Hidup Kaya dengan al-Qur`an

Umumnya manusia menilai kaya itu harus dengan harta. Sementara Nabi ﷺ mengajarkan bahwa kaya itu dengan al-Qur`an, sebab kaya dalam perspektif Islam bukan banyak harta melainkan kaya hati. Hati akan kaya hanya dengan al-Qur`an bukan dengan harta. Harta justru akan menyebabkan hati merasakan miskin selalu; merasa kurang, kurang, dan selalu kurang. Pantas kalau Nabi ﷺ menyatakan bahwa orang yang tidak kaya hatinya dengan al-Qur`an bukan umat beliau. Pantasnya ia umat setan karena hanya setan yang menginspirasi manusia bahwa kaya itu dengan harta.

Ayat-ayat al-Qur`an banyak menyinggung hasutan setan kepada manusia untuk selalu terobsesi harta, akibatnya manusia selalu merasa fakir dan enggan untuk menyisihkan hartanya:

ٱلشَّيۡطَٰنُ يَعِدُكُمُ ٱلۡفَقۡرَ وَيَأۡمُرُكُم بِٱلۡفَحۡشَآءِۖ وَٱللَّهُ يَعِدُكُم مَّغۡفِرَةٗ مِّنۡهُ وَفَضۡلٗاۗ وَٱللَّهُ وَٰسِعٌ عَلِيمٞ 

Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kefakiran dan menyuruh kamu berbuat kejahatan (kikir); sedang Allah menjadikan untukmu ampunan daripada-Nya dan karunia. Dan Allah Maha Luas (karunia-Nya) lagi Maha Mengatahui (QS. al-Baqarah [2] : 268).

وَٱسۡتَفۡزِزۡ مَنِ ٱسۡتَطَعۡتَ مِنۡهُم بِصَوۡتِكَ وَأَجۡلِبۡ عَلَيۡهِم بِخَيۡلِكَ وَرَجِلِكَ وَشَارِكۡهُمۡ فِي ٱلۡأَمۡوَٰلِ وَٱلۡأَوۡلَٰدِ وَعِدۡهُمۡۚ وَمَا يَعِدُهُمُ ٱلشَّيۡطَٰنُ إِلَّا غُرُورًا 

Dan hasunglah siapa yang kamu sanggupi di antara mereka dengan ajakanmu, dan kerahkanlah terhadap mereka pasukan berkuda dan pasukanmu yang berjalan kaki dan berserikatlah dengan mereka pada harta dan anak-anak dan beri janjilah mereka. Dan tidak ada yang dijanjikan oleh setan kepada mereka melainkan tipuan belaka (QS. al-Isra` [17] : 64).

Maka orang-orang yang senantiasa bernafsu menumpuk-numpuk harta dengan mengabaikan ibadah harta pada hakikatnya mereka adalah budak-budak setan. Hakikatnya mereka bukan manusia apalagi umat Nabi Muhammad saw.

Nabi saw sendiri sudah mengajarkan bahwa kaya itu bukan banyak harta, melainkan kaya hati:

لَيْسَ الْغِنَى عَنْ كَثْرَةِ الْعَرَضِ وَلَكِنَّ الْغِنَى غِنَى النَّفْسِ

Kaya itu bukan banyak harta, tetapi kaya itu adalah kaya hati (Shahih Muslim kitab az-zakat bab laisal-ghina ‘an katsratil-‘aradl no. 2467)

Maksud kaya hati dalam hadits di atas dijelaskan oleh Imam an-Nawawi sebagai berikut:

وَمَعْنَى الْحَدِيث الْغِنَى الْمَحْمُود غِنَى النَّفْس وَشِبَعُهَا وَقِلَّة حِرْصهَا، لَا كَثْرَة الْمَال مَعَ الْحِرْص عَلَى الزِّيَادَة؛ لِأَنَّ مَنْ كَانَ طَالِبًا لِلزِّيَادَةِ لَمْ يَسْتَغْنِ بِمَا مَعَهُ فَلَيْسَ لَهُ غِنًى

Makna hadits di atas adalah kaya yang terpuji itu kaya hati, selalu merasa kenyang, dan sedikit obsesinya, bukan banyak harta dan selalu terobsesi untuk menambah harta, karena orang yang selalu ingin menambah harta tidak akan pernah merasa kaya dengan yang sudah dimiliki, maka hakikatnya tidak ada kaya baginya (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim bab laisal-ghina ‘an katsratil-‘aradl).

Dalam bab lain, Imam an-Nawawi menjelaskan singkat:

وَالْغِنَى هُنَا غِنَى النَّفْس وَالِاسْتِغْنَاء عَنْ النَّاس وَعَمَّا فِي أَيْدِيهمْ

Kaya di sini kaya hati, tidak membutuhkan pemberian orang lain, dan tidak tertarik dengan harta yang mereka miliki (Syarah an-Nawawi Shahih Muslim bab at-ta’awwudz min syarri ma ‘amila).

Hati akan kaya itu salah satunya dengan al-Qur`an yang sudah bersemayam di hati. Nabi saw dalam hal ini sudah menegaskan:

لَيْسَ مِنَّا مَنْ لَمْ يَتَغَنَّ بِالْقُرْآنِ

Bukan dari umat kami orang yang tidak merasa kaya dengan al-Qur`an (Shahih al-Bukhari bab qaulil-‘Llah wa asirru qaulakum no. 7527).

