Islam Mustahil Menerima Syi’ah

Islam Mustahil Menerima Syi’ah
Narasi Ali Khamenei, Pemimpin Tertinggi Iran, yang melarang penghinaan terhadap shahabat dan istri-istri Nabi ﷺ disebarkan secara massif dalam media sosial. Demikian halnya fatwa Syaikh al-Azhar bahwa perbedaan Syi’ah dengan Ahlus-Sunnah hanya perbedaan madzhab, bukan perbedaan agama, agar umat Islam seluruh dunia mendukung Iran yang menggempur Israel. Seakan-akan seabrek fakta kitab-kitab Syi’ah yang mengajarkan aqidah sesat dan menyimpang dari Islam bisa ditutupi narasi media sosial dengan mudah begitu saja.
Islam mengajarkan ta’awun; saling bekerja sama, tolong menolong, berkolaborasi, dan sinergi dalam kebaikan harus bisa diwujudkan dengan siapa pun bahkan dengan orang-orang kafir sekalipun (QS. Al-Ma’idah [5] : 2). Tetapi Islam tetap menegaskan dalam surat al-Kafirun lakum dinukum wa liya din; agama orang kafir silahkan dijalankan oleh orang-orang kafir, sementara orang-orang Islam harus tetap pada agama mereka tanpa terseret sedikit pun untuk membenarkan keyakinan orang-orang kafir. Perbedaan aqidah tidak boleh sampai menghalangi ta’awun, demikian halnya ta’awun tidak boleh sampai melunturkan aqidah akan sesatnya orang-orang kafir. Untuk kepentingan dukungan kaum muslimin terhadap pembebasan Gaza tidak perlu merasa risih dengan bantuan Iran, Rusia, atau China. Tetapi itu semua tidak perlu dengan memaksakan narasi bahwa Syi’ah bagian dari Islam dan bahwa komunis Rusia dan China bersahabat dengan agama Islam. Syi’ah tetaplah bukan Islam dan komunisme tetaplah musuh Islam sampai kiamat selama mereka tidak pernah memilih jalan Islam.
Narasi fatwa Syaikh al-Azhar (pemimpin tertinggi Universitas Al-Azhar, Mesir) bahwa perbedaan Syi’ah dan Ahlus-Sunnah sebatas perbedaan madzhab mudah terbantahkan oleh sesama Syaikh al-Azhar sebelumnya. Syaikh Mushthafa as-Siba’i saja, sebagai salah satu ulama yang mendukung taqrib (pendekatan/rekonsiliasi Sunnah Syi’ah), sebagaimana dikemukakan Ustadz Abdul Latief Mukhtar (Ketua Umum PP. PERSIS 1983-1997) dalam tulisan-tulisannya tentang Syi’ah (dikompilasi dalam buku Gerakan Kembali ke Islam) sudah sampai pada kesimpulan bahwa Syi’ah tidak mungkin mendekati Ahlus-Sunnah karena mereka tidak kunjung menyepakati al-Qur`an dan Sunnah sebagai pedoman utama ajaran madzhab. Syaikh Yusuf al-Qaradlawi sebagaimana tersimak dalam video-video ceramahnya menyatakan sudah berputus asa dengan gagasan taqrib Sunnah-Syi’ah karena Syi’ah tidak bisa berhenti dari menghujat para shahabat Nabi saw dan membawa konsekuensi pengingkaran terhadap sunnah Nabi saw yang semuanya bersumber dari shahabat Nabi saw. Fatwa dari majelis-majelis ulama seluruh dunia, termasuk Majelis Ulama Indonesia, harus dijadikan rujukan utama daripada fatwa seorang Syaikh al-Azhar yang dipilih oleh penguasa Mesir yang sampai saat ini tidak mau membuka blokade Rafah hanya untuk mengirimkan bantuan ke Gaza, Palestina.
