kurang dari istrinya demikian juga sebaliknya. Allah akan menggantinya dengan istri yang lebih baik lagi, dan akan memberi ganti kepada istrinya suami yang lebih baik darinya.”
Wal-‘Llahu a’lam