Larangan Menggulungkan Pakaian dan Mengikat Rambut

Dalam hadits tentang anggota badan yang harus menyentuh lantai ketika sujud, Nabi saw memberikan keterangan tambahan agar jangan mengikat rambut dan menggulungkan pakaian. Sebagian ulama menjelaskan larangan tersebut berlaku sebatas dalam shalat saja, tetapi mayoritas ulama menjelaskan bahwa larangan tersebut berlaku umum; baik dalam shalat atau di luar shalat.
Hadits-hadits tentang kaifiyyat sujud yang disertai dengan larangan mengikat rambut dan menggulungkan pakaian adalah hadits Ibn ‘Abbas ra yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dan Muslim. Kedudukannya muttafaq ‘alaihi (disepakati keshahihannya oleh semua ulama). Berikut adalah haditsnya:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا قَالَ قَالَ النَّبِيُّ ﷺ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ عَلَى الْجَبْهَةِ وَأَشَارَ بِيَدِهِ عَلَى أَنْفِهِ وَالْيَدَيْنِ وَالرُّكْبَتَيْنِ وَأَطْرَافِ الْقَدَمَيْنِ وَلَا نَكْفِتَ الثِّيَابَ وَالشَّعَرَ
Dari Ibn ‘Abbas ra, ia berkata: Nabi saw bersabda: “Aku diperintahkan sujud di atas tujuh tulang: kening—beliau sambil isyarat dengan tangannya ke hidungnya juga—dua telapak tangan, dua lutut, dan ujung dua telapak kaki. Dan kami tidak menggulungkan pakaian juga rambut.” (Shahih al-Bukhari bab as-sujud ‘alal-anfi no. 812; Shahih Muslim bab a’dla`is-sujud wan-nahy ‘an kaffis-sya’r wats-tsaub wa ‘akshir-ra`s fis-shalat no. 1126, 1127)
Dalam sanad lain redaksinya:
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ قَالَ أُمِرَ النَّبِيُّ ﷺ أَنْ يَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةِ أَعْظُمٍ وَلَا يَكُفَّ ثَوْبَهُ وَلَا شَعَرَهُ
Dari Ibn ‘Abbas ra, ia berkata: “Nabi saw diperintah sujud di atas tujuh tulang dan tidak boleh menahan pakaiannya juga rambutnya.” (Shahih al-Bukhari bab la yakuffu sya’ran no. 815; Shahih Muslim bab a’dla`is-sujud wan-nahy ‘an kaffis-sya’r wats-tsaub wa ‘akshir-ra`s fis-shalat no. 1123, 1125).
عَنْ ابْنِ عَبَّاسٍ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا عَنْ النَّبِيِّ ﷺ قَالَ أُمِرْتُ أَنْ أَسْجُدَ عَلَى سَبْعَةٍ لَا أَكُفُّ شَعَرًا وَلَا ثَوْبًا
Dari Ibn ‘Abbas ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Aku diperintahkan sujud di atas tujuh tulang, dan diperintahkan juga untuk tidak menahan rambut dan pakaian.” (Shahih al-Bukhari bab la yakuffu tsaubahu fis-shalat no. 816; Shahih Muslim bab a’dla`is-sujud wan-nahy ‘an kaffis-sya’r wats-tsaub wa ‘akshir-ra`s fis-shalat no. 1124).
Dalam riwayat Muslim diceritakan bahwa shahabat Ibn ‘Abbas ra pernah mempraktikkan larangan Nabi saw dalam hadits di atas dengan melepas ikatan rambut ‘Abdullah ibn al-Harits ketika ia shalat:
عَنْ عَبْدِ اللَّهِ بْنِ عَبَّاسٍ أَنَّهُ رَأَى عَبْدَ اللَّهِ بْنَ الْحَارِثِ يُصَلِّى وَرَأْسُهُ مَعْقُوصٌ مِنْ وَرَائِهِ فَقَامَ فَجَعَلَ يَحُلُّهُ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ إِلَى ابْنِ عَبَّاسٍ فَقَالَ مَا لَكَ وَرَأْسِى فَقَالَ إِنِّى سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ ﷺ يَقُولُ إِنَّمَا مَثَلُ هَذَا مَثَلُ الَّذِى يُصَلِّى وَهُوَ مَكْتُوفٌ
Dari ‘Abdullah ibn ‘Abbas ra, bahwasanya ia melihat ‘Abdullah ibn al-Harits shalat dan kepalanya (rambutnya) diikat di belakangnya. Ibn ‘Abbas lalu berdiri dan melepaskan ikatan tersebut. Ketika selesai shalat, ‘Abdullah ibn al-Harits menghadap Ibn ‘Abbas dan berkata: “Apa urusan anda dengan kepalaku?” Ibn ‘Abbas menjawab: Aku mendengar Rasulullah saw bersabda: “Sesungguhnya perumpamaan yang seperti ini adalah seperti orang yang shalat dalam keadaan diikat/dibelenggu.” (Shahih Muslim bab a’dla`is-sujud wan-nahy ‘an kaffis-sya’r wats-tsaub wa ‘akshir-ra`s fis-shalat no. 1129).