Imam al-Bukhari mengutip hadits di atas dalam salah satu tarjamah dalam kitab Shahih al-Bukhari kitab fada`ilil-Qur`an. Beliau kemudian mengutip firman Allah swt:

أَوَ لَمۡ يَكۡفِهِمۡ أَنَّآ أَنزَلۡنَا عَلَيۡكَ ٱلۡكِتَٰبَ ٱلۡكِتَٰبَ يُتۡلَىٰ عَلَيۡهِمۡۚ إِنَّ فِي ذَٰلِكَ لَرَحۡمَةٗ وَذِكۡرَىٰ لِقَوۡمٖ يُؤۡمِنُونَ 

Dan apakah tidak cukup bagi mereka bahwasanya Kami telah menurunkan kepadamu Kitab (al-Qur`an) sedang dia dibacakan kepada mereka? Sesungguhnya dalam al-Qur`an itu terdapat rahmat yang besar dan pelajaran bagi orang-orang yang beriman (QS. al-‘Ankabut [29] : 51).

Imam al-Bukhari juga mengutip penjelasan Sufyan ibn ‘Uyainah (w. 198 H):

قَالَ سُفْيَانُ تَفْسِيرُهُ يَسْتَغْنِي بِهِ

Sufyan berkata: “Tafsirnya merasa cukup dengannya.”

Maksudnya dengan membandingkannya dengan QS. al-‘Ankabut [29] : 51 dimana Allah swt berfirman: yakfihim; cukup bagi mereka, dan penjelasan ulama atba’ tabi’in Sufyan ibn ‘Uyainah tentang maka yataghanna dengan “merasa cukup”, Imam al-Bukhari hendak memberitahukan makna lain dari hadits di atas bahwa yang dimaksud adalah: “Bukan dari umat kami orang yang tidak merasa cukup/kaya dengan al-Qur`an.”

Seorang muslim haruslah mengukur kekayaan itu dengan kaya hati bukan dengan kaya harta. Sudahkah hatinya merasa kaya atau masih saja selalu merasa kurang dan miskin. Kaya hati itu sendiri ukurannya adalah kedermawanan. Hadits-hadits yang menjelaskan Nabi saw orang yang paling dermawan karena tadarus al-Qur`an bertemu korelasinya dengan hadits-hadits di atas. Kedermawanan itu muncul karena hatinya sudah kaya dengan al-Qur`an. Itulah Nabi Muhammad saw. Umatnya yang merasa benar sebagai umat Nabi saw sudah seharusnya meneladani beliau, yakni kaya hati dengan al-Qur`an, bukan selalu merasa kurang dan miskin akibat hasutan setan.

كان رسولُ اللهِ ﷺ يَعْرِضُ الْكِتَابَ على جِبْرِيلَ  في كُلِّ رَمَضَانَ فإذا أَصْبَحَ رسولُ اللهِ ﷺ مِنَ اللَّيْلَةِ الَّتي يَعْرِضُ فِيْهَا مَا يَعْرِضُ أَصْبَحَ وَهُوَ أَجْوَدُ مِنَ الرِّيحِ الْمُرْسَلَةِ لاَ يُسْئَلُ عَنْ شَيْءٍ إِلاَّ أَعْطَاهُ

Rasulullah saw menyetorkan (bacaan) al-kitab (al-Qur`an) kepada Jibril pada setiap bulan Ramadlan. Di keesokan hari dari malam yang beliau menyetor al-Qur`an, beliau menjadi orang yang lebih dermawan daripada angin yang bertiup. Beliau tidak diminta dari sesuatu apapun kecuali akan memberinya (Musnad Ahmad musnad ‘Abdullah ibn ‘Abbas no. 2042).

Terkait hadits di atas, al-Hafizh Ibn Hajar dalam Fathul-Bari memberikan salah satu analisa:

قِيلَ الْحِكْمَة فِيهِ أَنَّ مُدَارَسَة الْقُرْآن تُجَدِّد لَهُ الْعَهْد بِمَزِيدِ غِنَى النَّفْس وَالْغِنَى سَبَب الْجُود

Ada pendapat tentang hikmahnya adalah karena mudarasah al-Qur`an akan senantiasa memperbarui perjanjian primordial (ajaran yang bersemayam di hati) dengan bertambahnya kaya hati, dan kekayaan yang ini menjadi sebab adanya kedermawanan (Fathul-Bari bab kaifa kana bad’u al-wahyi ila Rasulillah).

Catatan: Penulis tidak menampik ada banyak ulama yang memahami hadits yataghanna bil-Qur`an dengan “memperbagus suara dan memperindahnya”, sebagaimana diuraikan Imam an-Nawawi dalam Syarah an-Nawawi Shahih Muslim bab istihbab tahsinis-shaut bil-Qur`an. Akan tetapi perlu diketahui juga makna lain dari yataghanna adalah “merasa kaya” dengan al-Qur`an.

Wal-‘Llahu a’lam wa Huwal-Musta’an

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *