Khilafah vs Pancasila
Kontestan Capres 2019 sama-sama bersuara keras bahwa khilafah tidak boleh hadir di Indonesia karena bertentangan dengan Pancasila. Padahal sejatinya Pancasila digali dari nilai-nilai yang tertanam pada jiwa bangsa Indonesia. Nilai-nilai tersebut di antaranya Islam. Jika faktanya khilafah bagian dari ajaran Islam, berarti Pancasila tidak mungkin bertentangan dengan khilafah. Kalau isu ini malah digoreng dalam kampanye capres untuk menarik suara, maka ini jelas sebentuk ketidakfahaman terhadap Pancasila itu sendiri. Atau mungkin gagal faham terhadap ajaran khilafah sehingga menilainya sebagai ancaman Pancasila. Sebuah pertanda jelas bahwa calon pemimpin negeri ini masih harus belajar Islam.
Padahal jelas khilafah itu bagian dari ajaran Islam. Jika Negara menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadah menurut agamanya (UUD 45 Pasal 29 ayat 2), berarti Negara harus menjamin warga negara yang muslim untuk menjalankan ajaran Islam berupa khilafah.
Sebagaimana dijelaskan oleh para ulama berdasarkan hadits-hadits Nabi saw, khilafah ini ada dua makna, yaitu:
Pertama, khilafah dalam makna yang khusus sebagai khilafah ‘ala minhajin-Nubuwwah (khilafah yang bermanhaj ajaran Nabi saw). Nabi saw sendiri dalam hadits membatasi khilafah ini pada periode awal selama 30 tahun pertama pasca Nabi saw wafat dan kelak nanti pada periode akhir menjelang kiamat. Periode pertama yang dimaksud adalah periode khulafa rasyidun yang dipimpin Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali beserta putranya, al-Hasan radliyal-‘Lllahu ‘anhum. Sementara periode akhir adalah periode khilafah mahdiyyah (kekhilafahan yang mendapatkan hidayah) menjelang kiamat dimana pada masa-masa tersebut Nabi ‘Isa as diturunkan kembali ke bumi.
الْخِلَافَةُ ثَلاَثُونَ عَامًا ثُمَّ يَكُونُ بَعْدَ ذَلِكَ الْمُلْكُ
Khilafah itu 30 tahun. Kemudian sesudah itu mulk/kerajaan (Musnad Ahmad musnad al-Anshar hadits Abi ‘Abdirrahman Safinah maula Rasulillah saw no. 20910. Syu’aib al-Arnauth: Hadits hasan).
Imam an-Nawawi menjelaskan, dalam sanad lain redaksinya:
خِلاَفَةُ النُّبُوَّةِ بَعْدِي ثَلاَثُونَ سَنَة ثُمَّ تَكُون مُلْكًا
Khilafah kenabian sesudahku 30 tahun kemudian akan ada kerajaan (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bab an-nas taba’un li Quraisy).
Jadi maksud 30 tahun itu adalah 30 tahun sepeninggal Nabi saw. Inilah khilafah yang Nabi saw jamin sebagai khilafah nubuwwah (mengikuti manhaj Nabi). Sesudah itu bukan khilafah nubuwwah lagi. Khilafah nubuwwah di masa 30 tahun pasca Nabi saw wafat itu adalah khilafah rasyidah yang dipimpin oleh empat orang shahabat utama Nabi saw.
Kelak pada akhir zaman, khilafah nubuwwah ini akan ada lagi, sebagaimana disabdakannya:
عن حُذَيْفَةَ قَالَ: قَالَ رَسُولُ اللهِ ﷺ : تَكُونُ النُّبُوَّةُ فِيكُمْ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةٌ عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا عَاضًّا فَيَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ يَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ مُلْكًا جَبْرِيَّةً فَتَكُونُ مَا شَاءَ اللَّهُ أَنْ تَكُونَ ثُمَّ يَرْفَعُهَا إِذَا شَاءَ أَنْ يَرْفَعَهَا ثُمَّ تَكُونُ خِلَافَةً عَلَى مِنْهَاجِ النُّبُوَّةِ ثُمَّ سَكَتَ
Dari Hudzaifah, ia berkata: Rasulullah saw bersabda: “Kenabian sedang berada di tengah-tengah kalian sesuai kehendak Allah, kemudian Dia akan mencabutnya ketika ia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian akan ada khilafah yang berdasarkan manhaj kenabian. Khilafah itu akan ada sekehendak Allah, lalu Dia mencabutnya ketika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian akan ada kerajaan yang menggigit. Kerajaan itu akan ada sekehendak Allah, lalu Dia mencabutnya ketika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian akan ada kerajaan yang kejam. Kerajaan itu akan ada sekehendak Allah, lalu Dia mencabutnya ketika Dia berkehendak untuk mencabutnya. Kemudian akan ada khilafah yang berdasarkan manhaj kenabian.” Kemudian beliau terdiam (Musnad Ahmad hadits an-Nu’man ibn Basyir no. 17680. Syu’aib al-Arnauth: Hadits hasan).
Kedua, khilafah dalam makna yang umum sebagai pemerintahan umat Islam meski tidak ‘ala minhajin-Nubuwwah (bermanhaj ajaran Nabi saw). Khilafah dalam makna ini artinya diakui sebagai pemerintahan umat Islam meski tidak ideal seperti ajaran Nabi saw. Ini terlihat dalam hadits-hadits Nabi saw yang mengakui kekhalifahan para khalifah di luar masa 30 tahun, seperti misalnya:
لاَ يَزَالُ هَذَا الدِّينُ قَائِمًا حَتَّى يَكُونَ عَلَيْكُمُ اثْنَا عَشَرَ خَلِيفَةً كُلُّهُمْ تَجْتَمِعُ عَلَيْهِ الأُمَّةُ— كُلُّهُمْ مِنْ قُرَيْشٍ— ثُمَّ يَكُونُ الْهَرْجُ
Agama ini akan senantiasa tegak sampai ada 12 khalifah yang kesemuanya disepakati oleh umat—semuanya dari Quraisy—kemudian sesudah itu akan ada banyak pembunuhan (Sunan Abi Dawud kitab al-mahdi no. 4281-4283).
12 khalifah yang dimaksud Nabi saw pasti bukan hanya khulafa rasyidun yang empat. Berdasarkan data sejarah mereka juga adalah delapan khalifah sesudahnya dari Bani Umayyah yakni Mu’awiyah, Yazid, ‘Abdul-Malik ibn Marwan, al-Walid, Sulaiman, ‘Umar ibn ‘Abdil-‘Aziz, Yazid, dan Hisyam. Jika Nabi saw menyebutkan bahwa sesudah mereka itu akan ada pembunuhan, berdasarkan sejarah memang demikian adanya. Sesudah 12 khalifah tersebut mulai ada khalifah kembar dan saling kudeta di antara khalifah-khalifah yang ada sampai menumpahkan darah (Syarah an-Nawawi ‘ala Shahih Muslim bab an-nas taba’un li Quraisy; Fathul-Bari kitab al-ahkam bab al-istikhlaf).
Imam an-Nawawi menegaskan, hadits di atas sama sekali tidak membatasi bahwa sesudah beliau hanya akan ada 12 khalifah sebagaimana diyakini Syi’ah. Yang benar, Nabi saw hanya menginformasikan bahwa sesudah beliau akan ada 12 khalifah yang disepakati oleh umat Islam. Sesudah itu akan ada khalifah-khalifah yang tidak disepakati dan mengakibatkan banyak pertumpahan darah. Maka dari itu dalam hadits lain Nabi saw mengingatkan:
كَانَتْ بَنُو إِسْرَائِيلَ تَسُوسُهُمْ الْأَنْبِيَاءُ كُلَّمَا هَلَكَ نَبِيٌّ خَلَفَهُ نَبِيٌّ وَإِنَّهُ لَا نَبِيَّ بَعْدِي وَسَيَكُونُ خُلَفَاءُ فَيَكْثُرُونَ قَالُوا فَمَا تَأْمُرُنَا قَالَ فُوا بِبَيْعَةِ الْأَوَّلِ فَالْأَوَّلِ أَعْطُوهُمْ حَقَّهُمْ فَإِنَّ اللَّهَ سَائِلُهُمْ عَمَّا اسْتَرْعَاهُمْ
“Bani Israil itu dipimpin oleh para Nabi. Setiap kali ada Nabi yang meninggal, maka langsung digantikan oleh Nabi yang lain. Akan tetapi tidak akan lagi ada Nabi sesudahku. Yang akan ada adalah para khalifah dan jumlah mereka banyak.” Para shahabat bertanya: “Apa yang akan engkau perintahkan kepada kami?” Beliau menjawab: “Sempurnakanlah bai’at yang pertama dan permulaan. Berikanlah kepada mereka (pemimpin yang dibai’at) hak mereka. Karena sungguh Allah akan meminta pertanggungjawaban kepemimpinan mereka.” (Shahih al-Bukhari kitab ahaditsil-anbiya bab ma dzukira ‘an Bani Isra`il no. 3455).
Meski di zaman berikutnya akan banyak pemimpin umat Islam dan Nabi saw hanya memerintahkan berbai’at pada khalifah yang pertama kali dibai’at, tetap saja Nabi saw menyebutkan semuanya itu dengan istilah khalifah. Termasuk kepada 12 khalifah dari Quraisy yang tidak semuanya sesuai manhaj kenabian. Ini menunjukkan bahwa makna khalifah/khilafah dalam hadits-hadits terakhir ini bermakna pemerintahan Islam secara umum. Meski mereka tidak bermanhaj kenabian, mereka tetap wajib ditaati. Meski akan ada banyak khalifah sempalan, khalifah yang utama dan sah tetap wajib ditaati.
Banyak hadits menjelaskan kedudukan taat kepada khalifah ini, meski mungkin—dan ini tentu tidak dikehendaki—khalifah tersebut zhalim. Selama mereka sah sebagai khalifah (pemimpin pemerintahan/negara) dan mereka juga muslim, mereka tetap wajib ditaati. Nabi saw mengingatkan:
فَإِنْ رَأَيْت خَلِيفَة فَالْزَمْهُ وَإِنْ ضَرَبَ ظَهْرك فَإِنْ لَمْ يَكُنْ خَلِيفَة فَالْهَرَب
Jika kamu menemukan khalifah, maka bergabunglah bersamanya, meski khalifah itu memukul punggungmu (zhalim). Tetapi jika tidak ada khalifah, maka larilah (Fathul-Bari kitab al-fitan bab kaifa al-amru idza lam takun jama’ah wala imam).
سَتَكُونُ أُمَرَاءُ فَتَعْرِفُونَ وَتُنْكِرُونَ فَمَنْ عَرَفَ بَرِئَ وَمَنْ أَنْكَرَ سَلِمَ وَلَكِنْ مَنْ رَضِيَ وَتَابَعَ قَالُوا أَفَلَا نُقَاتِلُهُمْ قَالَ لَا مَا صَلَّوْا
“Akan ada pemimpin-pemimpin yang kalian kenal tapi kalian mengingkari mereka. Siapa yang mengenali (dan tidak terbawa arus), maka ia terbebas dari dosa. Siapa yang mengingkari (amar ma’ruf nahyi munkar), maka ia selamat. Akan tetapi siapa yang simpati dan mengikuti, maka ia tidak selamat.” Para shahabat bertanya: “Apakah kita harus memerangi mereka?” Rasul saw menjawab: “Tidak, selama mereka shalat.” (Shahih Muslim kitab al-imarah bab wujubil-inkar ‘alal-umara` fima yukhalifus-syar’a no. 3445-3446).
Shahabat ‘Ubadah ibn as-Shamit ra menjelaskan bahwa Nabi saw selalu mengambil bai’at dari para shahabat. Di antara bai’at tersebut adalah:
فِيمَا أَخَذَ عَلَيْنَا أَنْ بَايَعَنَا عَلَى السَّمْعِ وَالطَّاعَةِ، فِى مَنْشَطِنَا وَمَكْرَهِنَا، وَعُسْرِنَا وَيُسْرِنَا، وَأَثَرَةٍ عَلَيْنَا، وَأَنْ لاَ نُنَازِعَ الأَمْرَ أَهْلَهُ، إِلاَّ أَنْ تَرَوْا كُفْرًا بَوَاحًا، عِنْدَكُمْ مِنَ اللَّهِ فِيهِ بُرْهَانٌ
Bai’at yang beliau ambil dari kami adalah, kami berbai’at untuk patuh dan taat, dalam senang dan tidak senang, dalam susah dan mudah, dalam ketidakmerataan pembagian harta di antara kami dan agar kami tidak melepas urusan ini (bai’at kepemimpinan) dari pemiliknya. Kecuali jika kalian melihat kufur yang terang-terangan. Kalian sudah punya penjelasannya dari Allah (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab qaulin-Nabiy saw satarauna ba’di umuran tunkirunaha no. 6533).
Dua hadits terakhir di atas jelas menyebutkan khalifah yang masih shalat dan masih muslim tetap wajib ditaati meski tidak memerintah dengan baik. Tetapi tetap harus disertai amar ma’ruf nahyi munkar.
