Nabi Musa as Sekalipun Disuruh Belajar Lagi

Nabi Musa as sebagai orang yang paling pintar pada zamannya ternyata masih diperintahkan Allah swt untuk belajar dan berguru lagi kepada Nabi Khadlir as. Dengan tawadlu’ Nabi Khadlir as menyatakan bahwa ia memiliki ilmu yang tidak diketahui Nabi Musa as dan demikian juga sebaliknya. Nabi Musa as pun dengan tawadlu’ menimba ilmu dari Nabi Khadlir as dalam hal yang tidak diketahuinya. Sebuah teladan bahwa belajar tidak boleh pernah terhenti karena akan selalu banyak ilmu yang belum diketahui di samping ilmu yang sudah diketahui.
Awal mula kisah Nabi Musa as diperintahkan belajar kepada Nabi Khadlir as ketika ada pertanyaan dari salah seorang Bani Isra`il kepada Nabi Musa as tentang siapa orang yang paling pintar dan dijawab oleh Musa as orang itu adalah dirinya sendiri. Shahabat Ubay ibn Ka’ab ra menceritakan sebagaimana ia dengar dari Nabi saw:
بَيْنَمَا مُوسَى فِي مَلَإٍ مِنْ بَنِي إِسْرَائِيلَ جَاءَهُ رَجُلٌ فَقَالَ هَلْ تَعْلَمُ أَحَدًا أَعْلَمَ مِنْكَ قَالَ مُوسَى لَا فَأَوْحَى اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ إِلَى مُوسَى بَلَى عَبْدُنَا خَضِرٌ فَسَأَلَ مُوسَى السَّبِيلَ إِلَيْهِ فَجَعَلَ اللَّهُ لَهُ الْحُوتَ آيَةً وَقِيلَ لَهُ إِذَا فَقَدْتَ الْحُوتَ فَارْجِعْ فَإِنَّكَ سَتَلْقَاهُ وَكَانَ يَتَّبِعُ أَثَرَ الْحُوتِ فِي الْبَحْرِ فَقَالَ لِمُوسَى فَتَاهُ {قَالَ أَرَءَيۡتَ إِذۡ أَوَيۡنَآ إِلَى ٱلصَّخۡرَةِ فَإِنِّي نَسِيتُ ٱلۡحُوتَ وَمَآ أَنسَىٰنِيهُ إِلَّا ٱلشَّيۡطَٰنُ أَنۡ أَذۡكُرَهُۥۚ وَٱتَّخَذَ سَبِيلَهُۥ فِي ٱلۡبَحۡرِ عَجَبٗا قَالَ ذَٰلِكَ مَا كُنَّا نَبۡغِۚ فَٱرۡتَدَّا عَلَىٰٓ ءَاثَارِهِمَا قَصَصٗا} فَوَجَدَا خَضِرًا فَكَانَ مِنْ شَأْنِهِمَا الَّذِي قَصَّ اللَّهُ عَزَّ وَجَلَّ فِي كِتَابِهِ
Ketika Musa as ada bersama sekelompok orang Bani Isra`il, tiba-tiba datang kepadanya seseorang dan bertanya: “Apakah anda tahu ada seseorang yang lebih berilmu daripada anda?” Musa as menjawab: “Tidak.” Allah awj langsung mewahyukan kepada Musa: “Ada, hamba kami, Khadlir.” Musa lalu bertanya cara untuk bisa menemuinya. Allah menjadikan seekor ikan sebagai tanda untuknya. “Jika kamu sudah kehilangan ikan ini kembalilah, maka kamu akan menemuninya.” Maka Musa pun mengikuti jejak ikan tersebut di lautan hingga pemudanya (pelayannya) berkata kepada Musa: {“Tahukah kamu tatkala kita mencari tempat berlindung di batu tadi, maka sesungguhnya aku lupa (menceritakan tentang) ikan itu dan tidak adalah yang melupakan aku untuk menceritakannya kecuali setan dan ikan itu mengambil jalannya ke laut dengan cara yang aneh sekali.” Musa menjawab: “Itulah (tempat) yang kita cari”. Lalu keduanya kembali mengikuti jejak mereka semula—QS. al-Kahfi [18] : 63-64}. Maka mereka berdua bertemu dengan Khadlir, dan kisah mereka berikutnya adalah sebagaimana Allah awj kisahkan dalam al-Qur`an (Shahih al-Bukhari bab ma dzukira fi dzahabi Musa saw fil-bahr ilal-khadlir no. 74).
