Menjual Rumah Tidak Ada Kewajiban Zakat

Kalau seseorang menjual rumah apakah terkena kewajiban zakat? 0813-2074-xxxx
Jika menjual rumah itu tidak diniatkan sebagai usaha untuk mengembangkan harta maka tidak ada kewajiban zakat; hanya sekedar menjual biasa karena kebutuhan yang mendesak misalnya. Akan tetapi jika menjual rumah itu dalam rangka usaha mengembangkan harta dan menjadi mata pencaharian maka terkena kewajiban zakat, yakni zakat perdagangan.
Syaikh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan:
ويشترط كون المال نامياً؛ لأن معنى الزكاة وهو النماء لا يحصل إلا من المال النامي، وليس المقصود حقيقة النماء، وإنما كون المال معداً للاستنماء بالتجارة أو بالسوم أي الرعي عند الجمهور
Disyaratkan keadaan hartanya berkembang, karena makna zakat itu tumbuh berkembang. Tidak ada kewajiban zakat kecuali dari harta yang dikembangkan. Maksudnya bukan tumbuh berkembang yang sebenarnya, tetapi keadaan harta itu disiapkan untuk dikembangkan melalui perdagangan, sewa, atau ternak menurut mayoritas ulama (al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu 3 : 1799)
Niat untuk memperjualbelikan itu menurut para ulama sudah ada sejak awal membelinya, yakni seseorang ketika membeli rumah misalnya sudah ada niat bahwa ia membelinya untuk diperjualbelikan dan dijadikan usaha perniagaan. Maka ketika ia kemudian menjualnya, dari praktik jual beli itu terkena kewajiban zakat perdagangan. Meski demikian, sah juga niat usaha perniagaan itu ketika akan hendak menjualnya, bukan dari sejak awal membelinya. Pokoknya harus ada niat mengembangkan harta lewat usaha perniagaan. Syaikh Wahbah az-Zuhaili menjelaskan juga:
شروط زكاة العروض التجارية : … (3) نية التجارة حال الشراء: أن ينوي المالك بالعروض التجارة حالة شرائها، أما إذا كانت النية بعد الملك، فلا بد من اقتران عمل التجارة بنية
Syarat zakat barang yang diperuntukkan perdagangan: … (3) Niat akan meniagakannya ketika membelinya: Pemilik berniat untuk meniagakannya ketika membelinya. Adapun jika niat itu adanya sesudah membeli/dimiliki, maka mesti menyertakan niat ketika menjalankan perniagaannya (al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu 3 : 1866).
Shahabat Samurah ibn Jundub ra dalam hal ini menjelaskan sebagaimana diriwayatkan Imam ad-Daraquthni sebagai berikut:
عَنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ قَالَ: {بِسْمِ اللَّهِ الرَّحْمَنِ الرَّحِيمِ} مِنْ سَمُرَةَ بْنِ جُنْدُبٍ إِلَى بَنِيهِ سَلَامٌ عَلَيْكُمْ أَمَّا بَعْدُ فَإِنَّ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ كَانَ يَأْمُرُنَا بِرَقِيقِ الرَّجُلِ أَوِ الْمَرْأَةِ الَّذِينَ هُمْ تِلَادٌ لَهُ وَهُمْ عُمْلَةٌ لَا يُرِيدُ بَيْعَهُمْ فَكَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ لَا نُخْرِجَ عَنْهُمْ مِنَ الصَّدَقَةِ شَيْئًا وَكَانَ يَأْمُرُنَا أَنْ نُخْرِجَ مِنَ الرَّقِيقِ الَّذِي يُعَدُّ لِلْبَيْعِ
Dari Samurah ibn Jundub, ia berkata: “Bismil-‘Llahir-Rahmanir-Rahim. Dari Samurah ibn Jundub kepada anak-anaknya. Semoga keselamatan tercurah untuk kalian. Amma ba’du, sungguh Rasulullah saw memerintah kita terkait hamba sahaya lelaki atau perempuan yang mereka adalah harta yang dimiliki dan para pekerja yang tidak akan dijual, beliau memerintah kita untuk tidak mengeluarkan zakat sedikit pun dari mereka. Beliau memerintah kita mengeluarkan zakat dari hamba sahaya yang sengaja dipersiapkan untuk diperjualbelikan.” (Sunan ad-Daraquthni bab zakat malit-tijarah no. 2027. Imam Abu Dawud meriwayatkan versi ringkasnya dalam Sunan Abi Dawud kitab az-zakat bab al-‘urudl idza kanat lit-tijarah hal fiha min zakat no. 1564)
Pada zaman Nabi saw jual beli hamba sahaya merupakan sesuatu yang lumrah. Tetapi tidak ada keterangan dari Nabi saw bahwa dari aktivitas jual beli itu harus ada zakatnya. Zakat berlaku hanya pada konteks hamba sahaya yang memang disediakan (diniatkan sejak awal) untuk diperjualbelikan sebagai usaha niaga. Kalau tidak ada niat usaha tersebut, melainkan hanya untuk dijadikan hak milik, maka sebagaimana keterangan Samurah ra di atas tidak ada sama kewajiban zakat. Wal-‘Llahu a’lam