Kisah Sahabat Nabi

Karena Keshalihan Ummu Sulaim

Kehadiran sosok Anas ibn Malik t sebagai orang kaya, banyak anak, dan seorang ulama, tidak lepas dari peran keshalihan ibunya, Ummu Sulaim—radliyal-‘Llâhu ‘anhâ—dalam mendidiknya dan mendekatkannya dengan manusia terpilih, Rasulullah saw. Sebab hasil panen yang memuaskan tidak mungkin diperoleh oleh petani-petani yang malas, acuh tak acuh, dan tidak sigap dalam menjaga dan merawat tanamannya.

Sejarah manusia-manusia teragung di setiap masa tidak akan pernah lepas dari peran para pendidiknya, baik itu pendidik utama yakni orangtua, ataupun pendidik pelengkap yakni guru dan ulama. Sesuatu yang hari ini luput dari manusia modern sehingga dunia ini hampa dari manusia-manusia mulia. Sebab pendidikan di era modern ini diserahkan kepada sebuah lembaga yang orangtua kemudian berlepas tangan dari mendidik anak-anaknya sendiri. Di lembaga pendidikan pun seringkali tidak jelas siapa para pendidik yang betul-betul berkhidmat penuh mendidik anak-anak didiknya, bukan hanya sebatas mengajar, datang, dan pulang. Asalkan sebuah lembaga pendidikan sudah dikenal karena atribut-atribut duniawinya, seakan-akan orangtua sudah tuntas melaksanakan tugasnya mendidik dengan menitipkannya ke lembaga pendidikan yang tak lebih sebatas lembaga transfer pengetahuan tersebut.

Adalah Anas ibn Malik, seorang shahabat mulia yang termasuk paling akhir wafat (lahir: 10 tahun sebelum hijrah, wafat: 91 H), salah seorang manusia sukses yang tak lepas dari peran pendidik orangtua dan ulama. Sebagaimana diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari, Anas pernah menuturkan:

عَنْ أَنَسٍ  دَخَلَ النَّبِيُّ ﷺ عَلَى أُمِّ سُلَيْمٍ فَأَتَتْهُ بِتَمْرٍ وَسَمْنٍ قَالَ أَعِيدُوا سَمْنَكُمْ فِي سِقَائِهِ وَتَمْرَكُمْ فِي وِعَائِهِ فَإِنِّي صَائِمٌ ثُمَّ قَامَ إِلَى نَاحِيَةٍ مِنْ الْبَيْتِ فَصَلَّى غَيْرَ الْمَكْتُوبَةِ فَدَعَا لِأُمِّ سُلَيْمٍ وَأَهْلِ بَيْتِهَا فَقَالَتْ أُمُّ سُلَيْمٍ يَا رَسُولَ اللَّهِ إِنَّ لِي خُوَيْصَّةً قَالَ مَا هِيَ قَالَتْ خَادِمُكَ أَنَسٌ فَمَا تَرَكَ خَيْرَ آخِرَةٍ وَلَا دُنْيَا إِلَّا دَعَا لِي بِهِ قَالَ اللَّهُمَّ ارْزُقْهُ مَالًا وَوَلَدًا وَبَارِكْ لَهُ فِيهِ فَإِنِّي لَمِنْ أَكْثَرِ الْأَنْصَارِ مَالًا وَحَدَّثَتْنِي ابْنَتِي أُمَيْنَةُ أَنَّهُ دُفِنَ لِصُلْبِي مَقْدَمَ حَجَّاجٍ الْبَصْرَةَ بِضْعٌ وَعِشْرُونَ وَمِائَةٌ

Dari Anas, Nabi saw masuk ke rumah Ummu Sulaim, lalu ia menghidangkan kurma dan mentega. Tetapi Nabi saw mengatakan: “Kembalikan mentega dan kurma kalian ke wadahnya, saya sedang shaum.” Kemudian beliau menuju ke sisi rumahnya lalu shalat sunat. Setelah itu mendo’akan Ummu Sulaim dan keluarganya. Ummu Sulaim berkata: “Wahai Rasulullah, saya memiliki seseorang yang sangat spesial (mohon do’anya juga secara khusus).” Nabi saw bertanya: “Siapa ia?” Ia menjawab: “Pembantu anda, Anas.” Maka Nabi saw tidak menyisakan kebaikan akhirat dan dunia, kecuali mendo’akannya untukku: “Ya Allah, berilah ia rizki harta dan anak, dan berkahilah ia padanya.” Maka sekarang sungguh aku adalah orang Anshar yang paling banyak hartanya. Putriku, Umainah, memberitahuku bahwa sampai kedatangan Hajjaj ke Bashrah anak-anakku yang telah meninggal sebanyak 120 orang lebih (Shahih al-Bukhari kitab as-shaum bab man zara qauman fa lam yufthir ‘indahum  no. 1982).

