Jalan Cinta Ilahi: Taubat dan Thaharah
Selain ihsan, cinta ilahi dapat diraih melalui taubat dan thaharah. Kedua amalan ini menuntun seorang muslim untuk selalu menyucikan diri dan jiwanya. Ia pun akan merasakan cinta Allah swt berupa anugerah-Nya dan perlindungan-Nya, demikian juga meningkatkan cintanya kepada Allah swt sehingga menjadikan ibadah yang dijalani ibarat hobi.
Penegasan jalan cinta ilahi berupa taubat dan thaharah, difirmankan Allah swt dalam salah satu ayatnya:
إِنَّ ٱللَّهَ يُحِبُّ ٱلتَّوَّٰبِينَ وَيُحِبُّ ٱلۡمُتَطَهِّرِينَ ٢٢٢
Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang selalu bertaubat dan mencintai orang-orang yang selalu suci (QS. al-Baqarah [2] : 222).
Firman Allah swt tawwabin menggambarkan keseringan dan kerefleksan orang-orang tersebut dalam bertaubat. Tema ini sudah sering dibahas dalam tulisan-tulisan sebelumnya (dalam buku Menuju Islam Kaffah termuat pada halaman 234-250 di bawah judul “Taubat Setiap Saat”, “Istighfar Wajib Dirutinkan”, “Beristighfar di Waktu Sahur”). Intinya yang dituntut oleh ayat di atas dan yang semisalnya, juga dicontohkan Nabi saw dalam hadits, taubat ini harus serutin mungkin, diwujudkan oleh kalimat istgihfar dan taubat yang sering diucapkan antara 70-100 kali dalam satu hari. Diutamakan pada waktu sahur selepas shalat Tahajjud/Witir dan sebelum shalat Shubuh, atau di waktu-waktu dzikir pada pagi dan petang selepas shubuh-dluha dan atau antara ‘ashar-‘isya. Rutinnya taubat dan istighfar akan menjadikan seorang muslim refleks dengan setiap dosa dan kesalahan yang dilakukannya. Ia bukan lagi orang yang susah diingatkan ketika berbuat salah, atau orang yang mudah diingatkan ketika berbuat salah. Sebab sebelum orang lain mengingatkannya pun, ia akan sudah merasa bersalah sendiri. Bahkan termasuk dalam kasus-kasus yang sebetulnya ia tidak bersalah, ia akan merasa bersalah, sebab ia yakin ada andil kesalahannya dalam setiap kasus yang menyimpang dari kebenaran.
Sementara thaharah artinya bersih atau suci. Mencakup thaharah fisik dan thaharah batin/jiwa (ar-Raghib al-Ashfahani, Mu’jam Mufradat al-Qur`an). Akan tetapi jika kata ini disandingkan dengan taubat yang konotasinya pada batin/jiwa, maka thaharah berarti suci fisik (Tafsir Ibn Katsir, al-Baqarah [2] : 222). Al-Qur`an dan hadits mengajarkan thaharah fisik ini dengan cara wudlu dan mandi atau tayammum ketika tidak ada air. Selain itu juga dengan membersihkan najis yang menempel pada tubuh atau baju sebagaimana difirmankan Allah swt: “Dan pakaianmu hendaklah kamu bersihkan.” (QS. al-Muddatstsir [74] : 4)
Pernyataan bahwa Allah swt mencintai orang yang selalu suci ini diungkapkan juga dalam QS. at-Taubah [9] : 108:
وَٱللَّهُ يُحِبُّ ٱلۡمُطَّهِّرِينَ ١٠٨
Dan Allah mencintai orang-orang yang selalu suci.
Baik ayat yang ada dalam surat al-Baqarah ataupun at-Taubah, kedua-duanya menggunakan shighah muthawi’ (menunjukkan akibat atau hasil). Di surat al-Baqarah wazan tafa’-‘ala, sedang di surat at-Taubah wazan ifta’ala. Kedua-duanya bermakna orang-orang yang selalu dalam keadaan suci. Bedanya, kalau kata “bersuci” menunjukkan sebuah aktifitas yang terikat pada waktu tertentu, sementara “dalam keadaan suci” melintasi ruang dan waktu; di mana pun dan kapan pun ia selalu ada dalam keadaan suci. Ini memang tidak wajib, tetapi sunnat. Sebagaimana sudah dibahas sebelumnya, amal yang mengarah pada cinta ilahi ini adanya di amal-amal yang sunnat. Maka hadits-hadits berikut ini menggambarkan bagaimana amaliah thaharah Nabi saw:
عَنِ الْمُهَاجِرِ بْنِ قُنْفُذٍ أَنَّهُ أَتَى النَّبِىَّ ﷺ وَهُوَ يَبُولُ فَسَلَّمَ عَلَيْهِ فَلَمْ يَرُدَّ عَلَيْهِ حَتَّى تَوَضَّأَ ثُمَّ اعْتَذَرَ إِلَيْهِ فَقَالَ إِنِّى كَرِهْتُ أَنْ أَذْكُرَ اللَّهَ إِلاَّ عَلَى طُهْرٍ أَوْ قَالَ عَلَى طَهَارَةٍ
Dari al-Muhajir ibn Qunfudz, bahwasanya ia mendatangi Nabi saw ketika beliau sedang kencing. Ia salam kepada beliau, tetapi tidak dijawab sampai beliau selesai dan berwudlu. Kemudian beliau menjelaskan alasannya: “Sungguh aku tidak suka berdzikir kepada Allah awj kecuali dalam keadaan suci.” (Sunan Abi Dawud kitab at-thaharah bab a yuraddus-salam wa huwa yabulu no. 17).
