Nabi Ayyub as Terus Bernafsu Kaya

Nabi Ayyub as semula hidup berkecukupan, kemudian diuji dengan penyakit selama 13 tahun hingga hidup miskin dan ditinggalkan oleh keluarganya kecuali istrinya. Setelah itu dianugerahi kesembuhan dan diberikan harta melimpah kembali. Sesudah hartanya berlimpah, beliau diberikan lagi peluang menambah harta, dan ternyata beliau terus bernafsu bertambah kaya kembali. Sebuah pertanda bahwa bernafsu kaya seperti Nabi Ayyub as tidak berdosa.
Imam al-Bukhari hanya menuliskan satu hadits terkait Nabi Ayyub as, yakni tentang sikap beliau yang tidak puas dengan kekayaan yang sudah dimilikinya kembali.
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ عَنْ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ بَيْنَمَا أَيُّوبُ يَغْتَسِلُ عُرْيَانًا خَرَّ عَلَيْهِ رِجْلُ جَرَادٍ مِنْ ذَهَبٍ فَجَعَلَ يَحْثِي فِي ثَوْبِهِ فَنَادَاهُ رَبُّهُ يَا أَيُّوبُ أَلَمْ أَكُنْ أَغْنَيْتُكَ عَمَّا تَرَى قَالَ بَلَى يَا رَبِّ وَلَكِنْ لَا غِنَى لِي عَنْ بَرَكَتِكَ
Dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Ketika Ayyub mandi telanjang, tiba-tiba berjatuhan kepadanya sekumpulan belalang emas. Beliau lalu mengeruknya dengan kedua tangannya dan disimpan di bajunya. Rabbnya lantas menyerunya: ‘Hai Ayyub, bukankah Aku sudah mencukupkan kamu dari apa yang kamu lihat ini?’ Ayyub menjawab: ‘Benar wahai Rabbku, tetapi aku tidak akan pernah merasa cukup dari barakah-Mu’.” (Shahih al-Bukhari bab qaulil-‘Llah ta’ala wa Ayyub idz nada Rabbahu anni massaniyad-dlurr no. 3391).
Al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari menjelaskan, hadits-hadits yang menceritakan kisah Nabi Ayyub as memang banyak, tetapi yang memenuhi standar shahih untuk Shahih al-Bukhari hanya hadits Abu Hurairah ra di atas. Hadits lainnya yang paling shahih sesudah hadits di atas adalah yang diriwayatkan Ibn Abi Hatim, Ibn Juraij, Ibn Hibban, dan al-Hakim dari Anas ra sebagai berikut:
أَنَّ أَيُّوبَ اُبْتُلِيَ فَلَبِثَ فِي بَلَائِهِ ثَلَاثَ عَشْرَةَ سَنَةً، فَرَفَضَهُ الْقَرِيبُ وَالْبَعِيدُ إِلَّا رَجُلَيْنِ مِنْ إِخْوَانِهِ فَكَانَا يَغْدُوَانِ إِلَيْهِ وَيَرُوحَانِ، فَقَالَ أَحَدُهُمَا لِلْآخَرِ: لَقَدْ أَذْنَبَ أَيُّوبُ ذَنْبًا عَظِيمًا وَإِلَّا لَكُشِفَ عَنْهُ هَذَا الْبَلَاءُ، فَذَكَرَهُ الْآخَرُ لِأَيُّوبَ، يَعْنِي فَحَزِنَ وَدَعَا اللَّهَ حِينَئِذٍ فَخَرَجَ لِحَاجَتِهِ وَأَمْسَكَتْ اِمْرَأَتُهُ بِيَدِهِ فَلَمَّا فَرَغَ أَبْطَأَتْ عَلَيْهِ، فَأَوْحَى اللَّهُ إِلَيْهِ أَنْ اُرْكُضْ بِرِجْلِك، فَضَرَبَ بِرِجْلِهِ الْأَرْضَ فَنَبَعَتْ عَيْنٌ فَاغْتَسَلَ مِنْهَا فَرَجَعَ صَحِيحًا، فَجَاءَتْ اِمْرَأَتُهُ فَلَمْ تَعْرِفْهُ، فَسَأَلْته عَنْ أَيُّوبَ فَقَالَ: إِنِّي أَنَا هُوَ، وَكَانَ لَهُ أَنْدَرَانِ: أَحَدُهُمَا لِلْقَمْحِ وَالْآخَرُ لِلشَّعِيرِ، فَبَعَثَ اللَّهُ لَهُ سَحَابَةً فَأَفْرَغَتْ فِي أَنْدَرِ الْقَمْحِ الذَّهَبَ حَتَّى فَاضَ، وَفِي أَنْدَرِ الشَّعِيرِ الْفِضَّةَ حَتَّى فَاضَ