Mengenai pernyataan Anas: (Sungguh saya termasuk orang Anshar yang paling banyak hartanya), Imam Ahmad menambahkan pada riwayat Ibn Abi ‘Adi: “Anas menyebutkan bahwa ia tidak memiliki emas dan perak selain cincinnya.” Yakni bahwa hartanya bukan dua logam mulia. Dalam riwayat Tsabit pada riwayat Ahmad: Anas berkata: “Sekarang tidak ada seorang pun dari Anshar yang lebih banyak hartanya daripada aku. Ia berkata: Hai Tsabit, aku tidak memiliki yang kuning (emas) dan yang putih (perak), selain cincinku.” Dalam riwayat at-Tirmidzi dari sanad Abi Khaldah: Abul-‘Aliyah berkata: “Anas memiliki kebun yang berbuah dalam satu tahun dua kali. Dan di sana ada aroma wangi yang selalu bertiup seperti minyak wangi kesturi.” Dalam riwayat Abu Nu’aim dari sanad Hafshah binti Sirin, dari Anas, ia berkata: “Sungguh kebunku berbuah dalam satu tahun dua kali. Dan tidak ada di negeri ini satu kebun pun yang berbuah dua kali selain kebun ini.” (Fathul-Bari).

Hajjaj (panglima daulah Bani Umayyah) berkuasa di Bashrah pada tahun 75 H, usia Anas saat itu + 85 tahun. Anak-anaknya yang sudah meninggal sampai saat itu berjumlah kurang lebih 120 orang. Dalam kitab al-Hilyah dari sanad ‘Abdulllah ibn Abi Thalhah, dari Anas, ia berkata: “Aku telah menguburkan 100 orang, bukan keguguran, bukan pula cucu.” Adapun yang masih hidup, dalam riwayat Ishaq ibn Abi Thalhah, dari Anas, pada riwayat Muslim: “Sungguh anakku dan cucuku yang masih ada mencapai bilangan kurang lebih 100.” (Fathul-Bari).
Itu semua merupakan bagian dari mukjizat Nabi saw akan ijabah do’anya. Dalam riwayat lain disebutkan bahwa do’a Nabi saw untuk Anas itu adalah:

اللَّهُمَّ أَكْثِرْ مَالَهُ وَوَلَدَهُ وَأَطِلْ عُمُرَهُ وَاغْفِرْ ذَنْبه

Ya Allah, banyakkanlah harta dan anaknya, panjangkanlah umurnya, dan ampunilah dosanya.” (Fathul-Bari, riwayat Ibn Sa’ad dengan sanad shahih).

Al-Hafizh Ibn Hajar menjelaskan, hadits di atas menunjukkan bahwa setiap orang boleh menginginkan kebaikan dunia dan akhirat untuk anaknya. Setiap orangtua boleh berdo’a agar anaknya banyak harta dan anak, selama tidak menafikan kebaikan akhirat juga. Banyaknya anak yang sudah meninggal dunia juga tidak berarti menghilangkan keberkahan, karena dengan sabar jadi berkah juga (Fathul-Bari).

Kedekatan Nabi saw dengan keluarga Ummu Sulaim, seperti terlihat dalam hadits di atas sampai Nabi saw sengaja berkunjung ke rumah Ummu Sulaim, tentu bukan karena kebetulan saja. Dalam Shahih al-Bukhari kitab as-shalat bab as-shalat ‘alal-hashir no. 380, diceritakan juga bahwa Nabi saw pernah sengaja berkunjung ke rumah Ummu Sulaim dan ikut makan di sana. Bahkan Nabi saw pernah sengaja tidur siang di rumah Ummu Sulaim (Shahih Muslim bab thib ‘araqin-Nabi saw no. 6203). Anas sendiri menyatakan: Nabi saw tidak pernah masuk ke rumah siapapun di Madinah selain rumah Ummu Sulaim, kecuali ketika ada suaminya. Ketika ditanyakan kepada beliau, jawabnya: “Saya menyayanginya. Saudaranya (Haram) terbunuh karena membelaku—salah satu syahid di sumur Ma’unah.” (Shahih al-Bukhari bab fadlli man jahhaza ghaziyan no. 2844; Shahih Muslim bab min fadla`il Ummu Sulaim no. 6473).

