Mendamba Cinta Ilahi
Cinta itu lambang keindahan dan kebahagiaan. Orang yang memilikinya akan hidup indah dan bahagia. Indah karena hidupnya dipenuhi dengan hal-hal yang indah, dan bahagia karena ia akan selalu mencintai dan dicintai. Cinta ilahi pun demikian adanya. Orang yang memilikinya akan merasakan ibadah sebagai sebuah simponi yang indah dan membahagiakan. Shalat, dzikir, shadaqah, dan shaumnya tidak pernah menjadi beban baginya, melainkan menjadi kenikmatan yang membahagiakannya. Ia pun akan dicintai oleh Allah swt; selalu diperhatikan dan dipenuhi kebutuhannya oleh Allah swt.
إِنَّ اللَّهَ قَالَ مَنْ عَادَى لِي وَلِيًّا فَقَدْ آذَنْتُهُ بِالْحَرْبِ وَمَا تَقَرَّبَ إِلَيَّ عَبْدِي بِشَيْءٍ أَحَبَّ إِلَيَّ مِمَّا افْتَرَضْتُ عَلَيْهِ وَمَا يَزَالُ عَبْدِي يَتَقَرَّبُ إِلَيَّ بِالنَّوَافِلِ حَتَّى أُحِبَّهُ فَإِذَا أَحْبَبْتُهُ كُنْتُ سَمْعَهُ الَّذِي يَسْمَعُ بِهِ وَبَصَرَهُ الَّذِي يُبْصِرُ بِهِ وَيَدَهُ الَّتِي يَبْطِشُ بِهَا وَرِجْلَهُ الَّتِي يَمْشِي بِهَا وَإِنْ سَأَلَنِي لَأُعْطِيَنَّهُ وَلَئِنْ اسْتَعَاذَنِي لَأُعِيذَنَّهُ وَمَا تَرَدَّدْتُ عَنْ شَيْءٍ أَنَا فَاعِلُهُ تَرَدُّدِي عَنْ نَفْسِ الْمُؤْمِنِ يَكْرَهُ الْمَوْتَ وَأَنَا أَكْرَهُ مَسَاءَتَهُ
Sesungguhnya Allah berfirman: “Barang siapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguh Aku telah mengumumkan perang kepadanya. Tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku dengan sesuatu yang lebih Aku cintai daripada apa yang telah Aku fardlukan padanya. Tidaklah seorang hamba mendekat kepada-Ku dengan amal-amalan sunat, sehingga Aku mencintainya. Maka ketika Aku mencintainya, Aku adalah pendengarannya yang ia gunakan untuk mendengar, Aku adalah penglihatannya yang ia gunakan untuk melihat, Aku adalah tangannya yang ia gunakan untuk memegang, dan Aku adalah kakinya yang ia gunakan untuk melangkah. Jika ia meminta kepada-Ku niscaya Aku memberinya. Jika ia memohon perlindungan kepada-Ku niscaya Aku memberinya perlindungan. Dan tidak pernah Aku ragu terhadap sesuatu yang Aku sendiri pelakunya seperti keraguanku kepada seorang mu`min; ia tidak ingin mati sementara Aku pun tidak ingin menyakitinya.” (Shahih al-Bukhari kitab ar-riqaq bab at-tawadlu’ no. 6502)
Hadits di atas memberikan pengajaran bahwa orang yang akan mendapatkan cinta ilahi adalah orang yang bertaqarrub kepada Allah swt dengan mengamalkan amalan wajib dan sunnat. Tentunya mencakup amal ‘melaksanakan’ dan ‘meninggalkan’ (haram dan makruh). Mencakup pula amal fisik seperti shalat, zakat, shaum, dan amal hati seperti syukur, takut dan penuh harap. Demikian juga mencakup amal yang ‘ain (setiap individu) dan kifayah (cukup diwakili sebagian orang).
Disebut kedua-duanya; wajib dan sunat, menurut para ulama merupakan isyarat yang jelas bahwa keduanya tidak bisa dipisahkan. Tidak akan dinilai telah mengamalkan amal sunat jika amal wajib ditinggalkan. Demikian halnya tidak sempurna mengamalkan amal wajib jika amal sunat ditinggalkan. Al-Hafizh mengutip penuturan beberapa ulama salaf terkait dua amal ini:
مَنْ شَغَلَهُ الْفَرْضُ عَنْ النَّفْلِ فَهُوَ مَعْذُورٌ وَمَنْ شَغَلَهُ النَّفْلُ عَنْ الْفَرْضِ فَهُوَ مَغْرُورٌ
Siapa yang tersibukkan dengan amal fardlu sampai mengabaikan amal sunat, maka ia cacat. Dan siapa yang tersibukkan dengan amal sunat sampai melalaikan amal wajib, maka ia tertipu (Fathul-Bari kitab ar-riqaq bab at-tawadlu’).
Dari dua amal tersebut, titik tekan cinta ilahi terletak pada amal sunatnya. Imam at-Thufi dalam hal ini menjelaskan, amal wajib memberikan konsekuensi pahala jika dikerjakan dan siksa jika ditinggalkan, sementara amal sunat tidak memberikan konsekuensi siksa jika ditinggalkan. Seseorang yang mengamalkan amal wajib motifnya pasti tidak lebih dari mengharap pahala dan takut siksa. Sementara orang yang mengamalkan amal sunat motifnya pasti betul-betul mengutamakan Allah swt tanpa ada ketakutan akan siksanya. Maka dari itu pantas jika hanya dengan amal sunat saja cinta ilahi ini bisa tercapai (Fathul-Bari kitab ar-riqaq bab at-tawadlu’).