Ketika Nabi Musa as bertemu dengan Nabi Khadlir as beliau ditanya olehnya:
مَنْ أَنْتَ قَالَ أَنَا مُوسَى قَالَ مُوسَى بَنِي إِسْرَائِيلَ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَمَا شَأْنُكَ قَالَ جِئْتُ لِتُعَلِّمَنِي مِمَّا عُلِّمْتَ رَشَدًا قَالَ أَمَا يَكْفِيكَ أَنَّ التَّوْرَاةَ بِيَدَيْكَ وَأَنَّ الْوَحْيَ يَأْتِيكَ يَا مُوسَى إِنَّ لِي عِلْمًا لَا يَنْبَغِي لَكَ أَنْ تَعْلَمَهُ وَإِنَّ لَكَ عِلْمًا لَا يَنْبَغِي لِي أَنْ أَعْلَمَهُ فَأَخَذَ طَائِرٌ بِمِنْقَارِهِ مِنْ الْبَحْرِ وَقَالَ وَاللَّهِ مَا عِلْمِي وَمَا عِلْمُكَ فِي جَنْبِ عِلْمِ اللَّهِ إِلَّا كَمَا أَخَذَ هَذَا الطَّائِرُ بِمِنْقَارِهِ مِنْ الْبَحْرِ
“Siapa anda?” Musa menjawab: “Saya Musa.” Khadlir bertanya lagi: “Musa Bani Isra`il?” Beliau menjawab: “Ya.” Khadlir bertanya: “Apa kepentingan anda?” Musa menjawab: “Aku datang agar anda mengajari saya di antara petunjuk yang diajarkan kepada anda.” Khadlir berkata: “Tidakkah cukup bagi anda dengan Taurah yang ada di tangan anda dan sungguh wahyu turun kepada anda? Hai Musa, sungguh aku memiliki ilmu yang tidak mungkin bagi anda untuk mengetahui (semua)-nya dan anda pun memiliki ilmu yang tidak mungkin bagiku untuk mengetahui (semua)-nya.” Tiba-tiba ada seekor burung yang dengan paruhnya meminum air laut, lalu Khadlir berkata lagi: “Demi Allah, tidaklah ilmuku dan ilmumu di sisi Allah melainkan seperti yang diambil burung itu dengan paruhnya dari air laut.” (Shahih al-Bukhari bab qaulihi fa lamma balagha majma’a bainihima no. 4726).
Dalam riwayat lain disebutkan oleh Khadlir as:
يَا مُوسَى إِنِّي عَلَى عِلْمٍ مِنْ عِلْمِ اللَّهِ عَلَّمَنِيهِ لَا تَعْلَمُهُ أَنْتَ وَأَنْتَ عَلَى عِلْمٍ عَلَّمَكَهُ لَا أَعْلَمُهُ
Hai Musa, sungguh aku berada dalam ilmu yang Allah ajarkan kepadaku tetapi tidak diketahui oleh anda dan anda pun berada dalam ilmu yang Allah ajarkan kepada anda tetapi tidak diketahui olehku (Shahih al-Bukhari bab ma yustahabbu lil-‘alim idza su`ila ayyun-nas a’lam fa yakilul-‘ilma ilal-‘Llah no. 122).
Terkait dialog di atas, Imam al-Bukhari memberikan catatan:
بَاب مَا يُسْتَحَبُّ لِلْعَالِمِ إِذَا سُئِلَ أَيُّ النَّاسِ أَعْلَمُ فَيَكِلُ الْعِلْمَ إِلَى اللَّهِ
Dianjurkan bagi seorang alim apabila ditanya siapa orang yang paling berilmu maka ia menyerahkannya kepada Allah.
