Hukum Memakai Cadar bagi Perempuan
Ustadz punten, waktu saya share masalah isbal, banyak yang minta dibahas juga hukum memakai cadar. Kalau bisa di bulletinnya dibahas masalah cadar tersebut. Haturnuhun. 08968936xxxx
Mohon maaf jika kami tidak bisa panjang lebar membahasnya sebagaimana kajian para ulama di berbagai kitabnya, mengingat keterbatasan yang dimiliki.
Sama seperti persoalan fiqih lainnya, persoalan cadar (niqab) bagi kaum perempuan juga termasuk persoalan ikhtilaf yang mu’tabar di kalangan para fuqaha. Al-Hafizh Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya, sebagai contoh, ketika menafsirkan: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” (QS. an-Nur [24] : 31), beliau mengutip penjelasan dari Ibn Mas’ud, Ibn ‘Abbas, dan para ulama salaf berikutnya bahwa yang dimaksud adalah “dikecualikan wajah dan telapak tangan”. Menurut beliau: Wa hadza huwal-masyhur ‘indal-jumhur; ini adalah masyhur menurut jumhur/mayoritas ulama. Akan tetapi ketika menafsirkan ayat: Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka”. Yang demikian itu supaya mereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu mereka tidak diganggu. (QS. al-Ahzab [33] : 59), al-Hafizh Ibn Katsir mengutip penjelasan dari Ibn ‘Abbas dan mufassir salaf lainnya, bahwa yang dimaksud adalah perintah untuk menjulurkan jilbab (kain di luar kerudung) ke seluruh tubuhnya dan menyisakan satu mata saja.
Dalam kitab al-Fiqhul-Islami wa Adillatuhu yang ditulis oleh Wahbah az-Zuhaili dalam pembahasan seputar haddul-‘aurah/batasan aurat (1 : 633-647) dijelaskan bahwa para ulama keempat madzhab; Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hanbali, keempat-empatnya membenarkan bahwa wajah dan telapak tangan dikecualikan sebagai aurat dari seorang perempuan merdeka. Akan tetapi itu disepakati di dalam shalat. Adapun di luar shalat, terdapat perbedaan pendapat. Para ulama madzhab Syafi’i dan Hanbali umumnya menyatakan bahwa seluruh tubuh perempuan adalah aurat, termasuk wajah dan telapak tangannya. Dalilnya hadits-hadits yang menyatakan bahwa “perempuan adalah aurat” dan hadits yang melarang seorang lelaki melihat/menatap perempuan tanpa ada keperluan syar’i. Sementara ulama madzhab Hanafi dan Maliki sebatas menganjurkan wajah ditutup cadar karena takut fitnah.
Kenyataan bahwa para ulama mayoritas mengakui pengecualian wajah dan telapak tangan dari aurat perempuan dalam shalat, menunjukkan bahwa pada hakikatnya keduanya memang bukan aurat yang wajib ditutup. Ini dikuatkan juga dengan larangan memakai cadar dan sarung tangan bagi perempuan ketika ibadah haji/’umrah (Shahih al-Bukhari bab ma yunha minat-thib lil-muhrim wal-muhrimah no. 1838). Syaikh al-Albani menyatakan, hadits ini menunjukkan bahwa cadar dan sarung tangan sudah biasa dipakai oleh kaum perempuan saat itu, maka dari itu dilarang ketika ibadah haji/’umrah. Akan tetapi ini tidak menunjukkan bahwa selain haji wajib dipakai, atau bahwa maksud ayat QS. al-Ahzab [33] : 59 berarti wajib memakai niqab (Hijabul-Mar`ah, hlm. 18). Sebab fakta bahwa banyak hadits yang menjelaskan interaksi kaum perempuan dengan Rasulullah saw atau sebagian shahabat tanpa bercadar dan tidak diingkari oleh Rasulullah saw menunjukkan bahwa wajah bukan aurat yang wajib ditutup oleh kaum perempuan (Hijabul-Mar`ah).
Maka pendapat sebagian ulama yang menyatakan perempuan di luar shalat harus menutup seluruh tubuhnya, termasuk wajah dengan cadar, ini tidak lebih dari sebuah anjuran semata agar terhindar dari fitnah. Bukan sebuah kewajiban mutlak berdasarkan nash yang jelas. Sebab hadits-hadits yang dijadikan dalil tidak tegas mewajibkan perempuan bercadar, hanya sebatas harus berhati-hati dari pandangan laki-laki. Wal-‘Llahu a’lam.