Sungguh Ayyub as diuji dan ia bertahan dalam ujiannya selama 13 tahun. Kerabat dekat dan jauhnya menjauhinya kecuali dua kawannya. Keduanya rutin menjenguk pagi dan siang. Pada satu waktu, salah seorangnya berkata kepada kawannya: “Sungguh Ayyub telah berdosa besar. Jika tidak, pasti sudah hilang ujiannya ini dari sejak lama.” Salah satu kawannya tersebut kemudian menceritakannya kepada Ayyub, sehingga ia pun bersedih dan berdo’a kepada Allah pada saat itu juga. Di lain waktu Ayyub keluar untuk buang air. Istrinya menuntun tangannya. Setelah Ayyub selesai, istrinya terlambat datang. Maka Allah mewahyukan kepadanya: “Hentakkanlah kakimu.” Ia pun menghentakkan kakinya ke tanah sehingga memancar mata air. Ayyub lalu mandi dengan air itu dan pulang dalam keadaan sehat kembali. Istrinya lalu datang dan tidak mengenalinya. Ia bertanya ke mana Ayyub, dan Ayyub pun menjawab: “Sungguh aku ini adalah ia.” Ayyub memiliki dua gundukan, yang satu gandum dan satunya lagi sereal. Allah lalu mengirimkan awan kepadanya dan menurunkan emas pada gundukan gandum sehingga meluap, dan pada gundukan sereal menurunkan perak sehingga meluap juga (Fathul-Bari bab qaulil-‘Llah ta’ala wa Ayyub idz nada Rabbahu anni massaniyad-dlurr).
Riwayat-riwayat lainnya yang masih bisa dijadikan rujukan adalah riwayat Ibn Abi Hatim dari Ibn ‘Abbas yang menyebutkan bahwa istri Ayyub as kemudian dijadikan muda kembali dan melahirkan 26 orang anak. Dalam riwayat Muhammad ibn Ishaq disebutkan bahwa Ayyub semula memiliki keluarga dan harta yang melimpah. Allah swt kemudian mengujinya sehingga keluarga dan hartanya berkurang sedikit demi sedikit bahkan hingga habis. Setelah itu ia diberi penyakit parah hingga diusir dari kampung halamannya karena masyarakat khawatir tertular penyakitnya. Ayyub as pun hidup hanya ditemani istrinya. Istrinya sabar dalam merawat Ayyub as sekaligus mencari nafkah dengan menjadi pembantu di kampung terdekat.
Terkait izin dari Allah swt untuk memukul istrinya sebagaimana disinggung QS. Shad [38] : 41-44 (ayat lainnya yang menceritakan Nabi Ayyub as adalah QS. al-Anbiya` [21] : 83-84), ada banyak riwayat yang menceritakannya. Ada yang menyebutkan bahwa istrinya ditipu oleh seorang tabib yang sebenarnya Iblis, jika ingin segera sembuh ketika minum obat jangan membaca basmalah; atau harus meyakini bahwa yang menyembuhkannya obat itu atau ia sebagai tabibnya, bukan Allah; dan ada juga yang meriwayatkan bahwa istrinya mengeluh kenapa Ayyub as tidak kunjung diijabah do’anya; atau sebagaimana diriwayatkan hadits Anas ra di atas karena istrinya terlambat datang membawakan air hingga Ayyub as disuruh Allah swt menghentakkan kakinya ke tanah.
Mayoritas riwayat menyebutkan bahwa istri Ayyub as adalah cucu dari Nabi Yusuf as. Disebutkan juga bahwa Ayyub as hidup sehat dan kaya selama 70 tahun, kemudian diuji dengan sakit dan miskin selama 13 tahun, lalu hidup sehat dan kaya kembali sesudahnya selama 10 tahun hingga wafat di usia 93 tahun (Fathul-Bari bab qaulil-‘Llah ta’ala wa Ayyub idz nada Rabbahu anni massaniyad-dlurr).
