Ustadz mohon dijelaskan tentang kedudukan shalat ghaib untuk jenazah Covid-19. Berhubung jenazah tersebut diurus dengan prinsip kedaruratan dan kemungkinan tidak ada yang menshalatkan. Kalaupun ada yang menshalatkan tentunya sangat terbatas jumlah yang menshalatkannya. Apakah boleh dishalatkan lagi dengan shalat ghaib ataukah tidak perlu dishalatkan lagi? Mohon penjelasannya. 0898-7933-xxxx, 0853-2025-xxxx
Shalat ghaib adalah shalat jenazah yang jenazahnya tidak ada (ghaib) di hadapan orang-orang yang menshalatkannya. Shalat ghaib pernah diamalkan pada zaman Nabi saw untuk jenazah Najasyi/Raja Habasyah, Ashhamah, yang wafat pada tahun 9 H. Nabi saw dan para shahabat shalat jenazah di tanah lapang Madinah, sementara jenazah Najasyinya sendiri ada di Habasyah, Afrika.
Dari satu praktik shalat ghaib ini melahirkan beberapa istinbath fiqih di kalangan para ulama madzhab. Ada yang menilai shalat ghaib tidak disyari’atkan untuk umatnya karena itu khusus untuk Nabi saw saja. Pendapat ini dianut oleh madzhab Maliki dan Hanafi. Ada juga yang membatasi dengan syarat tidak ada yang menshalatkan di negeri jenazah itu meninggal, seperti yang dialami oleh Najasyi tersebut. Ini dianut oleh Imam al-Khaththabi, ar-Ruyani, dan Abu Dawud. Di generasi berikutnya pendapat ini dianut oleh Ibn Taimiyyah, Ibnul-Qayyim al-Jauziyyah, kemudian ulama-ulama penganjur manhaj salaf seperti as-Sa’di dan al-‘Utsaimin. Akan tetapi madzhab Syafi’i dan Hanbali secara umum menilai bahwa contoh praktik shalat ghaib Nabi saw untuk Najasyi tersebut berlaku umum untuk jenazah lainnya yang sama-sama ghaib sekaligus tidak mungkin dihadiri karena berbeda negeri. Tidak berlaku khusus untuk Nabi saw saja dan tidak terikat persyaratan seperti yang dikemukakan al-Khaththabi di atas (Fathul-Bari bab as-shufuf ‘alal-janazah).
Berikut adalah hadits-hadits yang menerangkan shalat ghaib untuk Najasyi:
عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ نَعَى النَّجَاشِيَّ فِي الْيَوْمِ الَّذِي مَاتَ فِيهِ وَخَرَجَ بِهِمْ إِلَى الْمُصَلَّى فَصَفَّ بِهِمْ وَكَبَّرَ عَلَيْهِ أَرْبَعَ تَكْبِيرَاتٍ
Dari Abu Hurairah ra: “Sungguh Rasulullah saw mengumumkan kewafatan Najasyi pada hari ia meninggal dunia, kemudian keluar bersama shahabat menuju mushalla (tanah lapang), mengatur shaf mereka, dan bertakbir empat kali takbir.” (Shahih al-Bukhari bab at-takbir ‘alal-janazah arba’an no. 1333).
Dalam sanad lain, Abu Hurairah ra menyebutkan bahwa Nabi saw saat itu memerintahkan untuk memohonkan ampunan:
نَعَى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم النَّجَاشِىَ صَاحِبَ الْحَبَشَةِ فِى الْيَوْمِ الَّذِى مَاتَ فِيهِ فَقَالَ اسْتَغْفِرُوا لأَخِيكُمْ
Rasulullah saw mengumumkan kewafatan Najasyi penguasa Habasyah pada hari ia meninggal dunia dan bersabda: “Beristighfarlah untuk saudara kalian.” (Shahih Muslim bab fit-takbir ‘alal-janazah no. 2248).
Hadits lainnya dari Jabir ra:
عَنْ جَابِرِ بْنِ عَبْدِ اللَّهِ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَاتَ الْيَوْمَ عَبْدٌ لِلَّهِ صَالِحٌ أَصْحَمَةُ فَقَامَ فَأَمَّنَا وَصَلَّى عَلَيْهِ.
