Hukum Perang di Palestina
Tidak diragukan lagi bahwa Palestina masuk kategori wilayah perang (darul-harbi) karena persyaratannya sudah lengkap; warganya diperangi dan diusir dari tanah air mereka. Seluruh warga Palestina wajib berperang melawan para penjajah Yahudi. Haram hukumnya bagi mereka berkompromi dengan penjajah Yahudi untuk melanggengkan penjajahannya. Tetapi apakah kewajiban itu berlaku juga bagi kaum muslimin yang berada di luar wilayah Palestina?
Kaum muslimin diizinkan melawan mengangkat senjata ketika mereka diperangi dan diusir dari tanah air mereka. Allah swt berfirman:
أُذِنَ لِلَّذِينَ يُقَٰتَلُونَ بِأَنَّهُمۡ ظُلِمُواْۚ وَإِنَّ ٱللَّهَ عَلَىٰ نَصۡرِهِمۡ لَقَدِيرٌ ٣٩ ٱلَّذِينَ أُخۡرِجُواْ مِن دِيَٰرِهِم بِغَيۡرِ حَقٍّ إِلَّآ أَن يَقُولُواْ رَبُّنَا ٱللَّهُۗ … ٤٠
Telah diizinkan (berperang) bagi orang-orang yang diperangi, karena sesungguhnya mereka telah dianiaya. Dan sesungguhnya Allah, benar-benar Maha Kuasa menolong mereka itu, (yaitu) orang-orang yang telah diusir dari kampung halaman mereka tanpa alasan yang benar, kecuali karena mereka berkata: “Tuhan kami hanyalah Allah” (QS. al-Hajj [22] : 39-40).
Ayat di atas dikuatkan juga oleh firman Allah swt dalam QS. al-Baqarah [2] : 190 dan al-Mumtahanah [60] : 9.
Hukum jihad ini fardlu kifayah; wajib tetapi cukup (kifayah) diwakili oleh orang-orang yang ahli, profesional, atau militer, sebagaimana Allah swt firmankan:
۞وَمَا كَانَ ٱلۡمُؤۡمِنُونَ لِيَنفِرُواْ كَآفَّةٗۚ فَلَوۡلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرۡقَةٖ مِّنۡهُمۡ طَآئِفَةٞ لِّيَتَفَقَّهُواْ فِي ٱلدِّينِ وَلِيُنذِرُواْ قَوۡمَهُمۡ إِذَا رَجَعُوٓاْ إِلَيۡهِمۡ لَعَلَّهُمۡ يَحۡذَرُونَ ١٢٢
“Tidak sepatutnya bagi orang-orang yang mukmin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya, supaya mereka itu dapat menjaga dirinya.” (QS. At-Taubah [9] : 122).
Dalam ayat lain Allah swt menjelaskan bahwa masyarakat muslim itu dibagi dua antara mujahidun (ahli perang, militer) dan qa’idun (masyarakat sipil yang tidak berperang).
لَّا يَسۡتَوِي ٱلۡقَٰعِدُونَ مِنَ ٱلۡمُؤۡمِنِينَ غَيۡرُ أُوْلِي ٱلضَّرَرِ وَٱلۡمُجَٰهِدُونَ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡۚ فَضَّلَ ٱللَّهُ ٱلۡمُجَٰهِدِينَ بِأَمۡوَٰلِهِمۡ وَأَنفُسِهِمۡ عَلَى ٱلۡقَٰعِدِينَ دَرَجَةٗۚ وَكُلّٗا وَعَدَ ٱللَّهُ ٱلۡحُسۡنَىٰۚ وَفَضَّلَ ٱللَّهُ ٱلۡمُجَٰهِدِينَ عَلَى ٱلۡقَٰعِدِينَ أَجۡرًا عَظِيمٗا ٩٥
Tidaklah sama antara mukmin yang duduk (yang tidak ikut berperang) yang tidak mempunyai ‘uzur dengan orang-orang yang berjihad di jalan Allah dengan harta mereka dan jiwanya. Allah melebihkan orang-orang yang berjihad dengan harta dan jiwanya atas orang-orang yang duduk satu derajat. Kepada masing-masing mereka Allah menjanjikan pahala yang baik (surga) dan Allah melebihkan orang-orang yang berjihad atas orang yang duduk dengan pahala yang besar (QS. an-Nisa` [4] : 95).
