Akhlaq

Miskin Mulia vs Miskin Hina

Orang miskin yang lebih mulia dari orang kaya adalah orang miskin yang mulia sebagaimana halnya fuqara Muhajirin. Mereka pantang meletakkan tangan di bawah karena berharap santunan dari orang lain atau menyerah pasrah dengan keadaan. Mereka adalah orang-orang yang tahan banting, pekerja keras, dan selalu berusaha sekuat tenaga agar menjadi orang-orang yang meletakkan tangannya di atas. Bukan orang miskin yang hina karena miskin mentalnya dan selalu berharap santunan dari orang lain.

Shahabat ‘Abdullah ibn ‘Amr ra yang meriwayatkan tentang kaum faqir Muhajirin akan lebih dahulu masuk surga sebelum orang kaya jelas menyebutkannya dalam rangka menasihati orang-orang miskin agar kuat bersabar, jangan banyak mengeluh dan meminta bantuan, sebab demikianlah orang-orang faqir kaum Muhajirin menjalani kehidupannya.

وَإِنْ شِئْتُمْ صَبَرْتُمْ فَإِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ إِنَّ فُقَرَاءَ الْمُهَاجِرِينَ يَسْبِقُونَ الأَغْنِيَاءَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ إِلَى الْجَنَّةِ بِأَرْبَعِينَ خَرِيفًا. قَالُوا فَإِنَّا نَصْبِرُ لاَ نَسْأَلُ شَيْئًا

‘Abdullah berkata kepada mereka: “Jika mau, kalian bersabar saja karena sungguh aku mendengar Rasulullah saw bersabda: ‘Sesungguhnya kaum faqir Muhajirin mendahului orang-orang kaya pada hari kiamat masuk ke surga lebih cepat 40 tahun.” Mereka menjawab: “Kalau begitu kami akan bersabar, tidak akan meminta apapun.” (Shahih Muslim kitab az-zuhd war-raqa`iq no. 7654).

Maka dari itu, dalam riwayat sebelumnya dari Abu ‘Abdirrahman al-Hubuli, ‘Abdullah ibn ‘Amr ra mengajarkan kepada orang-orang yang merasa sebagai orang miskin agar jangan merasa miskin dan menyerah dengan keadaan sulit yang sering dialami:

قَالَ أَبُو عَبْدِ الرَّحْمَنِ الْحُبُلِىُّ: سَمِعْتُ عَبْدَ اللَّهِ بْنَ عَمْرِو بْنِ الْعَاصِ وَسَأَلَهُ رَجُلٌ فَقَالَ أَلَسْنَا مِنْ فُقَرَاءِ الْمُهَاجِرِينَ فَقَالَ لَهُ عَبْدُ اللَّهِ أَلَكَ امْرَأَةٌ تَأْوِى إِلَيْهَا قَالَ نَعَمْ. قَالَ أَلَكَ مَسْكَنٌ تَسْكُنُهُ قَالَ نَعَمْ قَالَ فَأَنْتَ مِنَ الأَغْنِيَاءِ قَالَ فَإِنَّ لِى خَادِمًا قَالَ فَأَنْتَ مِنَ الْمُلُوكِ.

Abu ‘Abdirrahman al-Hubuli berkata: Aku mendengar ‘Abdullah ibn ‘Amr ketika ditanya oleh seseorang: “Bukankah kami termasuk Muhajirin yang faqir?” ‘Abdullah balik bertanya kepadanya: “Bukankah kamu memiliki istri yang kamu pulang kepadanya?” Ia menjawab: “Ya.” Abdullah bertanya lagi: “Bukankah kamu memiliki rumah yang kamu tinggali?” Ia menjawab: “Ya.” ‘Abdullah berkata: “Kamu termasuk orang kaya.” Ia berkata lagi: “Saya juga punya pembantu.” ‘Abdullah berkata: “Berarti kamu termasuk kalangan pejabat.” (Shahih Muslim kitab az-zuhd war-raqa`iq no. 7653).

Nabi saw sendiri tegas menyebutkan dalam hadits lain perbedaan orang miskin yang mulia dan harus diperhatikan dengan orang miskin yang tidak mulia dan mereka sebenarnya bukan orang miskin yang layak diperhatikan.