Dari Jabir ibn ‘Abdillah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Pada hari ini seorang hamba Allah yang shalih, yakni Ashhamah, telah wafat.” Beliau lalu berdiri mengimami kami dan menshalatkannya (Shahih Muslim bab fit-takbir ‘alal-janazah no. 2251).
Dalam sanad lain, Jabir ra menjelaskan:
أَنَّ نَبِيَّ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ صَلَّى عَلَى أَصْحَمَةَ النَّجَاشِيِّ فَصَفَّنَا وَرَاءَهُ فَكُنْتُ فِي الصَّفِّ الثَّانِي أَوْ الثَّالِثِ
Nabi saw menshalatkan Ashhamah Najasyi. Beliau menyuruh kami membuat shaf di belakangnya dan aku menempati shaf kedua atau ketiga (Shahih al-Bukhari bab mautin-Najasyi no. 3878).
Dalam hadits ‘Imran ibn Hushain ra dijelaskan:
فَقُمْنَا، فَصَفَفْنَا كَمَا يُصَفُّ عَلَى المَيِّتِ، وَصَلَّيْنَا عَلَيْهِ كَمَا يُصَلَّى عَلَى المَيِّتِ
Maka kami berdiri dan membuat shaf sebagaimana shaf untuk shalat jenazah dan kami pun shalat sebagaimana shalat jenazah pada umumnya (Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fi shalatin-Nabiy ‘alan-Najasyi no. 1039).
Ulama yang menilai bahwa shalat ghaib di atas hanya khusus untuk Nabi saw terhadap Najasyi saja menguatkan argumentasinya dengan kenyataan bahwa Nabi saw hanya melaksanakannya sekali untuk Najasyi saja, padahal ada banyak yang meninggal dunia di luar Madinah, termasuk para mujahidin di medan-medan jihad luar Madinah, tetapi Nabi saw tidak pernah sekalipun melaksanakan shalat ghaib atau memerintahkannya. Selain itu ada riwayat yang menerangkan bahwa Nabi saw melihat jenazah Najasyi di hadapannya, dan ini jelas khusus untuk Nabi saw saja, sehingga beliau menshalatkannya. Seandainya jenazah Najasyi tidak terlihat, maka Nabi saw tidak akan menshalatkannya, karena di antara syarat shalat jenazah itu ada jenazahnya di hadapan orang-orang yang shalat, demikian argumentasi mereka.
Argumentasi di atas dibantah dengan kenyataan bahwa Nabi saw sendiri tidak menyatakan bahwa shalat ghaib hanya khusus untuknya. Selama tidak ada dalil yang menyatakan bahwa suatu amal khusus untuk Nabi saw saja berarti statusnya kembali ke ashal yakni berlaku umum untuk seluruh umatnya.
Contoh untuk sebuah sunnah tidak harus banyak dan berulang-ulang, satu pengamalan pun sudah cukup. Sebagai perbandingan adalah shalat jum’at yang diganti dengan zhuhur secara qashar ketika safar pada saat haji wada’. Meski yang diketahuinya sekali sudah cukup untuk menjadi dalil bahwa itu adalah sunnah yang disyari’atkan. Imam an-Nawawi menyatakan bahwa jika teori fiqih ini mau diberlakukan konsisten maka pasti akan banyak sunnah yang hilang hanya karena sekali saja diamalkan oleh Nabi saw. Terlebih ada banyak riwayat yang saling menguatkan bahwa Nabi saw juga pernah melakukan shalat ghaib untuk Mu’awiyah al-Laitsi yang wafat di Bashrah.
Terkait argumentasi bahwa Nabi saw shalat ghaib karena melihat jenazah Najasyi di hadapannya, ditentang keras oleh para ulama hadits dengan ancaman jangan pernah berani mengutip hadits-hadits palsu untuk menguatkan satu argumentasi fiqih karena itu akan membawa pada jalan kehancuran.