Sementara narasi Ali Khamenei yang melarang penghinaan terhadap para shahabat dan istri-istri Nabi saw sangat bisa dipastikan sebagai taqiyyah semata. Taqiyyah artinya melindungi diri agar selamat dari bahaya atau untuk kepentingan tertentu. Taqiyyah dilakukan dengan cara berbohong, yakni menampakkan diri bukan sebagai Syi’ah. Taqiyyah ini merupakan salah satu ajaran utama dalam Syi’ah yang harus diamalkan oleh setiap penganut Syi’ah dalam momentum tertentu agar dirinya dan aqidah Syi’ah bisa tetap eksis. Modelnya selalu dengan menampakkan diri sebagai pencinta Nabi saw, keluarganya, dan para shahabat. Setelah simpati muncul dari masyarakat Ahlus-Sunnah barulah sedikit demi sedikit menularkan virus-virus keraguan terhadap para shahabat dengan berakar pada dramaturgi kisah ‘Ali ra dan keluarganya yang secara politik ditaqdirkan kalah dan kemudian disingkirkan oleh penguasa-penguasa sesudahnya. Dramaturgi ‘Ali ra dan keluarganya dibangun sedemikian rupa sampai melahirkan kecintaan ekstrem kepada beliau yang membawa pada kebencian ekstrem juga untuk orang-orang sekitarnya yang dianggap tidak menolongnya, yakni para shahabat dan tabi’in. Dari sini virus untuk merendahkan shahabat dan tabi’in pun akan mudah menyebar yang berujung pada penolakan sunnah/hadits Nabi saw yang notabene ditransmisikan oleh para shahabat dan tabi’in atau Ahlus-Sunnah.
Di Indonesia model taqiyyah ini tampak pada sepak terjang salah seorang tokohnya Jalaluddin Rakhmat (1949-2021). Ia selalu menolak semua penisbatan dirinya sebagai Syi’ah. Narasi yang selalu dibangunnya adalah pemuliaan terhadap Ahlul-Bait (keluarga Nabi saw dan keturunannya) sehingga ia pun menamakan kelompoknya Ikatan Jama’ah Ahlul Bait Indonesia (IJABI). Itu pastinya dilatarbelakangi budaya Indonesia yang pasti memuliakan Ahlul-Bait sebagaimana tampak pada jama’ah-jama’ah Habaib. Akan tetapi dalam tulisan-tulisannya yang lain ia cukup berani mempertanyakan apa itu sunnah dan shahabat dengan uraian khasnya yang renyah, kritis, dan ilmiah (seperti dalam buku Misteri Wasiat Nabi: Asal-usul Sunnah Sahabat). Dalam jurus yang lain ia mengakali juga ikhtilaf fiqih dalam Islam untuk membenarkan fiqih Syi’ah dan bahkan turut membenarkan pluralisme demi penerimaan terhadap Syi’ah (seperti dalam buku Dahulukan Akhlak di Atas Fikih dan Pluralisme dalam Al-Quran).
Dalam pengantarnya untuk buku Ustadz Abdul Latief Mukhtar, Gerakan Kembali ke Islam, Jalaluddin Rakhmat membenarkan taqiyyah sebagai ajaran utama Syi’ah dan dianjurkan juga oleh pencetus Revolusi Iran, Khomeini. Ia menulis:
Imam Khumaini menulis risalah khusus tentang taqiyyah. Taqiyyah dibedakan dari kemunafikan. Nifaq ialah menyembunyikan kekafiran dan menampakkan keimanan. Sebaliknya, taqiyyah berarti menyembunyikan keimanan dan menampakkan kekufuran, yang dilakukan karena beberapa hal. Taqiyyah dapat dilakukan karena takut, untuk melindungi diri dari kecelakaan dan ancaman. Orang Syi’ah berdalil dengan ayat Al-Quran: “Janganlah orang-orang mukmin mengambil orang-orang kafir menjadi wali dengan meninggalkan orang-orang mukmin. Barang siapa berbuat demikian, niscaya lepaslah ia dari pertolongan Allah, kecuali karena (siasat) memelihara diri dari sesuatu yang ditakuti dari mereka. Dan Allah memperingatkan kamu terhadap diri (siksa)-Nya. Dan hanya kepada Allah kembali(mu).” (Ali Imran: 28); dan ayat Al-Quran berikut ini: “Barangsiapa yang kafir kepada Allah sesudah dia beriman (dia mendapat kemurkaan Allah), kecuali orang yang dipaksa kafir padahal hatinya tetap tenang dalam beriman (dia tidak berdosa), akan tetapi orang yang melapangkan dadanya untuk kekafiran, maka kemurkaan Allah menimpanya dan baginya azab yang besar.” (Al-Nahl: 106). Taqiyyah bisa juga dilakukan karena memelihara persaudaraan kaum Muslimin.
Saya kutipkan tulisan Imam Khumaini dalam Ar-Rasa’il, halaman 174 (Qum: Mu’assah Ismailiyan, 1410 H): “Kadang-kadang taqiyyah dilakukan karena takut dan kadang-kadang karena pergaulan (mudharat). Karena takut, mungkin disebabkan oleh adanya bahaya yang mengancam diri orang yang bertaqiyyah, mengancam kehormatannya atau hartanya, atau apa saja yang berkaitan dengannya. Kadang-kadang taqiyyah ini dilakukan karena menjaga agar tidak ada bahaya pada masyarakat Islam, yakni dikhawatirkan pecahnya persatuan kaum Muslim bila taqiyyah itu ditinggalkan, dan bahaya terhadap masyarakat Islam karena pertikaian di antara mereka, dan sebagainya.
