Bismillah. Ustadz maaf mau bertanya. Apakah seseorang yang faham al-Qur`an dan sunnah tapi tidak memasuki salah satu organisasi Islam berarti telah berbuat menyimpang? Apakah masuk ke salah satu organisasi Islam hukumnya wajib? 08531731xxxx
Orang yang tidak ikut ke salah satu organisasi Islam tidak bisa dikategorikan menyimpang, karena masuk ke salah satu organisasi Islam hukumnya tidak wajib. Hidup berorganisasi sebagaimana tampak pada ormas, yayasan, atau LSM Islam di Indonesia merupakan gejala budaya masyarakat modern yang menganut faham pemberdayaan masyarakat sipil (civil society). Maka dari itu tidak heran jika sebagian ulama yang mengklaim bermanhaj salaf membid’ahkan kehidupan berorganisasi tersebut karena menilai tidak ada di zaman Nabi saw dan as-salafus-shalih, juga seringkali melahirkan fanatisme golongan (hizbiyyah), dimana masing-masing organisasi hanya memikirkan kemajuan organisasinya sendiri dan enggan merajut muakhat dengan sesama umat Islam lainnya. Akibatnya seringkali terjadi persaingan yang tidak sehat di antara sesama kelompok umat Islam. Meski kritikan dari ulama-ulama salafi itu ada benarnya, tetapi tidak berarti juga bahwa hidup berorganisasi menjadi bid’ah. Fanatisme golongan itu hanya sebentuk ekspresi negatif dari sebagian jama’ah organisasi yang belum tercerahkan saja. Jangan sebab “nila setitik rusak susu sebelanga”. Kesalahan tersebut harus diakui dan dibenarkan, tetapi maslahat lainnya yang lebih besar dari hidup berorganisasi juga jangan dinafikan.
Hidup berorganisasi tidak wajib karena memang tidak ada perintah dari al-Qur`an dan haditsnya. Dalil-dalil yang selalu dipakai oleh sekelompok aktivis yang mewajibkan organisasi sifatnya hanya dalil-dalil umum untuk berda’wah, berjihad, dan hidup berjama’ah; bukan untuk secara spesifik hidup berorganisasi. Jika memang hendak dipaksakan pemahaman yang spesifik pada hidup berorganisasi, pasti ada milyaran ulama salaf dan khalaf yang harus dinyatakan menyimpang karena mereka tidak diketahui pernah hidup berorganisasi sebagaimana halnya di Indonesia.
Dalil-dalil yang memerintahkan harus ada satu ummah (kelompok spesialis) dari umat Islam yang menjalankan da’wah sebagaimana difirmankan Allah swt dalam QS. Ali ‘Imran [3] : 104 jelas tidak mewajibkan semuanya harus bergabung ke satu ummah tersebut, cukup diwakili oleh sebagiannya. Jadi sifatnya fardlu kifayah. Ayat tersebut tidak menafikan kewajiban da’wah lainnya yang sifatnya fardiyyah (individu), yang bisa dijalankan oleh sendiri dalam kehidupan sehari-hari; atau ikut membantu kelompok-kelompok da’wah yang ada seperti organisasi, yayasan, LSM, masjid, majelis ta’lim, dan semacamnya; atau menjadi aktivisnya langsung sekalian. Imam Ibn Katsir dalam kitab tafsirnya menjelaskan bahwa ayat tersebut mewajibkan umat Islam untuk memiliki sekelompok da’i yang profesional (khashshah/muntashibah), di samping masing-masingnya juga tetap wajib da’wah fardiyyah beramar ma’ruf nahyi munkar.
Sementara dalil-dalil yang memerintahkan jihad dan hidup berjama’ah semuanya tertuju pada jihad dalam konteks negara/khilafah Islam, dan jama’ah yang dimaksud pun adalah negara/khilafah Islam. Konsep jama’ah/khilafah Islam yang diajarkan oleh hadits tidak harus dalam makna ideal seperti halnya khilafah nubuwwah (khilafah kenabian) atau khulafa rasyidin (Abu Bakar, ‘Umar, ‘Utsman, dan ‘Ali ra), tetapi juga khilafah-khilafah yang tidak ideal dimana pemimpinnya masih berstatus muslim dan memimpin umat Islam, meski tidak menerapkan syari’at sepenuhnya, seperti halnya Indonesia. Maka dari itu banyak hadits yang memerintahkan umat Islam untuk tetap berada di bawah kepemimpinan khalifah/amir/imam seorang muslim meski sang pemimpin tersebut berbuat zhalim selama ia tidak berpindah agama menjadi kafir. Orang Islam yang melepaskan diri dari kepemimpinan sang pemimpin negara muslim tersebut dikategorikan khuruj (separatis, pemberontak) dan merupakan perbuatan jahiliyyah. Uraian lebih lengkap tentang kajian para ulama atas dalil-dalil seputar jama’ah, khilafah, dan jihad bisa dibaca pada buku kami, ISLAM TANPA SESAT.
Ketika faktanya anda, kami, dan kita semua saat ini menjadi warga negara Indonesia dan tidak pernah melepaskan diri dari negara Indonesia, berarti kita semua sudah dan sedang hidup berjama’ah sebagaimana diajarkan al-Qur`an dan sunnah. Wal-‘Llahu a’lam.