Terkait hadits-hadits di atas, Imam an-Nawawi dalam Syarah Shahih Muslim menjelaskan:
وَقَوْله ﷺ : (لَا نَكْفِت الثِّيَاب وَلَا الشَّعْر). هُوَ بِفَتْحِ النُّون وَكَسْر الْفَاء أَيْ لَا نَضُمّهَا وَلَا نَجْمَعهَا، وَالْكَفْت الْجَمْع وَالضَّمّ، وَمِنْهُ قَوْله تَعَالَى: {أَلَمْ نَجْعَل الْأَرْض كِفَاتًا} أَيْ نَجْمَع النَّاس فِي حَيَاتهمْ وَمَوْتهمْ، وَهُوَ بِمَعْنَى الْكَفّ فِي الرِّوَايَة الْأُخْرَى، وَكِلَاهُمَا بِمَعْنًى. وَقَوْله فِي الرِّوَايَة الْأُخْرَى: (وَرَأْسه مَعْقُوص)
Sabda Nabi saw: “Kami tidak menggulungkan pakaian dan rambut”—dengan memfathah nun dan mengkasrah fa—yakni tidak menghimpunnya dan menyatukannya. Kaft itu maknanya menyatukan dan menghimpun. Di antaranya firman Allah ta’ala: “Bukankah Kami menjadikan bumi sebagai pemersatu?” yakni menyatukan manusia dalam hidup dan mati mereka. Lafazh ini juga maknanya “menahan” sebagaimana ada dalam riwayat lain. Kedua-duanya satu makna yang sama. Juga sama dengan pernyataan dalam riwayat lain: (Dan kepalanya diikat—yakni rambut ‘Abdullah ibn al-Harits)
Catatan: Jadi makna larangan di atas jika ditujukan ke pakaian; celana atau baju, adalah menggulungkan atau melipatkan bagian ujungnya. Sementara untuk rambut maknanya mengikat rambut, baik dari bagian atas atau depannya, ataupun bagian yang terurai ke belakang.
اِتَّفَقَ الْعُلَمَاء عَلَى النَّهْي عَنْ الصَّلَاة وَثَوْبه مُشَمَّر أَوْ كُمّه أَوْ نَحْوه، أَوْ رَأْسه مَعْقُوص أَوْ مَرْدُود شَعْره تَحْت عِمَامَته أَوْ نَحْو ذَلِكَ فَكُلّ هَذَا مَنْهِيّ عَنْهُ بِاتِّفَاقِ الْعُلَمَاء، وَهُوَ كَرَاهَة تَنْزِيه فَلَوْ صَلَّى كَذَلِكَ فَقَدْ أَسَاءَ وَصَحَّتْ صَلَاته، وَاحْتَجَّ فِي ذَلِكَ أَبُو جَعْفَر مُحَمَّد بْن جَرِير الطَّبَرِيّ بِإِجْمَاعِ الْعُلَمَاء وَحَكَى اِبْن الْمُنْذِر الْإِعَادَة فِيهِ عَنْ الْحَسَن الْبَصْرِيّ.