Sementara terkait argumentasi bahwa shalat ghaib berlaku untuk jenazah yang berada di luar negeri dan tidak ada yang menshalatkan di sana, al-Hafizh Ibn Hajar menyatakan bahwa argumentasi ini tidak berdasarkan riwayat. Memang tidak ada juga riwayat yang menyebutkan bahwa di sana ada kaum muslimin yang menshalatkan, tetapi juga tidak ada riwayat yang menyatakan bahwa di sana tidak ada yang menshalatkan. Maka dari itu tidak bisa dijadikan hujjah. Meski demikian, menurut Imam al-‘Azhim Abadi, sangat mustahil seorang raja yang shalih dan berkuasa tidak ada seorang pun dari staf dan rakyatnya yang tidak masuk Islam, padahal peristiwa hijrahnya kaum muslimin ke Habasyah sudah bukan lagi isu nasional di Habasyah melainkan juga jadi isu internasional yang sampai ke kaum musyrik di Makkah. Demikian juga bagaimana reaksi Najasyi dan para staf kerajaannya yang merespon dakwah dari muhajirin dengan beriman kepada Nabi Muhammad saw sudah diabadikan dalam al-Qur`an surat al-Ma`idah [5] : 82-86. Bukan hanya Najasyi yang masuk Islam saat itu, tetapi juga para staf kerajaannya. Maka dari itu bisa dinilai mustahil jika di Habasyah kemudian tidak ada yang menshalatkannya (disadur dari Fathul-Bari bab as-shufuf ‘alal-janazah dan ‘Aunul-Ma’bud bab fis-shalat ‘alal-muslim yamutu fi bilad Ahlis-Syirk).
Maka dengan “sedikit kasar” Imam as-Syaukani membantah semua argumentasi yang menolak pemberlakukan syari’at shalat ghaib secara umum dengan menyatakan:
وَالْحَاصِلُ أَنَّهُ لَمْ يَأْتِ الْمَانِعُونَ مِنْ الصَّلَاةِ عَلَى الْغَائِبِ بِشَيْءٍ يُعْتَدَّ بِهِ سِوَى الِاعْتِذَارِ بِأَنَّ ذَلِكَ مُخْتَصٌّ بِمَنْ كَانَ فِي أَرْضٍ لَا يُصَلَّى عَلَيْهِ فِيهَا، وَهُوَ أَيْضًا جُمُودٌ عَلَى قِصَّةِ النَّجَاشِيِّ يَدْفَعُهُ الْأَثَرُ وَالنَّظَرُ
Kesimpulannya, pihak yang menolak shalat ghaib tidak berhasil menyajikan argumentasi yang kuat selain alasan bahwasanya itu khusus untuk jenazah yang ada di sebuah negeri yang tidak ada orang yang menshalatkannya. Tetapi itu juga adalah sebuah kejumudan (kekakuan berpikir) atas kisah Najasyi yang terbantahkan oleh riwayat dan nalar (Nailul-Authar bab as-shalat ‘alal-mayyit bin-niyyah).
Meski argumentasi dari madzhab Syafi’i dan mayoritas Hanbali lebih kuat, sebagaimana dipaparkan oleh al-Hafizh Ibn Hajar, an-Nawawi, dan al-‘Azhim Abadi di atas, tentunya tidak harus dengan menolak pendapat dari sebagian ulama Hanbali sebagaimana dianut oleh Ibn Taimiyyah, Ibnul-Qayyim al-Jauziyyah, kemudian ulama-ulama penganjur manhaj salaf seperti as-Sa’di dan al-‘Utsaimin. Imam as-Syaukani sendiri dalam pernyataannya di atas masih bisa memaklumi alasan yang menyatakan bahwa shalat ghaib hanya ditujukan untuk jenazah yang ada di luar negeri yang tidak ada orang yang menshalatkannya. Adab menghargai perbedaan fiqih harus dijunjung tinggi demi persatuan umat i’tisham bi hablil-‘Llah dan tidak kemudian tafarraqu (berpecah belah) hanya karena ketidakmampuan memahami argumentasi fiqih yang berbeda.