Jika Nabi saw faktanya setiap saat selalu dzikir, artinya Nabi saw setiap saat selalu berusaha untuk suci. Maka setiap selesai buang air, Nabi saw selalu meenyempatkan bersuci agar selalu ada dalam keadaan suci:
وَعَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ: كَانَ رَسُولُ اللهِ ﷺ يَذْكُرُ اللَّهَ عَلَى كُلِّ أَحْيَانِهِ.
Dari ‘Aisyah ia berkata: “Rasulullah saw senantiasa berdzikir kepada Allah dalam setiap waktunya.” (Shahih Muslim kitab al-haidl bab dzikril-‘Llah fi halil-janabah wa ghairihi no. 852).
Keterangan dari Anas berikut ini lebih menguatkannya lagi:
عَنْ أَنَسِ بْنِ مَالِكٍ قَالَ كَانَ النَّبِيُّ ﷺ إِذَا خَرَجَ لِحَاجَتِهِ تَبِعْتُهُ أَنَا وَغُلَامٌ وَمَعَنَا عُكَّازَةٌ أَوْ عَصًا أَوْ عَنَزَةٌ وَمَعَنَا إِدَاوَةٌ فَإِذَا فَرَغَ مِنْ حَاجَتِهِ نَاوَلْنَاهُ الْإِدَاوَةَ
Dari Anas ibn Malik, ia berkata: “Nabi saw apabila keluar hendak buang air, diikuti oleh aku dan pembantu lainnya. Kami membawa ‘ukkazah (tongkat yang digunakan sebagai sandaran ketiak) atau tongkat biasa atau ‘anazah (bayonet). Kami juga membawa seember air. Apabila sudah selesai buang airnya, kami membawa kembali ember tersebut.” (Shahih al-Bukhari kitab as-shalat abwab sutratil-mushalli bab as-shalat ilal-‘anazah [shalat menghadap ‘anazah/bayonet] no. 500. Tongkat yang biasa dibawakan oleh Anas digunakan oleh Nabi saw untuk sutrah shalat Thuhur/Syukrul-Wudlu, sebab selepas buang air Nabi saw selalu menyempatkan berwudlu dan shalat [Shahih al-Bukhari kitab as-shalat bab as-shalat fits-tsaubil-ahmar no. 376])
Bahkan ketika junub pun Nabi saw selalu menyempatkan wudlu, meski belum sempat mandi:
عَنْ عَائِشَةَ قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ ﷺ إِذَا كَانَ جُنُبًا فَأَرَادَ أَنْ يَأْكُلَ أَوْ يَنَامَ تَوَضَّأَ وُضُوءَهُ لِلصَّلاَةِ
Dari ‘Aisyah, ia berkata: “Rasulullah saw apabila beliau junub lalu hendak makan atau tidur, beliau berwudlu terlebih dahulu seperti wudlu untuk shalat.” (Shahih Muslim kitab al-haidl bab jawazi naumil-junub wa istihbabil-wudlu lahu no. 726)
Makanya tidak heran jika Nabi saw memerintahkan sebagai berikut:
إِذَا أَتَيْتَ مَضْجَعَكَ فَتَوَضَّأْ وُضُوءَكَ لِلصَّلَاةِ ثُمَّ اضْطَجِعْ عَلَى شِقِّكَ الْأَيْمَنِ ثُمَّ قُلْ اللَّهُمَّ أَسْلَمْتُ وَجْهِي إِلَيْكَ وَفَوَّضْتُ أَمْرِي إِلَيْكَ وَأَلْجَأْتُ ظَهْرِي إِلَيْكَ رَغْبَةً وَرَهْبَةً إِلَيْكَ لَا مَلْجَأَ وَلَا مَنْجَا مِنْكَ إِلَّا إِلَيْكَ اللَّهُمَّ آمَنْتُ بِكِتَابِكَ الَّذِي أَنْزَلْتَ وَبِنَبِيِّكَ الَّذِي أَرْسَلْتَ فَإِنْ مُتَّ مِنْ لَيْلَتِكَ فَأَنْتَ عَلَى الْفِطْرَةِ وَاجْعَلْهُنَّ آخِرَ مَا تَتَكَلَّمُ بِهِ
Apabila kamu hendak tidur, wudlulah seperti wudlu hendak shalat, kemudian berbaringlah ke sebelah kanan, kemudian bacalah: Ya Allah sungguh aku serahkan wajahku kepada-Mu, aku pasrahkan urusanku kepada-Mu, aku sandarkan punggungku kepada-Mu, penuh harap dan cemas kepada-Mu, tidak ada tempat berlindung dan selamat dari-Mu kecuali kembali kepada-Mu. Ya Allah aku beriman kepada kitab-Mu yang telah Engkau turunkan dan kepada Nabi-Mu yang telah Engkau utus. Jika kamu meninggal malam itu, maka kamu meninggal dalam keadaan fithrah. Jadikanlah do’a ini bacaan/ucapanmu yang terakhir [yang bergaris bawah adalah lafazh do’a] (Shahih al-Bukhari kitab al-wudlu bab fadlil man bata ‘alal-wudlu no. 247.).
Wal-‘Llahul-Musta’an