Janaiz

Misteri Proses Kematian

Kiamat diawali dengan kematian. Prosesnya pasti akan selalu menjadi misteri karena tidak ada seorang pun yang pernah mengalaminya dan kemudian menceritakannya. Satu-satunya informasi valid tentang prosesnya hanya wahyu melalui Nabi ﷺ. Dari hadits-hadits Nabi ﷺ itu diketahui bahwa setiap orang akan merasakan proses kematian yang berat. Nabi ﷺ menyebutnya sakaratul-maut.

Sakarat satu akar kata dengan sukara yang diartikan “mabuk” dalam al-Qur`an terjemah Kementerian Agama RI pada QS. an-Nisa` [4] : 43 dan al-Hajj [22] : 2. Ar-Raghib al-Ashfahani sebagaimana dikutip oleh al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari menjelaskan makna sakarat adalah: “Keadaan yang mengganggu antara seseorang dengan akal/kesadarannya. Kebanyakan digunakan dalam minuman yang memabukkan. Tetapi terkadang digunakan juga untuk marah, nafsu berlebih, sakit parah, kantuk, dan pingsan yang diakibatkan rasa sakit.” Sakaratul-maut itu sendiri, al-Hafizh menegaskan, semakna dengan pingsan yang diakibatkan rasa sakit (Fathul-Bari bab sakaratul-maut).

Ini berarti bahwa proses kematian itu pasti beratnya. Kalaupun ada ajaran do’a agar ditolong dalam sakaratul-maut, maksudnya tentu agar selamat husnul-khatimah, karena memang proses kematian itu sendiri pasti beratnya. Al-Qur`an menggambarkan sakaratul-maut sebagai berikut:

وَجَآءَتۡ سَكۡرَةُ ٱلۡمَوۡتِ بِٱلۡحَقِّۖ ذَٰلِكَ مَا كُنتَ مِنۡهُ تَحِيدُ  ١٩

Dan datanglah sakaratul maut dengan sebenar-benarnya. Itulah yang kamu selalu lari daripadanya (QS. Qaf [50] : 19).

كَلَّآ إِذَا بَلَغَتِ ٱلتَّرَاقِيَ  ٢٦ وَقِيلَ مَنۡۜ رَاقٖ  ٢٧ وَظَنَّ أَنَّهُ ٱلۡفِرَاقُ  ٢٨ وَٱلۡتَفَّتِ ٱلسَّاقُ بِٱلسَّاقِ  ٢٩ إِلَىٰ رَبِّكَ يَوۡمَئِذٍ ٱلۡمَسَاقُ  ٣٠

Sekali-kali jangan. Apabila nafas (seseorang) telah (mendesak) sampai ke kerongkongan, dan dikatakan (kepadanya): “Siapakah yang dapat menyembuhkan?”, dan dia yakin bahwa sesungguhnya itulah waktu perpisahan (dengan dunia), dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan), kepada Tuhanmulah pada hari itu kamu dihalau (QS. al-Qiyamah [75] : 26-30).

Ada banyak penafsiran dari para ulama terkait makna “dan bertaut betis (kiri) dan betis (kanan)”. Dari kesemua penjelasan tersebut terdapat benang merah bahwa itu adalah makna kiasan dari beratnya proses kematian (Tafsir Ibn Katsir).

Nabi saw sendiri, sebagaimana dijelaskan ‘Aisyah ra, mengalami proses sakaratul-maut yang sangat berat.

عن عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا كَانَتْ تَقُولُ إِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ بَيْنَ يَدَيْهِ رَكْوَةٌ أَوْ عُلْبَةٌ فِيهَا مَاءٌ يَشُكُّ عُمَرُ فَجَعَلَ يُدْخِلُ يَدَيْهِ فِي الْمَاءِ فَيَمْسَحُ بِهِمَا وَجْهَهُ وَيَقُولُ لَا إِلَهَ إِلَّا اللَّهُ إِنَّ لِلْمَوْتِ سَكَرَاتٍ ثُمَّ نَصَبَ يَدَهُ فَجَعَلَ يَقُولُ فِي الرَّفِيقِ الْأَعْلَى حَتَّى قُبِضَ وَمَالَتْ يَدُهُ