Orang yang meraih cinta ilahi ini diistimewakan oleh Allah swt dengan beberapa keistimewaan, yaitu:
Pertama, “Siapa yang memusuhi wali-Ku, maka sungguh Aku telah mengumumkan perang kepadanya.” Menurut al-Hafizh Ibn Hajar ini merupakan penegasan bahwa siapa yang memusuhi yang dicintai Allah swt pasti akan binasa, sebab Allah swt tidak mungkin ada yang mengalahkan. Di antara musuh-musuh yang dicintai Allah tersebut adalah orang Syi’ah yang memusuhi para shahabat, ahli bid’ah yang memusuhi ahli sunnah, dan orang fasiq yang memusuhi orang-orang beriman yang selalu ber-amar ma’ruf nahyi munkar.
Kedua, Allah swt mencintainya, sehingga pendengaran, penglihatan, kaki dan tangannya menjadi pendengaran, penglihatan, kaki dan tangan Allah swt. Maksudnya adalah: (1) Tamtsil (perserupaan) yang tentu tidak berarti menyamakan. Jadi seorang yang dicintai Allah swt itu pendengaran, penglihatan, tangan dan kakinya serupa dengan pendengaran, penglihatan, tangan dan kaki Allah swt dalam hal mendahulukan kebaikan dan kecintaan terhadap ketaatan. (2) Allah swt senantiasa menolong wali-Nya seperti halnya pendengaran, penglihatan, tangan dan kaki yang selalu menolong dan membantu dirinya. (3) Allah swt menjaga pendengaran, penglihatan, tangan dan kaki wali-Nya. (4) Perwujudan itu adalah isyarat dari sangat cepatnya pengabulan permohonan yang dicintai Allah swt, sehingga seolah-olah pendengaran, penglihatan, tangan dan kaki Allah swt ada pada dirinya. (Fathul-Bari kitab ar-riqaq bab at-tawadlu’).
Ketiga, semua permohonan dari seseorang yang dicintai Allah swt pasti akan diijabah. Ini sekaligus menepis anggapan bahwa wali Allah swt itu tidak mungkin salah, sebab ia tahu perkara yang ghaib, bahkan bisa menetapkan perkara yang ghaib. Menurut hadits di atas, seorang wali tetap terikat pada permohonan kepada Allah swt yang menunjukkan betapa lemahnya dia di hadapan kemahabesaran Allah swt. Seorang wali tetap tidak tahu apa yang manfaat dan madlarat untuknya di masa yang akan datang, selain harus tetap bergantung pada Allah swt.
Keempat, Allah swt betul-betul menghormati kekasih-Nya sampai Dia merasa ragu untuk mencabut nyawanya padahal Dia sendiri yang memiliki wewenang penuh terhadap hal itu. Para ulama salaf tidak mempersoalkan “sikap ragu” Allah swt yang terungkap dalam hadits ini. Para ulama salaf tidak memandang bahwa “sikap ragu” adalah sifat negatif yang semestinya tidak dimiliki oleh Allah swt. Sebab jelas, pada akhirnya semua yang dicintai oleh Allah swt tetap akan diwafatkan oleh-Nya ketika ajalnya sudah tiba.
Semua keistimewaan ini akan diberikan hanya kepada orang-orang yang mendamba cinta ilahi melalui amal-amal sunat—tentunya di samping amal-amal yang wajib. Mereka adalah orang-orang yang selalu sigap untuk shalat lima waktu tepat di awal waktu, lengkap dengan shalat rawatibnya, tahiyyatul-masjidnya, dan qabliyyah antara adzan dan iqamatnya. Mereka sudah jauh sama sekali dari tragedi shubuh yang biasa menimpa kaum muslimin, dimana masjid-masjid selalu tidak penuh seperti halnya shalat Jum’at. Mereka juga selalu sigap dengan shalat sunat siang dan malam. Shalat sunat siang adalah shalat dluha, sementara shalat sunat malam adalah shalat tahajjud dan witirnya.
Orang-orang yang akan meraih cinta ilahi adalah mereka yang selalu rutin membayar zakat dan infaq wajib. Tidak lupa pula untuk menyisihkan sebagian uangnya dalam shadaqah rutin di setiap minggu dan bulannya. Keluarga, tetangga, dan siapapun yang ia kenal sebagai fakir miskin dan anak yatim, atau lahan-lahan fi sabilillah, tidak pernah luput dari uluran tangannya. Tangannya selalu berada di atas, dan ia malu jika tangannya berada di bawah uluran tangan orang lain.
Mereka yang mendamba ilahi juga tidak pernah melewatkan hidupnya dari amaliah shaum sunat di setiap minggu dan bulannya. Hati dan lisannya selalu basah dengan dzikir dan bacaan al-Qur`an. Semuanya selalu diperhatikan demi merasakan hidup yang indah dan bahagia. Sebab orang-orang yang menjalani hidup seperti ini sajalah yang dijanjikan keindahan dan kebahagiaan karena cinta ilahi.
Wal-‘Llahul-Musta’an