Jadi yang lebih tepat adalah dengan memahami bahwa shalat ghaib itu disyari’atkan untuk kaum muslimin secara umum terhadap jenazah yang tidak mungkin dihadiri ke tempatnya untuk shalat jenazah langsung di hadapan jenazahnya. Hukumnya berlaku sebagaimana halnya shalat jenazah, yakni fardlu kifayah, dalam artian harus ada minimal seseorang yang menshalatkannya. Jika sudah ada yang menshalatkannya maka bagi yang lainnya gugur kewajiban dan hanya berstatus sunat saja.
Dalam kaitan jenazah Covid-19, berdasarkan protokol kesehatan yang diterbitkan Pemerintah yang didasarkan pada fatwa MUI No. 18 Tahun 2020 maka harus ada yang menshalatkan minimal satu orang. Kalaupun tidak mungkin dishalatkan sebelum dikuburkan, maka sesudah dikuburkan harus ada yang menshalatkan di atas kuburannya. Jadi dengan demikian bisa dipastikan bahwa jenazah Covid-19 sudah ada yang menshalatkan. Maka shalat ghaib untuk jenazah Covid-19 yang sudah dishalatkan statusnya tidak fardlu kifayah, melainkan sebatas sunat.
Jika hendak mempertimbangkan tidak mungkin hadir menshalatkan langsung jenazah Covid-19 dan ini sama dengan kasus Nabi saw kepada Najasyi dalam hal ketidakmungkinannya, kemudian jenazah Covid-19 yang dimaksud juga seorang tokoh yang berjasa besar untuk Islam seperti halnya Najasyi, maka menyelenggarakan shalat ghaib seperti halnya Nabi saw kepada Najasyi dengan mengajak kaum muslimin di tempat terbuka dan dengan jama’ah yang banyak, hemat kami hal tersebut tepat untuk dilakukan.
Berdasarkan hadits-hadits shalat ghaib di atas diketahui bahwa praktik shalat ghaib itu sama persis dengan shalat jenazah, khususnya dalam hal empat takbirnya dan do’a istighfar untuk jenazah. Yang membedakannya hanya jenazahnya saja yang tidak ada di hadapan orang-orang yang shalat. Shalat ghaib juga bisa dilaksanakan di tempat terbuka seperti tanah lapang. Mengenai Nabi saw yang memilih tanah lapang untuk shalat ghaib Najasyi dan tidak masjid, tentunya agar bisa menampung jama’ah lebih banyak.
Di samping itu dianjurkan untuk membuat beberapa shaf makmum shalat ghaib/jenazah. Argumentasinya, di tanah lapang itu masih mungkin semua jama’ah shalat dijadikan satu shaf saja, tetapi Nabi saw memerintahkan untuk dibuat beberapa shaf. Ini menunjukkan bahwa cara ini lebih utama. Terlebih sesuai dengan amal shahabat sebagai fiqih atas sabda Nabi saw:
عَنْ مَالِكِ بْنِ هُبَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَا مِنْ مُسْلِمٍ يَمُوتُ فَيُصَلِّى عَلَيْهِ ثَلاَثَةُ صُفُوفٍ مِنَ الْمُسْلِمِينَ إِلاَّ أَوْجَبَ. قَالَ فَكَانَ مَالِكٌ إِذَا اسْتَقَلَّ أَهْلَ الْجَنَازَةِ جَزَّأَهُمْ ثَلاَثَةَ صُفُوفٍ لِلْحَدِيثِ
Dari Malik ibn Hubairah ra ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Tidak ada seorang muslim pun yang meninggal dunia lalu dishalatkan oleh tiga shaf kaum muslimin melainkan pasti diijabah.” Martsad al-Yazanni berkata: “Maka Malik apabila kebetulan jama’ah shalat jenazah sedikit, beliau tetap membagi mereka menjadi tiga shaf berdasarkan hadits ini (Sunan Abi Dawud bab fis-shufuf ‘alal-janazah no. 3168, Sunan at-Tirmidzi bab ma ja`a fis-shalat ‘alal-janazah no. 1028).
Wal-‘Llahu a’lam