Dari ‘Aisyah ra, ia berkata: Sungguh Rasulullah saw di depan beliau ada wadah dari kulit atau wadah dari kayu—‘Umar ibn Sa’id, salah seorang perawi, ragu—berisi air. Beliau memasukkan tangannya ke dalam air tersebut lalu mengusapkannya pada wajahnya sambil bersabda: “La ilaha illal-‘Llah, sungguh kematian itu memiliki sakarat.” Kemudian beliau mengeraskan genggaman tangannya sambil bersabda: “Pada tempat yang dekat dan tinggi,” sehingga dicabut ruhnya dan lemaslah tangan beliau (Shahih al-Bukhari bab sakaratil-maut no. 6510).

Dalam riwayat Ahmad dan at-Tirmidzi disebutkan bahwa saat itu Nabi saw berdo’a:

اللَّهُمَّ أَعِنِّي عَلَى سَكَرَات الْمَوْت

Wahai Allah, tolonglah aku dalam sakaratul-maut (Musnad Ahmad musnad as-shiddiqah ‘Aisyah no. 24356; Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fit-tasydid ‘indal-maut no. 978).

Do’a ini tidak berarti bahwa sakaratul-maut dipastikan akan ringan, sebab faktanya sekelas Nabi saw pun tetap mengalami sakaratul-maut yang berat. ‘Aisyah ra sendiri menyatakan:

مَا أَغْبِطُ أَحَدًا بِهَوْنِ مَوْتٍ بَعْدَ الَّذِي رَأَيْتُ مِنْ شِدَّةِ مَوْتِ رَسُولِ اللَّهِ ﷺ

Saya tidak iri lagi kepada seseorang yang ringan meninggal dunianya setelah saya lihat sendiri bagaimana beratnya kewafatan Rasulullah saw (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fit-tasydid ‘indal-maut no. 979).

Menurut al-Hafizh Ibn Hajar, ini sesuai dengan status beliau sendiri sebagai Nabi yang pasti akan mendapatkan cobaan lebih berat daripada manusia biasa, termasuk cobaan ketika sakaratul-maut:

إِنَّا مَعَاشِر الْأَنْبِيَاء يُضَاعَف لَنَا الْبَلَاء كَمَا يُضَاعَف لَنَا الْأَجْر

Kami sekalian para Nabi dilipatgandakan cobaan bagi kami sebagaimana dilipatgandakan pahala bagi kami (Fathul-Bari mengutip riwayat Abu Ya’la dari Abu Sa’id).

Ini jadi dalil bahwa beratnya sakaratul-maut seseorang tidak jadi patokan celakanya dia di dunia dan akhiratnya. Siapa pun tidak boleh menjadikan keadaan sakaratul-maut seseorang untuk memberikan penilaian atas amalnya. Bahkan orang seshalih ‘Umar ibn ‘Abdul-‘Aziz pun memandang sakaratul-maut yang berat itu  bermanfaat untuk menambah pahalanya atau menghapus dosa-dosanya:

مَا أُحِبُّ أَنْ يُهَوَّن عَلَيَّ سَكَرَاتُ الْمَوْتِ إِنَّهُ لَآخِرُ مَا يُكَفَّر بِهِ عَنْ الْمُؤْمِنِ

Aku tidak ingin diringankan dalam sakaratul-maut karena sungguh itu adalah hal terakhir yang bisa menghapuskan dosa seorang mu`min (Fathul-Bari bab sakaratul-maut).