Teguran Allah swt kepada Nabi Ayyub as dalam hadits Abu Hurairah ra di awal berkaitan dengan emas perak yang sudah diberikan kepadanya sebagaimana disinggung pada hadits Anas ra berikutnya. Emas dan perak yang sudah melimpah dimiliki Ayyub as sudah lebih dari cukup. Tetapi ketika Allah swt menurunkan lagi belalang-belalang emas kepadanya di waktu Ayyub as mandi, ternyata Ayyub as masih mengambilnya kembali. Meski demikian Allah swt tidak menyalahkan Ayyub as ketika ia menjawab bahwa ia tidak mungkin akan merasa cukup dari barakah Allah swt. Terkait hal ini, al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan:
وَفِي الْحَدِيثِ جَوَازُ الْحِرْصِ عَلَى الِاسْتِكْثَارِ مِنْ الْحَلَالِ فِي حَقِّ مَنْ وَثِقَ مِنْ نَفْسِهِ بِالشُّكْرِ عَلَيْهِ، وَفِيهِ تَسْمِيَةُ الْمَالِ الَّذِي يَكُونُ مِنْ هَذِهِ الْجِهَةِ بَرَكَةً، وَفِيهِ فَضْلُ الْغَنِيِّ الشَّاكِرِ وَسَيَأْتِي بَقِيَّةُ مَبَاحِثِ هَذِهِ الْخَصْلَةِ الْأَخِيرَةِ فِي الرِّقَاقِ إِنْ شَاءَ اللَّهُ تَعَالَى
Hadits ini menunjukkan bolehnya bernafsu memperbanyak yang halal bagi orang yang sudah kuat dirinya dengan syukur atas nikmat tersebut. Hadits ini juga menunjukkan penamaan harta yang dimiliki dengan model seperti ini sebagai barakah. Hadits ini juga menunjukkan keutamaan orang kaya yang bersyukur. Dan akan datang pembahasan lebih lanjut tentang karakter ini dalam bab kelembutan hati, in sya`al-‘Llah ta’ala (Fathul-Bari bab qaulil-‘Llah ta’ala wa Ayyub idz nada Rabbahu anni massaniyad-dlurr).
Dalam bab ar-riqaq (kelembutan hati) al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan panjang lebar bahwa orang kaya juga istimewa—bukan hanya orang miskin—jika disertai syukur. Jika hanya sekedar ambisi untuk memperbanyak harta semata tanpa syukur maka hukumnya berdosa (rujuk: https://attaubah-institute.com/dosa-ambisi-memperbanyak-harta/). Orang kaya yang bersyukur memiliki beberapa kriteria, di antaranya:
Pertama, hidupnya berorientasi pada kafaf (hidup cukup); tidak berkekurangan, tetapi juga tidak berlebihan apalagi sampai taraffuhat (mewah).
Kedua, banyak berderma dengan hartanya, sebagaimana irinya para shahabat miskin kepada shahabat yang kaya karena mereka bisa beribadah harta sementara shahabat miskin tidak bisa seperti mereka.
Ketiga, tidak terpalingkan dari ibadah kepada Allah swt. Teladannya ada pada Nabi Dawud dan Sulaiman as yang merutinkan shaum Dawud, shalat Dawud, dan dzikir pagi petang (QS. Saba` [34] : 13 dan Shad [38] : 32-33).
Keempat, kekayaan yang dimiliki bukan karena ambisi kaya, melainkan karena anugerah Allah swt dari ghanimah, sebagaimana halnya Nabi saw dan para shahabat setelah banyak kemenangan Islam (futuh) terhadap bangsa kafir. Dalam hal ini ada kesamaan dengan yang dialami Nabi Ayyub as sebagaimana diuraikan di atas.
Kelima, sebagaimana Nabi saw dan para shahabat, kekayaan yang dimiliki itu ada yang langsung dihabiskan kembali untuk shadaqah—dan ini hanya sebagian kecil shahabat saja, ada juga yang diinvestasikan (tatsmir) agar kemanfaatannya bisa dirasakan lebih luas oleh masyarakat miskin—dan ini yang dilakukan oleh mayoritas shahabat.
Keenam, kaya syukur ini satu pasang dengan akhlaq miskin sabar, sebagaimana Nabi saw dan para shahabat antara sebelum futuh dan sesudahnya. Demikian juga sebagaimana Nabi Ayyub as sebelum sakit, ketika sakit, dan sesudah sembuh kembali. Tentunya siapapun orangnya akan diuji oleh Allah swt dengan miskin, sakit, dan musibah lainnya, baik orang kaya apalagi miskin. Ketika mampu menjaga keseimbangan keduanya maka sah terbukti sebagai orang yang bersyukur dan dijanjikan Allah swt dengan bertambahnya nikmat, sebagaimana diajarkan dalam QS. al-Baqarah [2] : 151-157, atau sebagaimana dimaklumatkan Nabi Musa as kepada Bani Israil dalam QS. Ibrahim [14] : 5-8.
Wal-‘Llahu a’lam