Para ulama sepakat atas larangan shalat dengan baju yang digulung, atau bagian pergelangan tangannya, atau yang lainnya. Atau kepala yang diikat atau yang diikat itu rambutnya di bawah sorbannya, atau semacam itu. Semuanya ini dilarang, dan ulama sepakat dalam hal ini. Larangannya termasuk karahah tanzih (dibenci karena kepatutan). Jadi seandainya seseorang shalat dalam keadaan seperti itu, maka ia telah berbuat jelek meski shalatnya tetap sah. Abu Ja’far Muhammad ibn Jarir at-Thabari berhujjah dalam hal ini dengan berdasar pada ijma’ (kesepakatan) ulama. Sementara Ibnul-Mundzir menceritakan dari al-Hasan al-Bashri bahwasanya ia mengharuskan mengulangi lagi shalatnya.
Catatan: Penjelasan Imam an-Nawawi di atas menegaskan bahwa para ulama sudah sepakat atas larangan ini sebagai larangan makruh dan tidak membatalkan shalat. Meski ada seorang ulama yang menyatakan membatalkan shalat sehingga harus diulangi shalatnya, yakni Imam al-Hasan al-Bashri.
ثُمَّ مَذْهَب الْجُمْهُور أَنَّ النَّهْي مُطْلَقًا لِمَنْ صَلَّى كَذَلِكَ سَوَاء تَعَمَّدَهُ لِلصَّلَاةِ أَمْ كَانَ قَبْلهَا كَذَلِكَ لَا لَهَا بَلْ لِمَعْنًى آخَر. وَقَالَ الدَّاوُدِيّ يَخْتَصّ النَّهْي بِمَنْ فَعَلَ ذَلِكَ لِلصَّلَاةِ، وَالْمُخْتَار الصَّحِيح هُوَ الْأَوَّل، وَهُوَ ظَاهِر الْمَنْقُول عَنْ الصَّحَابَة وَغَيْرهمْ. وَيَدُلّ عَلَيْهِ فِعْل ابْن عَبَّاس الْمَذْكُور هُنَا.
Kemudian madzhab jumhur ulama menyatakan bahwa larangan ini berlaku secara mutlak (umum) bagi yang akan shalat dalam keadaan itu, baik itu ia sengaja melakukannya untuk shalat, atau sebelumnya ia seperti itu, bukan ketika untuk shalat saja, melainkan untuk sesuatu hal yang lain. Sementara Imam ad-Dawudi menyatakan bahwa larangan itu khusus untuk yang melakukannya dalam shalat saja. Tetapi yang tepat dan shahih adalah yang pertama (jumhur), sebab kesimpulan seperti itu dinukil dari shahabat dan selain mereka. Sikap Ibn ‘Abbas yang sudah disebutkan di atas (kepada ‘Abdullah ibn al-Harits) juga menunjukkan demikian.
Catatan: Yang lebih selamat adalah memahami larangan di atas bukan untuk shalat saja, melainkan berlaku umum untuk di luar shalat juga, sebagaimana dipahami oleh para shahabat dan ulama jumhur. Sebab meski hadits di atas menyebut perintah dalam sujud, tetapi untuk larangan menggulungkan pakaian dan mengikat rambutnya tidak dibatasi untuk sujud atau shalat saja.
قَالَ الْعُلَمَاء: وَالْحِكْمَة فِي النَّهْي عَنْهُ أَنَّ الشَّعْر يَسْجُد مَعَهُ وَلِهَذَا مَثَّلَهُ بِاَلَّذِي يُصَلِّي وَهُوَ مَكْتُوف.
Para ulama menjelaskan bahwa hikmah larangan di atas adalah rambut juga harus ikut sujud bersamanya. Oleh sebab itu Nabi saw menyamakannya dengan orang yang shalat dalam keadaan diikat/dibelenggu—maksudnya tidak semua anggota badannya ikut dalam gerakan shalat (Syarah Shahih Muslim bab a’dla`is-sujud wan-nahy ‘an kaffis-sya’r wats-tsaub wa ‘akshir-ra`s fis-shalat).
Khusus terkait rambut, ada pengecualian bagi kaum perempuan sebagaimana ada dalam hadits tentang mandi junub, dari Ummu Salamah, dimana ia menyatakan terus terang bahwa ia mengikat rambutnya. Nabi saw tidak memerintahkannya melepas ikatan tersebut dan hanya menganjurkan untuk menyiramkan air ke atas rambutnya (Shahih Muslim bab hukm dlafa`iril-mughtasilah no. 770). Wal-‘Llahu a’lam.