Terlepas dari proses sakaratul-maut yang berat, setiap mukmin akan merasakan ketenangan sempurna selepas kematian, sebagaimana Nabi saw sabdakan dalam salah satu haditsnya:

عَنْ أَبِي قَتَادَةَ بْنِ رِبْعِيٍّ الْأَنْصَارِيِّ أَنَّهُ كَانَ يُحَدِّثُ أَنَّ رَسُولَ اللهِ ﷺ مُرَّ عَلَيْهِ بِجِنَازَةٍ فَقَالَ مُسْتَرِيحٌ وَمُسْتَرَاحٌ مِنْهُ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ مَا الْمُسْتَرِيحُ وَالْمُسْتَرَاحُ مِنْهُ قَالَ الْعَبْدُ الْمُؤْمِنُ يَسْتَرِيحُ مِنْ نَصَبِ الدُّنْيَا وَأَذَاهَا إِلَى رَحْمَةِ اللَّهِ وَالْعَبْدُ الْفَاجِرُ يَسْتَرِيحُ مِنْهُ الْعِبَادُ وَالْبِلَادُ وَالشَّجَرُ وَالدَّوَابُّ

Dari Abu Qatadah ibn Rib’i al-Anshari, ia menceritakan bahwa Rasulullah saw pernah dibawa lewat seorang jenazah ke hadapan beliau, lalu beliau bersabda: “Ia beristirahat atau dijadikan istirahat darinya.” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa maksud beristirahat dan dijadikan istirahat darinya?” Beliau menjawab: “Seorang hamba mukmin beristirahat dari kelelahan dunia dan gangguannya menuju rahmat Allah. Sementara hamba yang pendosa dijadikan istirahat darinya manusia, negeri, pohon, dan hewan.” (Shahih al-Bukhari bab sakaratil-maut no. 6512)

Huruf wawu dalam kalimat al-mustarih walmustarah minhu bermakna au (atau) atau bermakna taqsim; pembagian. Jadi ada dua jenis kematian, antara yang mustarih dan mustarah minhu. Orang mati yang mustarih adalah mukmin yang merasakan ketenangan dan istirahat sempurna, sementara mustarah minhu adalah orang-orang durhaka yang semua makhluk akan merasakan tenang dari kedurhakaannya. Jadi meski proses kematian akan terasa berat, sesudahnya seorang mukmin akan merasakan istirahat dan ketenangan yang paripurna.

Seorang mukmin yang telah meninggal juga akan merasa tenang dan bahagia di alam kubur karena ia akan dihibur dengan pemandangan surga.

إِذَا مَاتَ أَحَدُكُمْ عُرِضَ عَلَيْهِ مَقْعَدُهُ غُدْوَةً وَعَشِيًّا إِمَّا النَّارُ وَإِمَّا الْجَنَّةُ فَيُقَالُ هَذَا مَقْعَدُكَ حَتَّى تُبْعَثَ إِلَيْهِ

Apabila salah seorang di antaramu meninggal, akan diperlihatkan kepadanya tempatnya di waktu pagi dan petang apakah itu neraka atau surga. Lalu akan dikatakan kepadanya: “Ini tempatmu sampai kamu dibangkitkan nanti.” (Shahih al-Bukhari bab sakaratil-maut no. 6514).

Dalam hadits Jabir ra riwayat Ahmad dijelaskan bahwa malaikat akan berkata kepada hamba mukmin sesudah ia berhasil menjawab pertanyaan di alam kubur:

انْظُرْ إِلَى مَقْعَدِكَ الَّذِي كَانَ لَكَ فِي النَّارِ، قَدْ أَنْجَاكَ اللهُ مِنْهُ، وَأَبْدَلَكَ بِمَقْعَدِكَ الَّذِي تَرَى مِنَ النَّارِ، مَقْعَدَكَ الَّذِي تَرَى مِنَ الْجَنَّةِ، فَيَرَاهُمَا كِلَاهُمَا

“Lihatlah tempatmu di neraka, sungguh Allah telah menyelamatkanmu darinya, dan menggantikan tempatmu yang kamu lihat di neraka dengan tempatmu yang kamu lihat di surga. Maka ia melihat kedua-duanya.”

Sementara kepada orang kafir dikatakan oleh malaikat:

هَذَا مَقْعَدُكَ الَّذِي كَانَ لَكَ مِنَ الْجَنَّةِ، قَدْ أُبْدِلْتَ مَكَانَهُ مَقْعَدَكَ مِنَ النَّارِ

“Ini adalah tempatmu di surga, sungguh telah diganti dengan tempatmu di neraka.” (Musnad Ahmad bab musnad Jabir ibn ‘Abdillah ra no. 14722).

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button