Yang dimaksud dengan taqiyyah mudharat adalah taqiyyah yang dilakukan untuk mempersatukan kaum Muslim dengan menarik kecintaan para penentang dan memperoleh kasih sayang mereka, bukan karena mengkhawatirkan adanya ancaman seperti taqiyyah khauf.”
Untuk yang terakhir ini, Imam Khumaini mengutip hadis dari Abu ‘Abdillah: “… Jadilah kalian penghias bagi kelompok yang kalian nisbahkan diri kalian padanya. Janganlah kalian mendatangkan cela bagi kami. Shalatlah di tempat jamaah shalat mereka, kunjungi orang sakit mereka, antarkan jenazah mereka. Janganlah mereka mendahului kalian dalam apa pun yang berupa kebaikan. Kalian harus lebih dahulu dari mereka. Demi Allah, tidak ada yang lebih disukai Allah dalam ibadah kepada-Nya selain al-khiba. Aku bertanya, ‘Apa al-khiba?’ Ia berkata, ‘Taqiyyah’.
Setelah itu Imam Khumaini berkata, “Yang jelas dari hadis ini ialah bahwa kita dianjurkan untuk beramal sesuai pendapat mereka (Ahlussunnah), dan keinginan mereka, serta menjalankan shalat di tempat jamaah mereka. Begitu juga dalam kebaikan-kebaikan lainnya. Memang ketika menjalankan shalat di tengah jamaah mereka atau di hadapan mereka kita harus meninggalkan sebagian syarat atau melakukan sebagian larangan. Kalimat ‘tidak ada yang lebih disukai Allah dan seterusnya’ menunjukkan sahnya ibadah dengan cara yang bertentangan dengan fikih Syi’ah.” (hlm. lviii-lix)
Pernyataan Imam Khomeini yang dikutip Jalal di atas bahwa taqiyyah menampakkan kekufuran dan menyembunyikan keimanan dengan menyebutkan contoh Ahlus-Sunnah adalah pernyataan terang benderang bahwa Ahlus-Sunnah itu kafir, dan terhadap Ahlus-Sunnah harus menampakkan kekafiran sebagaimana kafirnya Ahlus-Sunnah. Mana bisa aqidah seperti ini diterima oleh Islam. Nabi saw tegas dalam hadits menyatakan bahwa siapa yang memvonis kafir kepada seorang muslim maka yang memvonis kafir itu sendiri yang sebenarnya kafir.
Pemahaman seorang Imam besar Syi’ah seperti Khomeini terhadap ayat al-Qur`an yang tidak merujuk pada penafsiran Nabi saw dan para shahabat juga menunjukkan sikap yang terang-terangan menyimpang dari “ma ana ‘alahi wa ashhabi; apa yang aku dan para shahabatku ada padanya,” sebagai satu-satunya jalan keselamatan yang Nabi saw canangkan. Taqiyyah (melindungi diri) yang dibenarkan dalam dua ayat dalam Ali ‘Imran dan an-Nahl di atas hanya sebatas di lisan, tidak sampai pada hati dan amal. Dalam hal ini Ibn ‘Abbas ra menyatakan: laisat-taqiyyah bil-‘amal, innamat-taqiyyah bil-lisan; taqiyyah itu bukan dengan amal, taqiyyah itu hanya dengan lisan (Tafsir Ibn Katsir surat Ali ‘Imran [3] : 28). Fakta sejarah dan sunnah juga demikian. Tidak ada seorang shahabat pun yang menggunakan ayat di atas untuk mengamalkan kekafiran, melainkan sebatas di pengakuan lisan saja ketika memang terdesak untuk itu. Setelah itu melarikan diri dan menyelamatkan diri, bukan malah menikmati beramal kekafiran sebagaimana taqiyyah versi Syi’ah. Mengamalkan kekafiran bertentangan dengan surat al-Kafirun yang gamblang menyuruh tegas untuk tidak ikut beribadah seperti ibadah orang-orang kafir.
Hadits yang dirujuk oleh Imam Khomeini bisa dipastikan hadits maudlu’ (palsu) karena memang tidak ada sandaran periwayatannya (sanad). Hal yang demikian tidak menjadikan mereka merasa risih karena bagi mereka berbohong itu (taqiyyah) ajaran mulia demi memuliakan Syi’ah itu sendiri.