Dalam keadaan tertentu, jihad bisa menjadi wajib bagi setiap orang, yaitu: Pertama, ketika diwajibkan untuk setiap orang oleh imam/khalifah.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُواْ مَا لَكُمۡ إِذَا قِيلَ لَكُمُ ٱنفِرُواْ فِي سَبِيلِ ٱللَّهِ ٱثَّاقَلۡتُمۡ إِلَى ٱلۡأَرۡضِۚ أَرَضِيتُم بِٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا مِنَ ٱلۡأٓخِرَةِۚ فَمَا مَتَٰعُ ٱلۡحَيَوٰةِ ٱلدُّنۡيَا فِي ٱلۡأٓخِرَةِ إِلَّا قَلِيلٌ ٣٨ إِلَّا تَنفِرُواْ يُعَذِّبۡكُمۡ عَذَابًا أَلِيمٗا وَيَسۡتَبۡدِلۡ قَوۡمًا غَيۡرَكُمۡ وَلَا تَضُرُّوهُ شَيۡئًاۗ وَٱللَّهُ عَلَىٰ كُلِّ شَيۡءٖ قَدِيرٌ ٣٩
Hai orang-orang yang beriman, apakah sebabnya apabila dikatakan kepada kamu: “Berangkatlah (untuk berperang) pada jalan Allah” kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? padahal kenikmatan hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) di akhirat hanyalah sedikit. Jika kamu tidak berangkat untuk berperang, niscaya Allah menyiksa kamu dengan siksa yang pedih dan digantinya (kamu) dengan kaum yang lain, dan kamu tidak akan dapat memberi kemudaratan kepada-Nya sedikit pun. Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu (QS. at-Taubah [9] : 38-39).
Imam Ibn Jarir at-Thabari sebagaimana dikutip al-Hafizh Ibn Katsir menjelaskan bahwa berdasarkan ayat ini, jihad menjadi fardlu ‘ain ketika diinstruksikan Rasulullah saw untuk berperang (Tafsir Ibn Katsir). Setelah Rasulullah saw wafat kewenangannya beralih kepada Pemerintah yang berwenang.
Kedua, ketika berhadapan langsung dengan musuh, tepatnya di medan perang atau musuh yang tiba-tiba datang ke kampung halaman dan melakukan kekerasan senjata.
يَٰٓأَيُّهَا ٱلَّذِينَ ءَامَنُوٓاْ إِذَا لَقِيتُمُ ٱلَّذِينَ كَفَرُواْ زَحۡفٗا فَلَا تُوَلُّوهُمُ ٱلۡأَدۡبَارَ ١٥ وَمَن يُوَلِّهِمۡ يَوۡمَئِذٖ دُبُرَهُۥٓ إِلَّا مُتَحَرِّفٗا لِّقِتَالٍ أَوۡ مُتَحَيِّزًا إِلَىٰ فِئَةٖ فَقَدۡ بَآءَ بِغَضَبٖ مِّنَ ٱللَّهِ وَمَأۡوَىٰهُ جَهَنَّمُۖ وَبِئۡسَ ٱلۡمَصِيرُ ١٦
Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu bertemu dengan orang-orang yang kafir yang sedang menyerangmu, maka janganlah kamu membelakangi mereka (mundur). Barang siapa yang membelakangi mereka (mundur) di waktu itu, kecuali berbelok untuk (siasat) perang atau hendak menggabungkan diri dengan pasukan yang lain, maka sesungguhnya orang itu kembali dengan membawa kemurkaan dari Allah, dan tempatnya ialah neraka Jahanam. Dan amat buruklah tempat kembalinya (QS. al-Anfal [8] : 15-16).