لَيْسَ الْمِسْكِينُ الَّذِي يَطُوفُ عَلَى النَّاسِ تَرُدُّهُ اللُّقْمَةُ وَاللُّقْمَتَانِ وَالتَّمْرَةُ وَالتَّمْرَتَانِ وَلَكِنْ الْمِسْكِينُ الَّذِي لَا يَجِدُ غِنًى يُغْنِيهِ وَلَا يُفْطَنُ بِهِ فَيُتَصَدَّقُ عَلَيْهِ وَلَا يَقُومُ فَيَسْأَلُ النَّاسَ

Bukanlah orang miskin itu yang berkeliling meminta kepada orang-orang, lalu diberi satu dua suap, atau satu dua buah kurma. Orang miskin yang sebenarnya itu adalah yang tidak mempunyai harta cukup, tapi tidak dimengerti oleh orang lain dan diberi shadaqah, meski demikian ia tidak berani meminta kepada orang-orang (Shahih al-Bukhari bab qaulil-‘Llah ta’ala la yas`alunan-nas ilhafan no. 1479).

Sebagaimana terbaca dari tarjamah yang ditulis Imam al-Bukhari di atas, hadits ini menjelaskan firman Allah swt dalam QS. al-Baqarah [2] : 273 sebagai berikut:

لِلۡفُقَرَآءِ ٱلَّذِينَ أُحۡصِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ لَا يَسۡتَطِيعُونَ ضَرۡبٗا فِي ٱلۡأَرۡضِ يَحۡسَبُهُمُ ٱلۡجَاهِلُ أَغۡنِيَآءَ مِنَ ٱلتَّعَفُّفِ تَعۡرِفُهُم بِسِيمَٰهُمۡ لَا يَسۡأَلُونَ ٱلنَّاسَ إِلۡحَافٗاۗ وَمَا تُنفِقُواْ مِنۡ خَيۡرٖ فَإِنَّ ٱللَّهَ بِهِۦ عَلِيمٌ  ٢٧٣

(Berinfaqlah) kepada orang-orang faqir yang terikat (oleh jihad) di jalan Allah; mereka tidak dapat (berusaha) di bumi; orang yang tidak tahu menyangka mereka orang kaya karena memelihara diri dari minta-minta. Kamu kenal mereka dengan melihat sifat-sifatnya, mereka tidak meminta kepada orang secara mendesak. Dan apa saja harta yang baik yang kamu nafkahkan (di jalan Allah), maka sesungguhnya Allah Maha Mengetahui (QS. al-Baqarah [2] : 273).

Inilah orang-orang faqir yang mulia karena mereka enggan meminta. Mereka adalah para pejuang di jalan Allah yang tentunya sudah teruji mental pejuangnya. Maka dari itu, ketika kaum Muhajirin tiba di Madinah dan kaum Anshar siap memberikan sebagian kebun mereka kepada kaum Muhajirin, Nabi saw menolaknya. Kaum Muhajirin bukan kaum yang senang dengan pemberian. Nabi saw memerintahkan agar kaum Muhajirin disuruh bekerja saja di kebun-kebun orang Anshar lalu mendapatkan upah untuk pekerjaannya itu.

قَالَتْ الْأَنْصَارُ اقْسِمْ بَيْنَنَا وَبَيْنَهُمْ النَّخْلَ قَالَ لَا قَالَ يَكْفُونَنَا الْمَئُونَةَ وَيُشْرِكُونَنَا فِي التَّمْرِ قَالُوا سَمِعْنَا وَأَطَعْنَا

Anshar berkata: “Bagikan saja oleh anda (Nabi saw) kebun kurma ini antara kami (Anshar) dan mereka (Muhajirin).” Beliau menjawab: “Tidak perlu. Cukup saja orang Anshar memberi makan kami (sebagai upah kerja kami di kebun) dan berbagi hasil buah kurmanya dengan kami (ketika panen).” Anshar menjawab: “Kami mendengar dan patuh.” (Shahih al-Bukhari bab ikha`in-Nabiy saw bainal-Muhajirin wal-Anshar no. 3782).

