Haji dan Qurban

Badal Haji Orangtua Yang Terlanjur Meninggal

Bagaimana kalau kasusnya orangtua yang sudah daftar haji tetapi terlanjur meninggal dunia, apakah harus dibadal oleh anaknya? 0821-1415-xxxx

Badal haji untuk orangtua yang sudah meninggal atau yang sudah tidak kuat berkendara meski secara finansial mampu, disepakati keshahihan haditsnya (muttafaq ‘alaih). Dalam Bulughul-Maram, al-Hafizh Ibn Hajar menuliskannya dalam bab haji sebagai berikut:

وَعَنْهُ قَالَ: كَانَ الْفَضْلُ بْنُ عَبَّاسٍ رَدِيفَ رَسُولِ اللهِ ﷺ فَجَاءَتِ امْرَأَةٌ مَنْ خَثْعَمَ، فَجَعَلَ الْفَضْلُ يَنْظُرُ إِلَيْهَا وَتَنْظُرُ إِلَيْهِ، وَجَعَلَ النَّبِيُّ ﷺ يَصْرِفُ وَجْهَ الْفَضْلِ إِلَى الشِّقِّ الْآخَرِ. فَقَالَتْ: يَا رَسُولَ اللهِ, إِنَّ فَرِيضَةَ اللَّهِ عَلَى عِبَادِهِ فِي الْحَجِّ أَدْرَكَتْ أَبِي شَيْخًا كَبِيرًا, لَا يَثْبُتُ عَلَى الرَّاحِلَةِ, أَفَأَحُجُّ عَنْهُ? قَالَ: نَعَمْ، وَذَلِكَ فِي حَجَّةِ الْوَدَاعِ. مُتَّفَقٌ عَلَيْهِ, وَاللَفْظُ لِلْبُخَارِيِّ

732- Darinya (Ibn ‘Abbas) ia berkata: al-Fadll ibn ‘Abbas dibonceng Rasulullah—semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah untuknya. Lalu ada seorang perempuan dari Khats’am datang dan al-Fadll melihatnya dan perempuan itu pun melihat al-Fadll. Nabi saw kemudian memalingkan wajah al-Fadll ke arah lain. Ia bertanya: “Wahai Rasulullah, sungguh kewajiban Allah untuk hamba-hamba-Nya dalam hal haji sampai kepada ayahku yang sudah tua renta, tidak kuat menunggangi kendaraan. Apakah aku harus haji untuknya?” Beliau menjawab: “Ya.” Itu terjadi pada haji wada’. Disepakati keshahihannya, matannya riwayat al-Bukhari.

وَعَنْهُ: أَنَّ امْرَأَةً مِنْ جُهَيْنَةَ جَاءَتْ إِلَى النَّبِيِّ ﷺ فَقَالَتْ: إِنَّ أُمِّي نَذَرَتْ أَنْ تَحُجَّ, فَلَمْ تَحُجَّ حَتَّى مَاتَتْ, أَفَأَحُجُّ عَنْهَا? قَالَ: نَعَمْ حُجِّي عَنْهَا أَرَأَيْتِ لَوْ كَانَ عَلَى أُمِّكِ دَيْنٌ, أَكُنْتِ قَاضِيَتَهُ? اقْضُوا اللَّهَ, فَاللَّهُ أَحَقُّ بِالْوَفَاءِ. رَوَاهُ الْبُخَارِيُّ

733- Darinya (Ibn ‘Abbas): Sesungguhnya seorang perempuan dari Juhainah datang kepada Nabi—semoga shalawat dan salam senantiasa tercurah untuknya—lalu bertanya: “Sungguh ibuku bernadzar akan haji, tetapi ia tidak sempat haji sehingga meninggal dunia. Apakah aku harus haji untuknya?” Beliau menjawab: “Hajilah kamu untuknya. Bagaimana menurutmu seandainya ibumu mempunyai utang, apakah kamu akan melunasinya? Lunasilah kepada Allah. Sungguh Allah lebih berhak untuk dilunasi.” Al-Bukhari meriwayatkannya.

Dalam Fathul-Bari al-Hafizh Ibn Hajar menegaskan bahwa hadits di atas merupakan dalil yang jelas bolehnya haji untuk orang lain dan bahwasanya ukuran istitha’ah (kemampuan haji) itu bukan diukurkan pada dirinya sendiri saja tetapi bisa juga pada orang lain yang bisa menggantikannya. Al-Hafizh menegaskan bahwa badal haji ini tidak boleh diqiyaskan pada shalat, sebab memang berbeda; dalam haji ada unsur ibadah hartanya. Hadits-hadits di atas juga tidak khusus untuk perempuan Khats’am yang bertanya saja, sebab di hadits berikutnya Nabi saw menyabdakan secara umum: “Lunasilah kepada Allah. Sungguh Allah lebih berhak untuk dilunasi.” Jadi pastinya berlaku umum. Maka yang berpendapat bahwa hadits di atas juga khusus untuk anak kepada orangtuanya saja dinilai oleh al-Hafizh sebagai pendapat jumud. Bagi yang menilainya bertentangan dengan al-Qur`an, al-Hafizh menyatakan tidak sependapat, sebab jelas Nabi saw sendiri yang memerintahkan: “Hajilah kamu untuknya.” Nabi saw sendiri mustahil menentang al-Qur`an. Al-Hafizh menyatakan bawah bolehnya menghajikan orang lain ini berlaku jika yang akan dihajikan itu sudah meninggal dunia atau benar-benar lemah dan tidak akan mungkin mampu haji. Sementara orang sakit atau gila yang masih ada harapan sembuh, orang yang dipenjara dan masih ada harapan untuk bebas, dan orang miskin yang masih ada harapan untuk memperoleh harta yang cukup, itu semua tidak bisa dihajikan (Fathul-Bari kitab al-hajj bab hajjil-mar`ah ‘anir-rajul).

Tetapi memang tidak dipungkiri ada pendapat berbeda dari yang dipegang oleh mayoritas ulama sebagaimana al-Hafizh Ibn Hajar jelaskan di atas. Sebagian ulama ini menilai bahwa hadits di atas tidak bisa diamalkan karena bertentangan dengan dalil pokok bahwa transfer amal tidak ada dalam Islam. Kami hanya bisa menghimbau bahwa sebaiknya masing-masing pihak bersikap toleran terhadap perbedaan fiqih ini. Wal-‘Llahu a’lam.

Related Articles

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Back to top button