Sebab utamanya adalah keshalihan dari Ummu Sulaim tersebut. Ia sampai menugaskan anaknya, Anas ibn Malik, untuk menjadi pelayan (khadim) di rumah Rasulullah saw tanpa pamrih, sebagaimana disebutkan dalam hadits di atas. Jauh sebelum itu, Ummu Sulaim kukuh dengan pendiriannya untuk masuk Islam sampai rela ditinggal oleh suaminya yang mati dalam keadaan kafir, Malik ibn an-Nadlr. Ia pun menyelamatkan anak lelakinya, Anas ibn Malik, dari pengaruh ayahnya dengan menalqinkan la ilaha illal-‘Llah dan mendidiknya dalam agama Allah meski berstatus single parent. Ketika Abu Thalhah kemudian datang melamarnya, ia minta agar mahar pernikahannya adalah hanya Abu Thalhah masuk Islam, meski ia petani kurma yang paling kaya di Madinah (adz-Dzahabi, Siyar A’lamin-Nubala`). Atas keshalihannya membimbing Islam kepada suaminya, Abu Thalhah pun menjadi seorang shahabat yang dermawan. Beliau adalah orang yang menshadaqahkan kebun kurmanya yang paling luas dan paling baik, Bairuha, ketika turun firman Allah swt surat Ali ‘Imran [3] : 92 (Shahih al-Bukhari bab az-zakat ‘alal-aqarib no. 1461). Selama berumah tangga dengan Abu Thalhah, ia dan suaminya termasuk yang sering memberi makanan kepada keluarga Rasulullah saw (Shahih al-Bukhari bab man da’a li tha’am fil-masjid no. 422). Ummu Sulaim juga pernah sengaja menyembunyikan kewafatan adiknya Anas hanya untuk ‘menjamu’ suaminya, Abu Thalhah yang baru pulang dari berdagang. Dari peristiwa malam itu, Nabi saw mendo’akannya, dan kemudian mendatangkan cucu 9 orang yang semuanya hafal al-Qur`an (Shahih al-Bukhari bab man lam yuzhhir huznahu ‘indal-mushibah no. 1301). Ini semua adalah faktor-faktor yang menunjang mengapa Nabi saw sangat dekat dengan keluarga Ummu Sulaim sehingga tulus mendo’akannya dan terkhusus lagi terhadap anaknya, Anas ibn Malik.

Inilah yang harus diteladani oleh setiap keluarga muslim. Anak yang sukses secara dunia dan akhirat mustahil lahir dari keluarga yang tidak shalih. Setiap orangtua, baik itu ibu ataupun ayah, harus terlebih dahulu menshalihkan dirinya terlebih dahulu. Bahkan dalam kasus Ummu Sulaim, ia sendiri yang berusaha ‘menundukkan’ suami dalam agama Allah swt, sehingga keduanya mempunyai visi dan komitmen yang sama dalam agama Allah swt. Pilihan sadar dari Ummu Sulaim untuk mendidikkan anak kepada seorang manusia mulia—bukan sebatas lembaga pendidikan terkenal—juga merupakan komitmen yang harus diteladani. Tidak hanya itu, Ummu Sulaim berkomitmen besar juga untuk memperhatikan kehidupan guru anaknya tersebut dan mendekatkan keluarganya dengan guru mulia tersebut, sehingga datanglah yang paling ditunggu-tunggu oleh setiap orang, do’a tulus dari seorang manusia mulia yang mustahil untuk tidak diijabah.

Rahmat Allah dan keridlaannya semoga tercurah selalu kepada Ummu Sulaim dan keluarganya, juga kepada semua orang yang mengikuti komitmennya dalam mendidik anak-anaknya. Terutama shalawat dan salam kepada sang manusia termulia, Nabi Muhammad saw.

Back to top button