Imam as-Sa’di menjelaskan, yang dimaksud ayat di atas: fi shaffil-qital wa tazahafar-rijal; dalam barisan perang dan telah berhadapan pasukan-pasukan perang (Tafsir as-Sa’di). Dalam hadits tentang tujuh dosa besar disebutkan salah satunya al-firar minaz-zahf; kabur dari medan perang. Artinya dosa lari dari medan pertempuran sederajat dengan membunuh dan sejenisnya (Haditsnya bersumber dari Abu Hurairah ra, dari Nabi saw, beliau bersabda: “Jauhilah tujuh dosa yang membinasakan.” Para shahabat bertanya: “Wahai Rasulullah, apa saja itu?” Beliau menjawab: “Syirik kepada Allah, sihir, membunuh jiwa yang diharamkan Allah kecuali dengan cara haq, makan riba, makan harta anak yatim, melarikan diri pada hari pertempuran, menuduh zina kepada perempuan yang menjaga dirinya, mukmin, dan jauh dari perbuatan nista.” [Shahih al-Bukhari bab qulil-‘Llah ta’ala innal-ladzina ya`kuluna amwalal-yatama no. 2766; Shahih Muslim bab bayanil-kaba`ir no. 272]).
Ketiga, ketika Rasulullah saw langsung yang memimpin perang. Maka tidak ada seorang pun yang tidak terkendala udzur syar’i yang boleh tidak ikut perang (QS. at-Taubah [9] : 120).
Orang-orang yang diizinkan tidak ikut perang hanya orang-orang lemah (orang buta dan pincang), orang sakit, dan orang yang tidak punya bekal cukup untuk berperang (QS. at-Taubah [9] : 91-92 dan al-Fath [48] : 17).
Dalam konteks Palestina, syarat bagi warga Palestina untuk mengangkat senjata melawan penjajah Yahudi sudah terpenuhi. Mereka sudah dijajah, diusir dari tanah air mereka, dan sudah didatangi oleh para penjajah yang melakukan kekerasan bersenjata kepada mereka. Meski Pemerintah Otorita Palestina kadang memilih berkompromi dengan penjajah, hukum fardlu kifayah perang ini tidak menjadi hilang. Jika Pemerintah Otorita Palestina mengeluarkan instruksi untuk berperang kepada semua warga laki-lakinya atau wajib militer, maka hukumnya menjadi fardlu ‘ain. Jika tidak ada instruksi, maka perang di Palestina tetap fardlu kifayah bagi para mujahidinnya.
Beda konteksnya dengan kaum muslimin di luar wilayah Palestina yang tidak mengalami penjajahan bersenjata dari penjajah Yahudi, maka hukumnya tidak fardlu kifayah. Bagi negara muslim di luar Palestina hukumnya menjadi fardlu kifayah jika ada instruksi dari Pemerintah yang berwenang. Dalam konteks hubungan antar-negara, Pemerintah yang dimaksud adalah PBB (Perserikatan Bangsa-bangsa/UN; United Nations). Jika tidak ada instruksi dari PBB maka akan berdampak pada madlarat yang lebih besar yakni memicu Perang Dunia edisi III. Meski ini pun tidak jadi masalah sepanjang Pemerintah Negara-negara muslim sepakat untuk mengambil keputusan tersebut. Jika Perang Dunia III terjadi maka yang terkena kewajiban perang itu militer/Angkatan bersenjatanya. Jika Pemerintah sudah mewajibkan militer kepada seluruh warganya, maka tidak boleh ada yang menolak karena berarti saat itu jihad sudah fardlu ‘ain hukumnya bagi setiap orang.
Wal-‘Llahul a’lam bis-shawab