Bahkan meski mereka kaum fuqara, ketika turun perintah shadaqah, mereka selalu berusaha sekuat tenaga untuk bisa bershadaqah. Bukan malah berharap menjadi orang yang diberi shadaqah. Shahabat Abu Mas’ud al-Anshari ra menceritakan:

لَمَّا نَزَلَتْ آيَةُ الصَّدَقَةِ كُنَّا نُحَامِلُ فَجَاءَ رَجُلٌ فَتَصَدَّقَ بِشَيْءٍ كَثِيرٍ فَقَالُوا مُرَائِي وَجَاءَ رَجُلٌ فَتَصَدَّقَ بِصَاعٍ فَقَالُوا إِنَّ اللَّهَ لَغَنِيٌّ عَنْ صَاعِ هَذَا فَنَزَلَتْ {الَّذِينَ يَلْمِزُونَ الْمُطَّوِّعِينَ مِنْ الْمُؤْمِنِينَ فِي الصَّدَقَاتِ وَالَّذِينَ لَا يَجِدُونَ إِلَّا جُهْدَهُمْ} الْآيَةَ

Ketika turun ayat yang memerintahkan shadaqah, kami (para shahabat) sengaja menjadi buruh panggul (agar bisa shadaqah). Maka ada seorang shahabat yang shadaqah dengan barang yang banyak, tetapi orang-orang munafiq malah berkomentar: “Orang ini riya.” Lalu ada juga shahabat lain yang shadaqah dengan satu sha’ (+ 3 liter/2,5 kg), tetapi orang-orang munafiq malah berkomentar: “Sungguh Allah tidak butuh dari satu sha’ ini.” Sehingga turunlah ayat: (Orang-orang munafiq) yaitu orang-orang yang mencela orang-orang mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan (mencela) orang-orang yang tidak memperoleh (untuk disedekahkan) selain sekedar kesanggupannya…” (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab ittaqun-nar wa lau bi syiqqi tamratin awil-qalil minas-shadaqah no. 1415).

Orang-orang miskin dari kalangan shahabat memang tidak pernah terhalang oleh gengsi dan malu untuk bekerja meski dengan pekerjaan yang dianggap hina oleh masyarakat. Bagi mereka, yang jelas hina itu adalah orang yang hidup menganggur tanpa berusaha dan hanya mengandalkan pemberian orang lain. Nabi saw sendiri banyak mengajarkan:

لَأَنْ يَأْخُذَ أَحَدُكُمْ حَبْلَهُ فَيَأْتِيَ بِحُزْمَةِ الْحَطَبِ عَلَى ظَهْرِهِ فَيَبِيعَهَا فَيَكُفَّ اللهُ بِهَا وَجْهَهُ خَيْرٌ لَهُ مِنْ أَنْ يَسْأَلَ النَّاسَ أَعْطَوْهُ أَوْ مَنَعُوهُ

Seseorang di antara kalian mengambil tali kemudian membawa seikat kayu bakar di punggungnya, lalu ia menjualnya sehingga Allah menjaga kehormatannya, itu lebih baik daripada meminta-minta kepada orang lain, baik mereka memberi atau tidak (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab al-isti’faf ‘anil-mas`alah no. 1378; Shahih Muslim kitab az-zakat bab karahatil-mas`alah lin-nas no. 1727-1728).

مَا يَزَالُ الرَّجُلُ يَسْأَلُ النَّاسَ حَتَّى يَأْتِيَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ لَيْسَ فِي وَجْهِهِ مُزْعَةُ لَحْمٍ

Seseorang yang tidak henti-hentinya meminta kelak ia akan datang pada hari kiamat dalam keadaan tidak ada sedikit pun daging pada wajahnya (Shahih al-Bukhari kitab az-zakat bab man sa`alan-nas takatstsuran no. 1474. Maksudnya, menurut para ulama, sebagai kehinaan dan ia akan menjadi seseorang yang terhina. Bisa juga maksudnya, wajahnya akan terbakar api neraka sampai habis dagingnya [Fathul-Bari]).

مَنْ سَأَلَ النَّاسَ أَمْوَالَهُمْ تَكَثُّرًا فَإِنَّمَا يَسْأَلُ جَمْرًا فَلْيَسْتَقِلَّ أَوْ لِيَسْتَكْثِرْ

Siapa yang meminta harta kepada orang-orang untuk memperbanyaknya, maka sungguh ia meminta batu api neraka. Maka hendaklah ia sedikit meminta atau silahkan kalau mau perbanyak sekalian! (Shahih Muslim kitab az-zakat bab karahiyatil-mas`alah lin-nas no. 2446).

Tegas sekali Nabi saw mengancam dalam hadits terakhir di atas. Jika hidup hanya akan mengandalkan pemberian dari orang lain dengan meminta ke mana-mana, maka silahkan perbanyak saja memintanya, agar bara api nerakanya semakin banyak. Sungguh terhina sekali. Wal-‘iyadzu bil-‘Llah.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button