Jadi meskipun jawaban Musa as di awal tidak terlalu salah karena memang sebagaimana diakui oleh Nabi Khadlir bahwa Nabi Musa as adalah Nabi yang dianugerahi Allah Taurah dan diberi wahyu oleh-Nya sehingga pastinya beliau sebagai orang yang paling pintar, akan tetapi keliru besar kalau kemudian tidak tawadlu’. Sebagaimana sudah diketahui, tawadlu’ adalah merendah diri dari satu kedudukan yang memang pantas dimiliki. Jadi meskipun Nabi Musa as berstatus sebagai orang yang paling pintar, tetap saja beliau keliru karena tidak tawadlu’. Semestinya beliau tawadlu’ dengan menyerahkannya kepada Allah swt dan berkata: “Allah lebih mengetahuinya.”
Hadits di atas juga mengajarkan bahwa seseorang yang paling pintar sekalipun tetap saja ada ilmu-ilmu yang pasti belum ia ketahui, sebab ilmu Allah itu luas seluas lautan, sementara ilmu yang dimiliki oleh seseorang yang paling pintar sekalipun hanya seukuran yang terminum oleh seekor burung dari air lautan itu. Melalui kisah ini Allah swt hendak memberikan pengajaran untuk jangan pernah berhenti belajar, sebab masih banyak ilmu yang belum diketahui. Orang yang berhenti belajar dan berguru itu disebabkan karena ia merasa paling pintar dan itu pertanda ketidaktawadluannya alias takabbur.
Kegiatan belajar yang ditempuh oleh Nabi Musa as kepada Khadlir as dicatat oleh Imam al-Bukhari:
بَاب مَا ذُكِرَ فِي ذَهَابِ مُوسَى صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ فِي الْبَحْرِ إِلَى الْخَضِرِ وَقَوْلِهِ تَعَالَى{هَلْ أَتَّبِعُكَ عَلَى أَنْ تُعَلِّمَنِي مِمَّا عُلِّمْتَ رُشْدًا}
Kisah perginya Musa shallal-‘Llah ‘alaih mengarungi lautan untuk menemui Khadlir dan firman Allah ta’ala (terkait pernyataan Musa): “Bolehkah aku mengikutimu supaya kamu mengajarkan kepadaku ilmu yang benar di antara ilmu-ilmu yang telah diajarkan kepadamu?”
Artinya kegiatan belajar itu dianjurkan sampai menyeberang lautan dan bahkan kepada guru yang semula tidak dikenal tetapi sudah ada jaminan dari Allah swt bahwa guru itu memang layak untuk dijadikan guru.
Dalam konteks hari ini minimalnya menyeberang dari rumah ke masjid, majelis ta’lim, atau Pesantren. Menyeberang dari satu daerah ke daerah lain, ke kota lain, ke pulau lain, atau ke negara lain. Jika tidak bisa menyeberang secara fisik bisa menyeberang secara online atau melalui karya-karya tulis yang tersedia. Intinya kegiatan belajar tidak boleh terhenti hanya merasa diri sudah menjadi seseorang yang berilmu.
Kisah selanjutnya terkait belajarnya Musa as kepada Khadlir as adalah sebagaimana diulas dalam al-Qur`an surat al-Kahfi [18] : 60-82. Nabi Musa as diberi syarat untuk bersabar dan tidak bertanya terlebih dahulu dalam hal-hal yang akan dirasakan janggal olehnya hingga Khadlir yang memberikan penjelasan. Tetapi karakter kritis Nabi Musa as menyebabkan beliau tidak bisa tidak bertanya kepada Khadlir ketika ia melubangi perahu yang sudah ditumpanginya, membunuh seorang anak kecil, dan dengan sukarela membetulkan bangunan yang akan roboh tanpa upah padahal saat itu sedang butuh upah untuk makan. Penjelasan lengkapnya silahkan rujuk surat al-Kahfi, yang di akhir penjelasannya Khadlir as menyatakan:
وَمَا فَعَلۡتُهُۥ عَنۡ أَمۡرِيۚ ذَٰلِكَ تَأۡوِيلُ مَا لَمۡ تَسۡطِع عَّلَيۡهِ صَبۡرٗا
“…dan bukanlah aku melakukannya itu menurut kemauanku sendiri (melainkan berdasarkan perintah Allah—pen). Demikian itu adalah tujuan perbuatan-perbuatan yang kamu tidak dapat sabar terhadapnya.” (QS. al-Kahfi [18] : 82)
Wal-‘Llahu a’lam