Dalam konteks inilah maka khilafah mustahil bertentangan dengan Pancasila. Pancasila menghendaki Persatuan Indonesia. Demikian juga Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmah Kebijaksanaan dalam Permusyawaratan dan Perwakilan. Ajaran khalifah juga demikian, menghendaki adanya persatuan di bawah satu pimpinan, terlepas apakah pimpinan itu ideal atau tidak. Daripada masyarakat hancur dalam perang sipil sehingga banyak korban yang meninggal seperti halnya dahulu masyarakat jahiliyyah, maka taat di bawah satu pimpinan dalam suatu jama’ah (khilafah/negara) itu lebih selamat dan sesuai sunnah. Ajaran khilafah ini dikenal dengan doktrin al-Jama’ah dalam rumusan aqidah Ahlus-Sunnah wal-Jama’ah. Demikian al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskannya dalam Fathul-Bari. Hadits Nabi saw berikut ini jadi dasarnya:
مَنْ رَأَى مِنْ أَمِيْرِهِ شَيْئاً يَكْرَهُهُ فَلْيَصْبِرْ عَلَيْهِ فَإِنَّهُ مَنْ فَارَقَ الْجَمَاعَةَ شِبْراً فَمَاتَ، إِلاَّ مَاتَ مِيْتَةً جَاهِلِيَّةً
Siapa yang melihat dari pemimpinnya sesuatu yang tidak disukainya, maka bersabarlah. Karena sesungguhnya orang yang memecah belah kesatuan umat (jama’ah/khilafah) sejengkal saja, lalu ia mati, maka matinya seperti mati jahiliyyah (Shahih al-Bukhari kitab al-fitan bab satarauna ba’di umuran tunkirunaha no. 7054).
Ajaran khilafah yang rasyidah juga tidak menganjurkan peralihan kekuasaan yang tidak melibatkan rakyat. Para khalifah rasyidun dari sejak Abu Bakar sampai ‘Ali radliyal-‘Llahu ‘anhum mengikuti sunnah Nabi saw untuk mengembalikan urusan kepemimpinan kepada rakyat melalui mekanisme permusyawaratan dan perwakilan.
Yang membedakan khilafah yang tidak ideal dengan khilafah nubuwwah adalah dari segi kesempurnaan syari’at Islam itu sendiri. Periode Abu Bakar-‘Ali ra disebut khilafah nubuwwah/rasyidah karena kesempurnaan syari’at Islam yang dijalankan. Meski khilafah yang tidak ideal harus dijalani, khilafah nubuwwah tetap harus menjadi cita-cita utama umat Islam sebab menegakkan syari’at Islam adalah sebuah kewajiban. Pancasila dalam wujud Piagam Jakarta 22 Juni 1945 telah mengakui penegakan syari’at Islam ini untuk umat Islam. Yang kemudian dikukuhkan kembali dengan Dekrit Presiden 5 Juli 1959 dimana dinyatakan dalam konsiderannya: “berkeyakinan bahwa Piagam Jakarta tertanggal 22 Juni 1945 menjiwai dan merupakan suatu rangkaian kesatuan dengan konstitusi tersebut”. Konstitusi seperti ini kemudian dijadikan landasan pembuatan Penpres 1/1965 tentang Pencegahan Penyalahgunaan dan/atau Penodaan Agama (selanjutnya menjadi UU No. 1/PNPS/1965 atau dikenal UU Anti Penodaan Agama yang berlaku sampai hari ini), dan dalam Peraturan Presiden No. 11 tahun 1960 tentang Pembentukan Institut Agama Islam Negeri (IAIN). Demikian juga pengakuan dari Dekrit Presiden tersebut dijadikan dasar untuk pengukuhan hukum-hukum Islam di NKRI ini. Sebagaimana dinyatakan oleh Mahkamah Konstitusi: “…hukum agama dalam hal ini syari’at Islam yang terkait dengan nikah, talak, rujuk, waris, hibah, wasiat, wakaf, ekonomi syari’ah, dan lain-lain telah menjadi hukum negara khususnya yang berlaku bagi pemeluk agama Islam.” (Putusan MK Nomor 140/PUU-VII/2009 alinea 3.34.8).
Maka mengapa kalau umat Islam memperjuangkan khilafah kemudian divonis bertentangan dengan Pancasila? Atau kalau umat Islam selalu berusaha menegakkan syari’at Islam untuk umat Islam sendiri, mengapa kemudian dikatakan bertentangan dengan Pancasila? Bukankah sudah banyak syari’at Islam yang diakui sebagai hukum negara?
Wal-‘Llahu a’lam.