Umat Islam tidak akan terkecoh dengan postingan pernyataan Ali Khamenei di berbagai platform media sosial sebagaimana dikutip di atas, sebab pastinya itu adalah taqiyyah semata. Keyakinan bahwa shahabat kafir dan istri-istri Nabi saw juga kafir tertuang jelas dalam kitab-kitab ajaran Syi’ah yang ditulis oleh ulama-ulama Syi’ah. Al-Kulaini (w. 324 H) misalnya dalam al-Ushul minal-Kafi, kitab hadits utama kaum Syi’ah, meriwayatkan pernyataan Abu Ja’far:
اِرْتَدَّ النَّاسُ بَعْدَ النَّبِيِّ ﷺ إِلاَّ ثَلاَثَةً وَهُمُ الْمِقْدَادُ وَسَلْمَانُ وَأَبُوْ ذَرٍّ
Orang-orang murtad sesudah Nabi saw (wafat) kecuali tiga orang yaitu Miqdad, Salman dan Abu Dzar (Al-Ushul minal-Kafi no. 341).
Dalam kitab La`alil-Akhbar yang ditulis oleh Syaikh Muhammad Tusirkani (w. 1319 H/1901 M) yang disebutkan dalam cover kitabnya Umdatul-Ulama wal-Muhaqqiqin (rujukan para ulama dan peneliti di kalangan Syi’ah) menuliskan pada halaman 92 bahwa tempat dan momentum yang tepat berdo’a laknat untuk para shahabat ketika bersuci di tempat bersuci dan akhir malam. Do’a laknatnya:
اللهم الْعَنْ عمر ثم أبا بكر وعمر ثم عثمان وعمر ثم معاوية وعمر
Ya Allah laknatlah ‘Umar, kemudian Abu Bakar dan ‘Umar, kemudian ‘Utsman dan ‘Umar, kemudian Mu’awiyah dan ‘Umar.
Dalam kitab Kasyful-Asrar yang ditulis Imam Khomeini dituliskan sebagai berikut:
“Sering kalian mengatakan: “Seandainya ada nash atas imamah ‘Ali dalam al-Qur`an mustahil dua Syaikh (Abu Bakar dan ‘Umar) menyalahinya. Seandainya benar keduanya menyalahinya pun pasti kaum muslimin tidak akan menerima sikap mereka berdua atas hal itu.” Maka dari itu dalam ringkasan ini kita akan menyebutkan bukti-bukti bahwa Abu Bakar dan ‘Umar berani menyalahi ayat al-Qur`an yang sharih (jelas) untuk membuktikan bahwa mereka berdua berani menyalahi al-Qur`an dan bahwasanya kaum muslimin menerima sikap mereka.”
Imam Khomeini kemudian menuliskan dua sub bab:
مخالفات أبي بكر لنص القرآن
Penyimpangan Abu Bakar dari nash al-Qur`an (menuliskan tiga tuduhan keji; Abu Bakar tidak membagikan waris Fathimah, Abu Bakar tidak memberikan saham 20 persen ghanimah untuk keluarga Nabi saw, tidak menyalurkan zakat kepada muallaf)
مخالفات عمر لكتاب الله
Penyimpangan ‘Umar dari kitab Allah (menuliskan empat tuduhan keji; melarang nikah mut’ah, melarang haji tamattu’, menghitung talak tiga satu majelis sebagai talak tiga sekaligus padahal seharusnya talak satu, dan mencegah Rasul saw menulis wasiat karena belai sedang sakit).
Jika memang Ali Khamenei menyatakan para shahabat harus dimuliakan, demikian istri-istri Nabi saw, maka mudah saja baginya untuk membuktikan kebenaran pernyataannya, yakni umumkan kepada umat Islam bahwa al-Kulaini dan segenap ulama-ulama Syi’ah lainnya dari generasi awal sampai akhir adalah orang-orang yang aqidahnya menyimpang karena tidak menjadikan Nabi saw dan para shahabat sebagai rujukan agama. Namun kita sudah bisa memastikan bahwa itu mustahil dilakukan oleh Ali Khamenei karena bagi Syi’ah taqiyyah itu amal mulia.
Sampai titik ini saja, sudah cukup jadi bukti bahwa Islam memang mustahil menerima Syi’ah, sebagaimana mustahilnya Islam menerima komunisme yang disebarkan Rusia dan China.
Wal-‘Llahu a’lam